Sabtu, 21 April 2012

PROBLEMATIKA PROSTITUSI MELALUI INTERNET

2.1  Sejarah Prostitusi
Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti oral seks atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).
Sedikitnya satu juta anak usia di bawah 16 tahun di Asia terjebak dalam pelacuran, bisnis pelacuran memang menimbulkan dilema. Tak jarang bahkan pemerintah daerah berkepentingan terhadap eksistensi lokalisasi karena berbagai alasan, seperti, "meningkatkan pendapatan daerah", "membuka lapangan kerja", maupun sebagai "stok" untuk "menyuguh" relasi bisnis atau pejabat yang doyan "daun muda". Singkat kata, bicara tentang prostitusi adalah bicara tentang hal yang sangat kompleks mengingat peradaban yang termasuk tertua di dunia ini tidak pernah absen dari kehidupan manusia. Dengan kata lain, prostitusi sulit dihapuskan.
Tokoh postmodern, Michel Foucault, menyatakan, setelah ada keterbukaan telah terjadi represi modern atas seksualitas, dan represi itu terkait erat dengan kapitalisme. Kehadiran perempuan di sektor publik dalam sistem kapitalisme tidak sebatas pada kemampuan berpikir dan bertindak, melainkan juga dimanfaatkan sebagai obyek kepuasan. Oleh karena itu, membanjirnya kaum perempuan yang bekerja di sektor publik tidak dapat dengan serta-merta dijadikan indikator peningkatan peran atau status perempuan.
Pada tingkat pasar, misalnya, penggunaan tubuh perempuan untuk keperluan iklan barang-barang konsumtif, menunjukkan telah terjadi pergeseran seksualitas dan tubuh dari domain "privat" ke domain "publik"; dari yang sakral ke yang profan, bukan sekadar pergeseran fungsi reproduktif perempuan dari prokreasi ke rekreasi atau pergeseran dari ritual ke ekspresi identitas dan gaya hidup (Shiling, 1993).
Berbagai iklan yang memanfaatkan tubuh perempuan umumnya didahului oleh penonjolan citra atau image yang membangkitkan mimpi dan fantasi. Sketsa ringkas ini hanya sekadar menunjukkan bahwa proses transformasi dalam struktur masyarakat yang mengarah kepada pertumbuhan ekonomi, tidak otomatis mengangkat derajat kaum perempuan. Atau dengan kata lain, peningkatan status hanya berhenti pada tataran yang paling artifisial.
Selanjutnya berkaitan dengan pelacuran, Eviota (1992) mengatakan bahwa relasi seksualitas adalah relasi sosial yang merupakan relasi kekuasaan tempat kaum lelaki mengontrol seksualitas perempuan. Lelaki adalah pihak yang dominan baik secara seksualitas dan sosial. Penggunaan alat kontrasepsi yang 90 persen lebih digunakan oleh kaum perempuan dan tuntutan adanya keperawanan (dan bukan keperjakaan), misalnya, menunjukkan domain kekuasaan itu.
Foucault dalam History of Sexuality (1976) menuding bahwa seksualitas merupakan hubungan kuasa yang dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dari diskursus plural (discursive practices) dan praktik kelembagaan dari aparatus seksualitas sampai abad ke-20. Analisis Foucault tentang kuasa sebagai proses yang menghasilkan bentuk-bentuk tertentu seksualitas dan penanaman kuasa pada tubuh perempuan telah memberikan perspektif baru bagi kaum feminis bahwa seksualitas dan hubungan seksual disusun secara sosial.
Dalam konstruksi Foucault, perempuan berada dalam posisi obyek, baik obyek seksualitas maupun obyek penimpaan kesalahan. Laki-laki cenderung menyalurkan hasrat seksualitasnya kepada siapa pun (dalam hal ini, perempuan) yang dikehendaki. Ini mengandaikan pada umumnya perempuan berada dalam posisi pasif sehingga kalau ada hal yang tidak berkenan (pada si lelaki), lelaki menggunakan hal itu untuk alasan "jajan".
Demikian pula dalam tradisi raja-raja Jawa. Selir-selir merupakan "ritual" yang dianggap penting bagi kepuasan sang raja. Kenyataan ini makin memperkuat tesis Foucault di atas (Jones, dkk. 1995). Jones juga mengatakan, perempuan yang dijadikan komoditas sudah berlangsung turun-temurun.
Hasil penelitian Kuntjoro (1995) menunjukkan, sebagian besar masyarakat yang "memproduksi" pelacur seperti di daerah Mojo Tengah, Indramayu, atau daerah-daerah lainnya di Jawa Timur menganggap anak perempuan cantik ibarat "sawah". Makin cantik si anak berarti makin besar "sawahnya". Bahkan, sang bapak atau suami tak malu-malu lagi mengantarkan anak atau isterinya kepada para germo.
Seorang WTS yang dikutip Tiras (16/3/1995) mengatakan: "Bagi tetangga saya tidak ada masalah saya kerja apa di Jakarta, punya suami atau tidak, sebab pada umumnya perempuan Indramayu setelah musim paceklik dan setelah cerai dari suaminya lari ke Jakarta. Bahkan, di sini tidak aneh jika seorang bapak mengantarkan sendiri anak-anaknya yang cantik ke Kramat Tunggak!"
Sketsa tersebut menunjukkan bahwa masalah pelacuran adalah masalah yang multikompleks, yang tidak berhenti pada masalah ekonomi, namun juga kelonggaran "kultur" masyarakat di sekitarnya, pengaruh gaya hidup, "tradisi" setempat, juga persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi tersebut.
Hal-hal itulah yang ditangkap para cukong atau para "penyalur" dengan memanfaatkan jaringan yang sangat rapi dan tak jarang malahan didukung oleh "backing" aparat keamanan. Profesi seperti itu amat menggiurkan karena beban pekerjaannya relatif mudah dilakukan dan hasilnya sangat banyak. Mengingat demikian luas jaringannya, tidak mengherankan jika kasus-kasus perdagangan anak-anak perempuan yang akan dipekerjakan sebagai pelacur susah untuk dibongkar, meskipun sebenarnya hukum bisa menjeratnya.
Namun, apa yang bisa diharapkan dari penegakan hukum? Di negeri ini segala hal yang menyangkut masalah hukum bisa diperjualbelikan, kecuali kasus-kasus hukum yang dilakukan oleh masyarakat kecil yang tidak memiliki sumber daya keuangan. Justru dengan semakin beratnya tuntutan, "bisnis" hukum semakin menggiurkan karena semua mata rantai proses hukum bisa ditutup mulutnya dengan imbalan uang.
Salah seorang yang mengemukakan pandangan seperti itu adalah Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja. Ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya."
Pandangan yang negatif terhadap pelacur seringkali didasarkan pada standar ganda, karena umumnya para pelanggannya tidak dikenai stigma demikian.

2.2  Prosedur Prostitusi melalui Internet
Prostitusi yang merambah melalui media internet merupakan adalah salah satu dampak buruk dari kemajuan internet yang ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Melalui internet para gadis pejaja seks ini menawarkan diri di situs-situs yang menyediakan pelayanan untuk meng-upload foto dan video. Mulai dari berkenalan hingga akhirnya melakukan transaksi dengan harga yang cukup lumayan mahal karena pada umumnya para gadis ini mengaku sebagai mahasiswi dan juga berpenampilan menarik.
Diketahui banyak gadis belia yang secara terang-terangan menawarkan pelayanannya melalui website yang dikelola para mucikari. Biasanya mucikari memiliki beragam cara untuk merekrut anak asuhnya, tapi biasanya mucikari ini merekrut atau mencari gadis belia yang berpenampilan menarik melalui layanan chating dan sejenisnya yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi trend dikalangan anak muda. Setelah mucikari berhasil merayu para gadis belia untuk menjadi anak asuhnya mereka biasanya akan langsung ditawarkan lewat website yang dikelola mucikari tersebut.
Untuk dapat berkencan dengan anak asuh mucikari ini, pemesan/user biasanya harus register terlebih dahulu pada website yang telah disediakan. Website yang kini banyak menjamur dan dapat kita akses dengan mudah seperti www.hartonosejakdulu.com, www.adelimut.com, www.jakartaescortladies.com, www.zahravirgine.com [yang sekarang sudah tidak aktif], atau www.wanita18.com.
Dengan mengisi formulir yang telah disediakan yang berisi nama, alamat, nomor telepon dan lain sebagainya. Setelah semua register selesai para user ini yang kini menjadi member dapat mengakses semua foto-foto yang telah di upload maupun melakukan chatting seks dengan anak buah mucikari tersebut. Chatting seks yang dilakukan juga tidak sebebas chatting biasa, karena biasanya user akan ditawari untuk berkencan secara langsung ditempat yang sudah disediakan. Untuk memilih gadis yang akan dikencani, biasanya member ini memilih lewat foto-foto yang telah di upload atau setelah melakukan chatting seks dengan anak buah mucikari itu. Harga yang ditawarkan biasanya mulai 500.000 s/d 2.500.000 atau mungkin lebih, harga tersebut biasanya untuk 1 - 3 jam kencan. Pesanan akan di antar ke tempat yang telah disepakati.
Diatas itu adalah contoh bisnis prostitusi dalam dunia maya yang memang dikelola secara professional tapi jika kita mau perhatikan ada banyak sekali jenis prostitusi di internet. mulai dari yang sekedar coba – coba nakal, kenapa disebut seperti itu karena biasanya apa yang ditawarkan hanya di berjalan dalam internet saja dan tidak pernah besentuhan fisik. Ada juga yang menawarkan kencan hanya untuk senang – senang atau tawaran kencan yang penting dibayar atau dibayar dengan sesuatu. sampai professional seperti yang disebutkan diatas.
Prostitusi di internet memang sudah sedemikian maraknya tapi ini hanyalah salah satu dampak buruk yang ditimbulkan dari orang – orang yang kurang bijak memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

2.3 Faktor-Faktor Mempengaruhi Terjadinya Prostitusi
A. Faktor Penyebab
Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa jumlah anak dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia semakin meningkat dalam empat tahun terakhir ini, terutama semenjak krisis moneter terjadi. Setiap tahun sejak terjadinya krismon, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Sementara itu, menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun.
Dilihat masalah prostitusi di kalangan remaja ini semakin membuka mata kita dan memperlihatkan kenyataan saat ini bahwa betapa harus diwaspadai anak-anak kita agar tidak sampai tercebur di dunia prostitusi. Apalagi orang tua di zaman sekarang jarang untuk memperhatikan kegiatan anak-anaknya. Sifatnya yang serba individualis, kadangkala orang tua cukup memberi kepercayaan penuh pada anak-anaknya tanpa memandang bahwa anak itu akan menjaga sepenuhnya kepercayaan dari orang tuanya. Lebih jauh ditegaskan, proses pematangan fisik pada remaja terjadi lebih cepat dari proses pematangan psikososial. Hal ini sering menyebabkan berbagai masalah. Di satu sisi remaja sudah merasa matang secara fisik dan ingin bebas dan mandiri. Di sisi lain mereka tetap membutuhkan bantuan, dukungan serta perlindunga orang tua. Orang tua sering tidak mengetahui atau tidak memahami perubahan yang terjadi pada remaja sehingga tidak jarang terjadi konflik di antara keduanya. Karena merasa tidak dimengerti remaja seringkali memperlihatkan agresifitas yang dapat mengarah pada perilaku berisiko tinggi.
Alasan-alasan mengapa seorang remaja bisa terjerumus ke dalam dunia prostitusi juga sangat kompleks, karena menyangkut masalah sosial, ekonomi, pendidikan, angka putus sekolah, kesehatan (terutama menyangkut ketergantungan NAPZA) tidak saja dari pihak si remaja tadi melainkan juga keluarga dan seluruh masyarakat di sekelilingnya. Banyak dari mereka yang nekat menjadi pekerja seks karena frustrasi setelah harapannya untuk mendapatkan kasih sayang di keluarganya tidak terpenuhi. Sebagian datang dari keluarga “broken home”, sebagian ada yang pernah mengalami kekerasan seksual dari pacar atau anggota keluarganya sendiri seperti paman atau bahkan ayahnya.
Selain itu, peran media massa juga tidak dapat diabaikan. Liputan, tayangan film yang menampilkan adegan seks dan pornografi, serta perkembangan dunia mode dan fashion juga antara lain membuat para remaja (terutama perempuan) makin menyadari potensi seksual dan sensualitasnya serta bagaimana menggunakan potensi itu untuk memperoleh uang agar dapat mengikuti pola hidup konsumerisme yang sudah menjangkiti masyarakat. Dengan kecanggihan teknologi, bahwasanya tak ayal lagi remaja sangat mudah mempelajari internet. Dengan kemampuan yang dimiliki saat ini merupakan hal yang mudah bagi dirinya untuk memperluas akses atas sensualitas diri. Mereka banyak yang menjajakan diri di dunia maya, dengan menyebarkan foto-foto vulgar yang dimilikinya dan menjadi gairah tersendiri bagi kaum lelaki. Mulai dari berkenalan hingga akhirnya melakukan transaksi dengan harga yang cukup lumayan mahal Hal ini mudah bagi seorang mucikari untuk menjual remaja-remaja wanita ini pada siapapun yang berminat.
Parahnya, persentase pelajar belia yang rela memperdagangkan seks di internet ternyata cukup mengejutkan, setidaknya di Korea Selatan. Dalam survei Kementerian Kesetaraan Gender Korea Selatan di wilayah Busan pada 2012 pelajar wanita, 672 di antaranya atau 33,4 persen menyatakan pernah menerima tawaran prostitusi via internet.
Di antara para pelajar yang menerima penawaran seperti itu, hanya 35 persen yang mengaku tidak mempedulikannya. Sebanyak 20 persen mengaku nekat melibatkan diri dalam perdagangan seks online tersebut dan sisa responden juga mengaku tertarik dengan tawaran itu.
Adapun di antara para pelajar yang terlibat dalam perdagangan seks online tersebut, 37 persen melakukannya karena dorongan hati dan 25 persen karena ingin meraup uang secara instan. Sementara sisanya karena merasa ingin tahu serta alasan-alasan lainnya.
Ketika ditanya mengapa mereka suka melakukan transaksi seks secara online, alasannya adalah karena kemudahan akses dan adanya anonimitas di dunia maya. Sisanya menjawab internet memungkinkan mereka bisa menjual seks tanpa khawatir terjaring hukuman.

B. Faktor Akibat
Apa pun alasan seorang remaja terjun di dunia prostitusi, karakteristik pekerjaan yang harus dilakukan oleh pekerja seks membuat prostitusi menjadi pekerjaan yang berisiko tinggi. Dalam melakukan pekerjaannya, mereka berganti-ganti pasangan dan melakukan hubungan seksual dengan banyak orang. Di antara pelanggan yang datang dan pergi itu tentunya juga terdapat berbagai karakter manusia: ada yang lembut, ada yang kasar, ada yang sehat, ada pula yang berpenyakit menular, yang jujur, dan yang menipu.
Dari pelanggan yang banyak dan beragam itulah, risiko yang dihadapi seorang pekerja seks juga banyak dan beragam. Dari pelanggan yang penipu, mungkin saja ia tidak dibayar oleh pelanggan setelah melakukan aktivitas seksual. Apabila tidak menggunakan alat kontrasepsi, pekerja seks juga berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, posisi tawar yang lemah di pihak pekerja seks juga membuat mereka sering tidak berhasil membujuk pelanggannya untuk menggunakan proteksi/kondom. Akibatnya, dari pelanggan yang mengidap penyakit menular seksual (PMS), atau bahkan HIV/AIDS, pekerja seks tadi dapat tertular tanpa mampu melindungi tubuhnya. Apalagi ada mitos, karena risiko tertular HIV lebih besar jika berhubungan dengan pekerja seks dewasa, maka kaum pria hidung belang memburu anak-anak. Banyak jenis PMS (Penyakit Menular Seksual) yang tidak dapat dengan mudah disembuhkan, atau bahkan menimbulkan kematian kalau tidak ditangani serius. Selain itu, beberapa penyakit juga dapat merusak organ reproduksi secara permanen.
Risiko berat lain yang seringkali harus dihadapi remaja sebagai pekerja seks adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelanggan yang bisa jadi sampai mengancam nyawanya. Tidak jarang, pelanggan yang datang juga menginginkan bentuk hubungan seks yang tidak wajar, bahkan ada yang suka merekam aktivitas seksual mereka dengan kamera video.
Selain risiko karena karekteristik pekerjaannya sendiri, masih ada risiko lain. Prostitusi juga bukan dunia yang mudah ditinggalkan. Sekali kita tercebur, perlu usaha ekstra keras untuk berhenti. Banyak remaja, terutama di kalangan anak sekolah atau kuliah yang terjun ke dunia prostitusi memang tidak berniat untuk menjadikan prostitusi sebagai pekerjaan utamanya. Mereka berpikir, mereka hanya akan menjadi pekerja seks sementara saja. Dalam beberapa tahun ke depan mereka akan berhenti dan beralih profesi. Ternyata masalahnya tidak semudah itu. Apabila aktivitasnya sebagai pekerja seks ini diketahui oleh keluarganya (apalagi, misalnya, salah satu pelanggan merekam adegan seks mereka kemudian mengedarkannya), maka besar kemungkinan mereka tidak mau menerimanya kembali. Belum lagi teman-teman dan lingkungan masyarakat yang seringkali sangat judgemental atau bersikap menghakimi. Hal ini membuat mereka merasa lebih baik terus bekerja sebagai pekerja seks. Lama kelamaan, pilihan untuk bekerja si bidang lain akan tertutup.
Profesi sebagai pekerja seks tidak dipandang sebagai profesi yang terhormat oleh masyarakat. Memang di kalangan masyarakat luas sendiri terdapat semacam dualisme dalam menyikapi masalah prostitusi. Di satu pihak, demand atau permintaan terhadap pekerja seks remaja juga tetap tinggi dan banyak yang bersedia membayar pekerja seks remaja lebih mahal dibanding yang sudah berumur. Namun, di pihak lain, walaupun saat ini sebagian kecil masyarakat sudah mulai melihat para pekerja seks sebagai korban dan berusaha untuk menawarkan program-program pengentasan untuk menolong mereka, sebagian besar lain dari masyarakat masih terus mengutuk dan mengucilkan para pekerja seks, menganggap mereka sampah masyarakat. Bahkan ketika mereka ingin beralih profesi ke bidang lain yang dipandang bermartabat oleh lingkungannya, masyarakat tidak begitu saja menerima mereka. Hal ini mengakibatkan para pekerja seks mengalami kesulitan untuk alih profesi ke bidang lain.
Kalau dari tadi yang kita bahas adalah risiko bagi pihak perempuan, hal ini karena dalam dunia prostitusi memang lebih banyak perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks dibanding laki-laki. Cowok yang menjadi pekerja seks biasanya melayani pelanggan homoseksual, walaupun belum tentu cowok tadi homoseksual juga. Sedangkan pekerja seks pria yang melayani pelanggan wanita sangat jarang.
Data yang pasti mengenai pekerja seks di bawah umur sangat sulit untuk diperoleh. Pertama, karena biasanya pekerja seks tersebut diberi atau menggunakan identitas palsu di mana umur dan fotonya dibuat supaya terlihat lebih tua. Apalagi di dunia maya yang belum pasti kebenarannya hal itu bisa saja dilakukan sedemikian rupa agar tidak terdeteksi kepalsuannya. Kedua, hampir tidak ada keluhan baik dari pelanggan maupun para pekerja seks itu sendiri menyangkut aktivitas seksual yang dilakukan. Ketiga, mobilitas para pekerja seks itu sendiri juga begitu tinggi sehingga mempersulit pelacakan.
Sulitnya memperoleh data itu membuat masalah ini tidak mendapat perhatian yang cukup, dan berdampak pada tidak jelasnya perlindungan yang (seharusnya) diberikan oleh pemerintah bagi para pekerja seks, terutama pekerja seks di bawah umur.
Dari risiko pekerjaan, hubungan dengan masyarakat dan minimnya perlindungan yang diberikan, kita tahu bahwa prostitusi bukanlah lapangan pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Mengenai penghasilan, benarkah prostitusi menjanjikan kekayaan? Ternyata tidak serta merta demikian. Dari jumlah yang dibayar oleh pelanggan, tidak semuanya bisa dimiliki oleh pekerja seks, khususnya pekerja yang tergantung pada pihak perantara. Ia harus membaginya dengan mucikari, perantara yang mengatur pertemuan antara pekerja seks dengan pelanggannya, atau germo, si pemilik rumah pelacuran. Bahkan pekerja seks independen yang tidak tergantung pada jasa perantara juga tidak bisa menikmati hasil keringatnya 100 persen. Dengan pekerjaan yang sangat berisiko terhadap kesehatannya, seringkali mereka harus mengeluarkan banyak uang untuk berobat memulihkan kesehatannya.
Oleh karena itulah, banyak perempuan baik remaja maupun dewasa yang sudah telanjur tercebur di dunia prostitusi merasa tidak ingin bertahan dan ingin keluar dari dunia yang digelutinya itu. Walaupun sangat sulit karena banyak godaan untuk kembali (antara lain karena sudah menyandang stigma tertentu di mata masyarakat sehingga sulit memperoleh pekerjaan baru), ada juga yang berhasil "keluar" dan beralih profesi ke bidang lain yang lebih sehat dan memiliki masa depan yang lebih cerah. Beberapa dari mereka bahkan kemudian aktif menjadi relawan untuk membantu teman-temannya yang ingin mentas dari dunia prostitusi, dan juga membagi pengalamannya kepada remaja lain agar tidak sampai mengalami kehidupan pahit yang telah mereka rasakan.

2.4 Penanganan Prostitusi
A. Penanganan terhadap Pelaku Prostitusi Online
      Dalam pasal 27 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disebutkan: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".
Sementara, pasal 45 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)  berbunyi: "Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
Era 'melek teknologi' rupanya sudah merambah ke semua lini kehidupan. Tak terkecuali dunia pelacuran. Terdapat ratusan situs internet yang menjadi lahan para mucikari untuk menawarkan para gadis belia yang rela menjual tubuhnya pada pria hidung belang.
Namun, polisi tidak serta merta dapat menangkap semua pemilik situs tersebut, "Situsnya sendiri banyak tapi dipilah berdasarkan kemudahan pengungkapan. Yang menjadi kesulitan polisi adalah identitas mereka (pemilik atau pengelola situs) palsu semua.
Banyak  pihak mengharapkan sanksi yang cukup berat bagi para pelaku prostitusi online ini dikarenakan meresahkan warga masyarakat Indonesia khususnya para orangtua. Mereka sangat ketakutan anaknya berkecimpung ke hal yang sangat membahayakan bagi dirinya terutama orangtuanya. Meskipun sebagian kecil ada yang tertangkap basah oleh aparat kepolisian, namun masih banyak di luar sana yang sampai saat ini melakukannya. Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi antara masyarakat dan pihak aparat kepolisian. Saksi-saksi mata yang melihat kejadian itu diharapkan bisa bekerja sama dengan kepolisian untuk mengungkap kasus prostitusi yang terjadi secara online ini.

B. Penanganan Prostitusi dengan Kemanusiaan
Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban.
Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan.
Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka.
Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat "kantung-kantung" prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban.
Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban..
Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi. Selama ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan.
Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah abolisionis yang memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain.
Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita bahu-membahu mencari solusi persoalan, memberi bekal para perempuan yang dilacurkan untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca- tulis, keterampilan rias wajah, menyamak kulit, menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung.
Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.
Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan penertiban, diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi "pajangan". Karena perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan saksi pelapor juga diperlukan.
Kerja sama dan pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal dalam pemulangan juga diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek pemulangan saja.

C.    Penanganan Prostitusi dengan Keagamaan
Fenomena arus globalisasi yang membawa implikasi perubahan negatif pada pergaulan perempuan, menuntut keberanian perempuan untuk mengcounter budaya free-sex, pornografi, poligami yang senantiasa merebak meracuni pola hidup masyarakat modern. Penulis harus berbicara kepada persoalan yang menghadang dan senantiasa terus bertambah seiring arus kebebasan globalisasi.
Masalah 'penjualan diri' yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan ABG diluar sekolah, seiring dengan maraknya gaya hidup dunia gemerlap tidak bisa didiamkan begitu saja. Menyimak kehidupan malam yang dilakukan oleh sebagian remaja yang masih sekolah di menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi (PT) menarik dicermati. Betapa pendidikan yang ditempuhnya tidak bisa mengatur diri mereka, hingga larut dalam budaya free-sex yang sebenarnya melanggar aturan etika, norma, agama dan sosial.
Gejala ini memberikan ilustrasi bahwa pendidikan hanya berhenti pada sebatas mengetahui teori, tanpa mampu memberikan penyadaran yang berguna untuk mengatur diri sendiri (self-organizing). Dunia gemerlap dan prostitusi memang tidak terlihat secara kasat mata, namun menggejala dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan peredaran narkoba dan minuman keras serta perjudian. Fenomena ini akan terus merambah mengancam kehidupan remaja yang lain, apabila tidak dicounter dengan nilai-nilai spritual.
Agama sebaiknya memberikan pemecahan positif terhadap maraknya penyimpangan problem seksual yang menghalangi mereka untuk tumbuh dalam lingkungan yang baik. Karena diam terhadap persoalan berarti akan memberikan respon positif terhadap dinamika tersebut.
Penulis tidak hanya berhenti pada memberikan pendapat haram (larangan) kepada praktik prostitusi, tetapi memberikan jalan keluar bagi pelaku untuk bisa meninggalkan perbuatan yang merugikan diri sendiri. Problem prostitusi memang tidak mudah dihapus begitu saja dengan menutup tempat-tempat hiburan. Kenyataannya semakin ditutup, pelaku akan beralih ke jalan-jalan dan mengancam orang baik untuk melakukan transaksi seks.
Selama ini agama begitu rigid membicarakan secara terbuka tentang mengapa perempuan sampai menjadi pelacur, mengapa mereka tidak perduli dengan larangan agama, bagaimana agama melindungi nasib mereka. Refleksi kritis ini akan melandasi penulis untuk mencari alternatif pemecahan masalah prostitusi.



Selasa, 17 April 2012

Kho Ping Hoo (Cerita Silat Sepanjang Zaman)

Kho Ping Hoo dikenal luas di Indonesia karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa-Indonesia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, namanya barangkali lebih popular dibandingkan nama-nama sastrawan “resmi” yang dikenal melalui buku-buku pelajaran di sekolah. Bentuk penulisan yang dipilihnya, yaitu sastra roman popular, atau sastra hiburan merupakan genre tersendiri dalam dunia kesusastraan di Indonesia, sekaligus merupakan “arus bawah” sastra Indonesia.  Karena itu, namanya mungkin lebih mengakar dan mudah diingat oleh generasi 1960 an, ketika genre ini mulai meluas.
Dalam rentang waktu yang terbilang panjang, cerita silat yang ditulisnya seakan-akan menciptakan sebuah fenomena kultural yang unik dimana di dalamnya terdapat kesatuan jagat pembaca multicultural, jagat komunitas “taman bacaan”(lengkap dengan segala atributnya: kartu anggota, fans club, ajang diskusi, hingga kisah cinta antar pembaca).  Bahkan sejak tahun 2003, para penggemar cerita silat Kho Ping Hoo di Indonesia telah mendirikan Komunitas Kho Ping Hoo (KPH) yang berasal dari berbagai suku di Indonesia dan beragam kalangan.  Komunitas ini mempertahankan keberadaan cerita silat Kho Ping Hoo walaupun penulisnya telah tiada. Karena, banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa digali di dalamnya, walaupun beberapa pihak meragukan keabsahan sejarah Cina yang ada dalam karya-karyanya. 
Sebuah karya sastra lahir tidak dari kekosongan budaya dan pengarang senantiasa dan niscaya hidup dalam ruang dan waktu tertentu, yang di dalamnya dia terlibat dengan beraneka ragam masalah kehidupan. Dalam bentuknya yang paling nyata, ruang, dan waktu tertentu itu adalah masyarakat dan sebuah kondisi sosial, tempat berbagai tindakan sosial berinteraksi. Dalam konteks ini, sastra bukanlah suatu yang otonom atau berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya sastra dilahirkan.

Yudiono berpendapat tentang pemikiran-pemikiran dasar yang mempersoalkan adanya hubungan  antara  sastra dan masyarakat  sebagai  berikut.

(1)  Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan banyak orang; (2) pengarang itu anggota suatu masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu; (3) bahasa yang digunakan dalam karya sastra adalah bahasa yang ada dalam suatu masyarakat jadi bahasa itu merupakan ciptaan sosial; (4) Karya sastra mengungkapkan hal-hal yang dipikirkan pengarang dan pikiran-pikiran pengarang itu pantulan hubungan seseorang sebagai pengarang dengan orang lain atau masyarakat (Yudiono, 2000:3).



Seorang sastrawan berkedudukan pula sebagai anggota masyarakat. Ia mempunyai status tertentu dalam masyarakat yaitu sebagai  salah satu anggota dari masyarakat sehigga ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota lain. Ia juga terikat dengan peraturan norma-norma dan adat istiadat tertentu yang berlaku dalam masyarakat itu. Pada dasarnya sastrawan akan terbelenggu oleh sosiobudaya yang melingkupinya itu. Faktor sosiobudaya tempat tinggal sastrawan kadang-kadang turut pula menentukan corak karyanya, seperti faktor ekonomi, politik, pendidikan, agama, serta adat istiadat tertentu yang berlaku di dalam masyarakat tersebut, juga kondisi psikologis dari sastrawan sangat besar pengaruhnya bagi karya-karya yang dihasilkannya.

Berbagai macam masalah/problem sosial, misalnya hubungan manusia dengan manusia atau dengan lingkungannya, kelompok sosial, penguasa, dan sebagainya hanya dapat ditangkap lewat kepekaan yang dimiliki oleh pengarang dalam mencermati realitas kehidupan disekitarnya. Kemudian melalui hasil ciptaannya, pengarang mencoba menanggapi, menyampaikan ide-ide serta pemecahan suatu masalah dengan tujuan memperbaiki keadaan. Dengan demikian pemikiran-pemikiran yang ada dalam karya sastra adalah cermin pandangan hidup pengarang, pandangan akan nilai-nilai kebenaran/ajaran moral tertentu.

Dengan demikian, karya sastra mengambil objek kehidupan manusia dalam masyarakat. Melalui karya sastra pengarang mengungkapkan masalah manusia dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Pengarang melukiskan penderitaan manusia, cinta, kasih sayang, perjuangan, kebencian, ketabahan, nafsu, dan segala yang dialami manusia dalam masyarakat. Dari keterlibatan  sastra dengan segala aspek kehidupan masyarakat maka dapat dikatakan bahwa antara karya sastra dan masyarakat terdapat hubungan yang erat. Maka dalam menginterpretasikan kehidupan melalui sebuah karya sastra, seorang pengarang tidak lepas dari akar budaya dan masyarakat sosial budaya yang melingkupinya. Ini memerlukan suatu bekal kemampuan dan pengetahuan budaya. Itu dimaksudkan untuk mendukung pemahaman dan latar cerita atau memperkuat pemahaman karakter tokoh-tokoh. Pemahaman sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyak mengenai kebudayaan yang melatar belakangi karya sastra tersebut, yang tidak langsung terungkap melalui sistem tanda bahasanya (Teeuw, 1984:100).

Berdasarkan uraian di atas, maka karya sastra cerminan kehidupan masyarakat sosial budaya dapat dianalisis melalui pendekatan struktural genetik. Hal ini berpijak pada pengertian bahwa karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (genetik) dari latar belakang struktur sosial tertentu. Dengan pendekatan ini akan didapatkan pandangan dunia pengarang yang tentu bukanlah seorang individu yang berdiri sendiri. Pengarang adalah bagian dari kelompok sosial tertentu, sehingga pandangannya juga merupakan pandangan kelompok tertentu dan pada masa tertentu pula.

Salah satu genre sastra adalah cerita silat yang kali ini menjadi objek bahasan penulis. Cerita silat atau disingkat cersil (pinyin: Wǔxiá, harfiah: "pahlawan ilmu beladiri") adalah sebuah sub-genre dari semi-fantasi dan cerita silat dalam literatur, televisi dan dunia perfilman. Di Indonesia tidak seperti di dunia pada umumnya, di mana wuxia didominasi oleh penokohan orang-orang dan budaya Tiongkok, cerita silat banyak dibangun atas unsur-unsur lokal, menciptakan suatu genre (apabila tidak dikatakan baru) tersendiri dari saudaranya wuxia. (Wikipedia).

Pada awal perkembangan cerita silat di Indonesia banyak didominasi oleh cerita silat terjemahan.  Ditinjau dari segi bahasa, cerita-cerita silat terjemahan itu tampak sangat dipengaruhi oleh bahasa Tionghoa dialek Hokkian (Fujian). Hal ini bisa dimengerti mengingat penerjemah – begitu pula sebagian pembaca – pada umumnya adalah keturunan Tionghoa dari Hokkian. Pengaruh tersebut, antara lain dapat dilihat dari penulisan judul cerita, nama pengarang, nama tokoh, hingga kata-kata khusus. Misalnya, judul cerita Shediao Yingxiong Zhuan dan Bi Xue Jian ditulis Sia Tiauw Eng Hong dan Kim Tjoa Kiam, nama pengarang Jin Yong dan Gu Long ditulis Chin Yung dan Khu Lung; nama tokoh Guo Jing dan Huang Yong (dalam Sia Tiauw Eng Hiong/Shediao Yingxiong Zhuan) ditulis Kwee Ceng dan Oey Yong; kata nuxia `pendekar perempuan` - shi fu `guru` - shi mei `adik (perempuan) seperguruan` juga ditulis lihiap – suhu – sumoi.

Tentu saja, di tengah merajalelanya cerita silat terjemahan di atas, tidak boleh dilupakan pula cerita silat, “asli” karya pengarang Peranakan Tionghoa-Indonesa. Sekalipun menentukan asli tidaknya suatu karya bukan persoalan yang mudah, agaknya tidaklah sukar untuk menyebut KPH sebagai penulis cerita asli paling fenomenal sepanjang sejarah, yang oleh Salmon (1985:166) dikatakan sebagai `satu-satunya pengarang untuk siapa kami mempunyai suatu kepustakaan yang membentang melewati tahun 1960`. Di belakang KPH masih ada pengarang lain yang biarpun tidak terlalu produktif perlu disebutkan, di antaranya adalah Sriwidjono, Stevanus S.P., Yohanes, dan Batara yang kebetulan juga murid-murid terkasih KPH. dalam banyak hal, karya para pengarang ini memang memperlihatkan pengaruh sang guru. Namun, barangkali karena mereka tidak memiliki “tulang yang baik” – istilah KPH untuk menyebut anak bertalenta silat, karya mereka tidak cukup populer di tengah khalayak.

Cerita-cerita silat ini membangun sebuah dunia bacaan yang terpisah dari perkembangan sastra peranakan secara keseluruhan. Di tengah kecenderungan perkembangan sastra Peranakan Tionghoa yang secara perlahan-lahan “berintegrasi” dengan sastra nasional, cerita silat mampu menciptakan sebuah fenomena kultural yang unik di mana di dalamnya terdapat kesatuan jagat pembaca multikultural, jagat komunitas “taman bacaan” (lengkap dengan segala atributnya: kartu anggota, fans club, ajang diskusi, hingga kisah cinta antarpembaca!), dan jagat konvensi estetik yang nyaris tidak tersentuh konvensi estetik sastra nasional.

Perlu disinggung bahwa dalam hubungannya dengan perkembangan cerita silat Indonesia, beberapa peneliti berpendapat bahwa genre sastra ini amat dipengaruhi oleh cerita silat Tionghoa. Dalam kaitan ini, Suryadinata (2002:223) mengemukakan bahwa munculnya cerita silat Indonesia turut dimungkinkan oleh kesamaan latar belakang budaya Indonesia dan budaya Tiongkok. Bahkan, Atmowiloto (1984:54) menegaskan bahwa cerita wayang, ketoprak, dan drama daerah lainnya pada dasarnya tidak berbeda dengan cerita silat Tionghoa. Seperti dalam cerita silat Tionghoa, dalam kesenian-kesenian tradisional itu pun selalu ada perjuangan dan pertarungan yang melibatkan sang pendekar yang mumpuni, si jahat yang licik dan pengecut, serta orang-orang yang hidupnya tertindas.

Memang, jika diperhatikan secara saksama, harus diakui bahwa yang disebut cerita silat Indonesia itu sebenarnya tidak lebih daripada sekadar “pengindonesiaan” (subsstitusi) nama tokoh, tempat, peristiwa, dan unsur lain yang lazim terdapat dalam cerita silat Tionghoa. Kenyataan ini tampaknya sulit dibantah mengingat S.H. Mintaredja sendiri, salah seorang pelopor penulisan cerita silat Indonesia, pernah mengatakan bahwa cerita silat Tionghoa terlalu berjarak dengan “mentalitas” orang (pemaca) Indonesia. Berangkat dari kesadaran itulah, ia kemudian meletakkan karya-karyanya dalam konteks sejarah Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh sejarah Jawa (Bonneff, 2001:116). Sebagai contoh, empat serialnya yang amat terkenal, Api di Bukit Menoreh, Pelangi di Langit Singosari, Nagasasra dan Sabuk Inten, dan Bunga di Baatu Karang masing-masing ditaruhnya dalam konteks sejarah Kerajaan Mataram, Singosari, dan Demak. Namun, biarpun bernuansa Indonesia (Jawa), tidak dapat disangkal bahwa dalam berbagai segi keempat karya di atas menampakkan formulasi naratif yang sama dengan Sia Tiauw Eng Hiong dan Sin Tiauw Hiap Lu-nya Jin Yong.

Selain itu, janganlah dilupakan bahwa KPH yang terlanjur dikenal sebagai penulis cerita silat (berlatar) Tiongkok, pada waktu yang sama juga rajin menulis cerita silat (berlatar) Indonesia (Jawa). Proses kreatif yang “mendua dunia” ini jelas semakin mengukuhkan pandangan di atas. Dalam hal ini, tidaklah terlalu sukar untuk membayangkan situasi ketika KPH menulis cerita silat (berlatar) Tiongkok. Sebagai fakta, bandingkanlah Badai Laut Selatan (1969), Darah Mengalir di Borobudur (1961), atau Bajak Laut Kertapati (1961) dengan Cinta

Bernoda Darah (1968), Sepasang Rajawali (1973), atau Pendekar Lembah Naga (1975); tidak ada apa pun yang membedakan keenam karya tersebut.




Anotasi Bibliografi Hukum Tata Negara

PENGERTIAN HUKUM TATA NEGARA

                                                                            

Kusnardi. (1988: 25). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. PD.Budi Chaniago


Kutipan             : Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara.              
Komentar          : Berdasarkan teori tersebut, Hukum Tata Negara (Constitutional Law) memberi dukungan yuridis konstitusional untuk mendirikan dan menata bangunan organisasi negara, sehingga dalam posisi dibangun tidak dalam bergerak, sebagai objek. Adanya HTN adalah untuk mengatur dan mengendalikan berbagai organisasi dan lembaga-lembaga kenegaraan yang ada di negara kita. Sehingga organisasi-organisasi yang ada dalam kelembagaan negara kita dapat berjalan teratur dan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Sehingga tujuan negara dapat mudah terwujud.

PENATAAN INFRASTRUKTUR DAN SUBSTRUKTUR INFORMASI HUKUM



Asshiddiqie.(2005: 158-159). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta.Konstitusi Press

Kutipan : Setiap sistem hukum selalu terbentuk atas tiga pilar utama, yaitu pilar institusi, pilar kultur hukum, dan pilar instrumen hukum itu sendiri.  Dalam arti sempit instrumen yang dimaksud biasanya adalah instrumen peraturan perundang-undangan tertulis.
Komentar : Substrukutur informasi hukum yang bersifat instrumental tersebut perlu dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi informasi modern, yaitu”IT-based”. Untuk itu perlu dibentuk undang-undang untuk mengaturnya, adany pelembagaan pusat informasi hukum itu. Pemerintah berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang terarah dan terkoordinasi mengenai hal-hal tersebut, berhubung banyak pihak yang terkait di dalamnya. Sehingga bisa semakin jelas dan tegas peraturan tersebut.

PENATAAN INFRASTRUKTUR DAN SUBSTRUKTUR INFORMASI HUKUM


Asshiddiqie.(2005: 158-159). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta.Konstitusi Press


Kutipan : Tetapi dalam arti luas, instrumen hukum itu juga mencakup ketiga pengertian putusan hukum seperti, yaitu (a) putusan legislatif dan regulatif berupa peraturan perundang-undangan, (b) putusan administratif berupa keputusan-keputusan jajaran pemerintahan, dan (c) putusan judikatif berupa vonis dan penetapan hakim dalam seluruh tingkatannya.
Komentar: Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, DPR, MPR(DPD) dan Presiden terkait secara fungsional di dalamnya. Karena itu, dalam undang-undang yang akan dibentuk khusus berkenaan dengan sistem hukum nasional atau tentang perundang-undangan yang telah ada di DPR, perlu diatur dengan tegas adanya infrastruktur pusat informasi hukum itu secara jelas, sehingga semua pihak terkait dengannya. 

FLEXIBLE AND RIGID

Kusnardi. (1988:75 ). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. PD.Budi Chaniago

Kutipan: Flexible atau Rigid adalah sifat suatu Konstitusi, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan luwes atau kaku. Menentukan suatu konstitusi bersifat flexible atau rigid dapat dipakai ukuran sebagai berikut :
1.      Cara merobah Konstitusi
2.      Apakah konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman
Komentar: Konstitusi itu tidak boleh seenaknya dirubah-rubah. Namun, konstitusi itu bersifat rigid dan flexible. Dimana peraturan itu kaku, saklek, harus ditaati oleh seluruh warganegara tanpa terkecuali. Namun, bisa juga berubah ketika isi peraturan tesebut sudah tidak sesuai dengan keadaan dan kondisi masyarakat luas, dan ketika sudah tidak sesuai dengan kebutuhan semua lapisan masyarakat. Jadi, peraturan perundangan itu luwes.

KAJIAN HUKUM TATA NEGARA

Asshiddiqie.(2005:89). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta.Konstitusi Press

Kutipan : Kajian HTN (di Indonesia) menurut Jimly dapat dibedakan :
1.      HTN umum yang berisi asas-asas hukum yang bersifat universal;
2.      HTN yang berisi asas-asas yang berkembang dalam teori dan praktik di suatu negara tertentu;
3.      HTN positif yang berlaku di Indonesia yang mengkaji mengenal hukum positif di bidang ketatanegaraan di Indonesia.
Komentar: Benar sekali bahwa HTN di setiap negara itu pasti berbeda, tidak akan sama. Semua itu sesuai dengan pandangan hidup dan ideologi negaranya. Namun, meskipun demikian HTN ini bersifat universal, berlaku umum dimana saja di negara mana saja. Dan dalam praktiknya di setiap negara sesuai dengan tujuan organisasi dan kelembagaan di negaranya. Bisa saja dipengaruhi oleh karakter pemimpin bangsa dan negaranya.
            Seperti di Indonesia, akan berbeda dengan praktik pelaksanaan HTN di Malaysia karena Malaysia berbentuk Kerajaan sedangkan Indonesia berbentuk Republik dan sistem pemerintahannya presidensil. Adapun HTN yang berlaku di negara kita sendiri di Indonesia HTN berlaku dan diterapkan sesuai dengan pandangan hidup bangsa dan sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia. Yang salah satunya sesuai dengan falsafah pancasila dan peraturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
            Keberadaan HTN ini bukan menjadi penghalang berjalannya sistem pemerintahan dalam suatu negara, justru keberadaan HTN itu membantu dan mengatur dalam suatu negara untuk mengatur dan mengendalikan organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga yang ada dan terbentuk dalam negara tersebut.

PRESIDEN DAN BADAN PEMERINTAHAN

Asshiddiqie.(2005:172). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta.Konstitusi Press


Kutipan : Secara horizontal, yang dapat dimasukkan ke dalam kategori sebagai lembaga pemerintahan di tingkat pusat setidaknya adalah kantor lembaga kepresidenan, kantor departemen pemerintahan, kantor kementrian tanpa portofolio, dan kantor badan-badan pemerintahan non-departemen.
Komentar: Masing-masing lembaga atau badan selalu diikat oleh perangkat-perangkat peraturan tertulis yang lebih tinggi, dan didalamnya terdapat peraturan yang diberlakukan. Peraturan tersebut diberlakukan untuk dipahami oleh setiap orang. Untuk itu diperlukan unit kerja dalam upaya pendokumentasian dan pemanfaatannya untuk menjamin keberlakuannya dalam kenyataan praktek dalam kenegaraan.

JENIS-JENIS PUTUSAN HUKUM

Asshiddiqie.(2005:151). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta.Konstitusi Press

Kutipan             : Dalam hubungannya dengan administrasi hukum, ada tiga jenis putusan hukum yang perlu mendapat perhatian, yaitu : (a) pengaturan (regeling), (b) penetapan administratif (beschikking), dan (c) putusan hakim (vonis).
Komentar          : Regeling ialah peraturan dalam artian menyeluruh yaitu perundang-undangan, mulai dari tingkatan tertinggi sampai terendah. Beschikking merupakan produk administrasi negara, produk kekuasaan eksekutif murni. Sedangkan putusan hakim terbaik tetap dianggap salah satu sumber hukum yang penting dan dijadikan referensi di kemudian hari. Peranan hakim sangatlah penting dalam perkembangan hukum.  Selain memvonis, hakim dapat mengeluarkan penetapan yang jiga bernilai hukum.

PENGERTIAN MAHKAMAH AGUNG

Kusnardi. (1988:227 ). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. PD.Budi Chan
Kutipan             : Mahkamah Agung sebagai badan atau lembaga yang mempunyai tugas menegakkan tertib hukum yang telah digariskan oleh rakyat, di samping Mahkamah Agung yang merupakan peradilan kasasi serta mengawasi kegiatan-kegiatan peradilan dibawahannya.
Komentar          : Mahkamah Agung memang benar menjadi tingkat pengadilan tertinggi. Tidak ada lagi pengadilan tertinggi selain Mahkamah Agung. Sehingga bisa dikatakan Mahkamah Agung ini puncaknya keadilan dan kesetaraan seseorang atau pihak yang yang diadili. Untuk menjadi lembaga yang mewakili rakyat, maka Mahkamah Agung harus memiliki kredibilitas dan menjadi aspirasi rakyat jangan menjadi payung pemerintah yang tidak membela rakyat.

ASAS NEGARA HUKUM

Aristoteles dalam Kusnardi. (1988:153 ). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. PD.Budi Chan

Kutipan : Aristoteles berpendapat bahwa pengertian Negara Hukum itu timbul dari Polis yang mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota dan berpenduduk sedikit, tidak seperti negara-negara sekarang ini yang mempunyai wilayah luas dan berpenduduk banyak (vlakte staat). Dalam polis itu segala urusan negara dilakukan dengan musyawarah (ecclesia), dimana seluruh warga negaranya ikut serta dalam urusan penyelenggaraan negara.
Komentar : sependapat dengan pendapat Aristoteles, ketika negara masih berbentuk Polis memudahkan peran serta warganegara itu untuk ikut serta dalam pelaksanaan pemerintahan, dan berperan aktif dalam pelaksanaan demokrasi. Karena wilayahnya tidak terlalu luas. Berbanding terbalik jika negaranya seperti sekarang yang luas-luas, sehingga peran serta warga negara dalam pelaksanaan pemerintahan sulit dijangkau karena terlalu luas.

PENGAWASAN TERHADAP PEMERINTAHAN
DAN PEMBELANJAAN NEGARA

Harold J.Laski dalam Asshiddiqie.(2005: 44). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta.Konstitusi Press

Kutipan : The function of a parliamentary system is not to legislate; it is naive to expect that 615 men and women can hope to arrive at a coherent policy.

Komentar : Menurut pendapatnya, fungsi parlemen yang penting justru adalah untuk menyalurkan keluhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, dan membahas prinsip-prinsip yang perlu dijadikan pegangan bagi pemerintah dalam melakukan tugas. Parlemen tidak didirikan untuk mengatur (to rule), juga tidak untuk menyusun dan merumuskan suatu kebijaksanaan, tetapi untuk mengawasi pelaksanaan aturan dan kebijaksanaan itulah yang paling penting.