Tampilkan postingan dengan label problematika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label problematika. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 April 2012

PROBLEMATIKA PROSTITUSI MELALUI INTERNET

2.1  Sejarah Prostitusi
Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti oral seks atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).
Sedikitnya satu juta anak usia di bawah 16 tahun di Asia terjebak dalam pelacuran, bisnis pelacuran memang menimbulkan dilema. Tak jarang bahkan pemerintah daerah berkepentingan terhadap eksistensi lokalisasi karena berbagai alasan, seperti, "meningkatkan pendapatan daerah", "membuka lapangan kerja", maupun sebagai "stok" untuk "menyuguh" relasi bisnis atau pejabat yang doyan "daun muda". Singkat kata, bicara tentang prostitusi adalah bicara tentang hal yang sangat kompleks mengingat peradaban yang termasuk tertua di dunia ini tidak pernah absen dari kehidupan manusia. Dengan kata lain, prostitusi sulit dihapuskan.
Tokoh postmodern, Michel Foucault, menyatakan, setelah ada keterbukaan telah terjadi represi modern atas seksualitas, dan represi itu terkait erat dengan kapitalisme. Kehadiran perempuan di sektor publik dalam sistem kapitalisme tidak sebatas pada kemampuan berpikir dan bertindak, melainkan juga dimanfaatkan sebagai obyek kepuasan. Oleh karena itu, membanjirnya kaum perempuan yang bekerja di sektor publik tidak dapat dengan serta-merta dijadikan indikator peningkatan peran atau status perempuan.
Pada tingkat pasar, misalnya, penggunaan tubuh perempuan untuk keperluan iklan barang-barang konsumtif, menunjukkan telah terjadi pergeseran seksualitas dan tubuh dari domain "privat" ke domain "publik"; dari yang sakral ke yang profan, bukan sekadar pergeseran fungsi reproduktif perempuan dari prokreasi ke rekreasi atau pergeseran dari ritual ke ekspresi identitas dan gaya hidup (Shiling, 1993).
Berbagai iklan yang memanfaatkan tubuh perempuan umumnya didahului oleh penonjolan citra atau image yang membangkitkan mimpi dan fantasi. Sketsa ringkas ini hanya sekadar menunjukkan bahwa proses transformasi dalam struktur masyarakat yang mengarah kepada pertumbuhan ekonomi, tidak otomatis mengangkat derajat kaum perempuan. Atau dengan kata lain, peningkatan status hanya berhenti pada tataran yang paling artifisial.
Selanjutnya berkaitan dengan pelacuran, Eviota (1992) mengatakan bahwa relasi seksualitas adalah relasi sosial yang merupakan relasi kekuasaan tempat kaum lelaki mengontrol seksualitas perempuan. Lelaki adalah pihak yang dominan baik secara seksualitas dan sosial. Penggunaan alat kontrasepsi yang 90 persen lebih digunakan oleh kaum perempuan dan tuntutan adanya keperawanan (dan bukan keperjakaan), misalnya, menunjukkan domain kekuasaan itu.
Foucault dalam History of Sexuality (1976) menuding bahwa seksualitas merupakan hubungan kuasa yang dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dari diskursus plural (discursive practices) dan praktik kelembagaan dari aparatus seksualitas sampai abad ke-20. Analisis Foucault tentang kuasa sebagai proses yang menghasilkan bentuk-bentuk tertentu seksualitas dan penanaman kuasa pada tubuh perempuan telah memberikan perspektif baru bagi kaum feminis bahwa seksualitas dan hubungan seksual disusun secara sosial.
Dalam konstruksi Foucault, perempuan berada dalam posisi obyek, baik obyek seksualitas maupun obyek penimpaan kesalahan. Laki-laki cenderung menyalurkan hasrat seksualitasnya kepada siapa pun (dalam hal ini, perempuan) yang dikehendaki. Ini mengandaikan pada umumnya perempuan berada dalam posisi pasif sehingga kalau ada hal yang tidak berkenan (pada si lelaki), lelaki menggunakan hal itu untuk alasan "jajan".
Demikian pula dalam tradisi raja-raja Jawa. Selir-selir merupakan "ritual" yang dianggap penting bagi kepuasan sang raja. Kenyataan ini makin memperkuat tesis Foucault di atas (Jones, dkk. 1995). Jones juga mengatakan, perempuan yang dijadikan komoditas sudah berlangsung turun-temurun.
Hasil penelitian Kuntjoro (1995) menunjukkan, sebagian besar masyarakat yang "memproduksi" pelacur seperti di daerah Mojo Tengah, Indramayu, atau daerah-daerah lainnya di Jawa Timur menganggap anak perempuan cantik ibarat "sawah". Makin cantik si anak berarti makin besar "sawahnya". Bahkan, sang bapak atau suami tak malu-malu lagi mengantarkan anak atau isterinya kepada para germo.
Seorang WTS yang dikutip Tiras (16/3/1995) mengatakan: "Bagi tetangga saya tidak ada masalah saya kerja apa di Jakarta, punya suami atau tidak, sebab pada umumnya perempuan Indramayu setelah musim paceklik dan setelah cerai dari suaminya lari ke Jakarta. Bahkan, di sini tidak aneh jika seorang bapak mengantarkan sendiri anak-anaknya yang cantik ke Kramat Tunggak!"
Sketsa tersebut menunjukkan bahwa masalah pelacuran adalah masalah yang multikompleks, yang tidak berhenti pada masalah ekonomi, namun juga kelonggaran "kultur" masyarakat di sekitarnya, pengaruh gaya hidup, "tradisi" setempat, juga persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi tersebut.
Hal-hal itulah yang ditangkap para cukong atau para "penyalur" dengan memanfaatkan jaringan yang sangat rapi dan tak jarang malahan didukung oleh "backing" aparat keamanan. Profesi seperti itu amat menggiurkan karena beban pekerjaannya relatif mudah dilakukan dan hasilnya sangat banyak. Mengingat demikian luas jaringannya, tidak mengherankan jika kasus-kasus perdagangan anak-anak perempuan yang akan dipekerjakan sebagai pelacur susah untuk dibongkar, meskipun sebenarnya hukum bisa menjeratnya.
Namun, apa yang bisa diharapkan dari penegakan hukum? Di negeri ini segala hal yang menyangkut masalah hukum bisa diperjualbelikan, kecuali kasus-kasus hukum yang dilakukan oleh masyarakat kecil yang tidak memiliki sumber daya keuangan. Justru dengan semakin beratnya tuntutan, "bisnis" hukum semakin menggiurkan karena semua mata rantai proses hukum bisa ditutup mulutnya dengan imbalan uang.
Salah seorang yang mengemukakan pandangan seperti itu adalah Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja. Ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya."
Pandangan yang negatif terhadap pelacur seringkali didasarkan pada standar ganda, karena umumnya para pelanggannya tidak dikenai stigma demikian.

2.2  Prosedur Prostitusi melalui Internet
Prostitusi yang merambah melalui media internet merupakan adalah salah satu dampak buruk dari kemajuan internet yang ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Melalui internet para gadis pejaja seks ini menawarkan diri di situs-situs yang menyediakan pelayanan untuk meng-upload foto dan video. Mulai dari berkenalan hingga akhirnya melakukan transaksi dengan harga yang cukup lumayan mahal karena pada umumnya para gadis ini mengaku sebagai mahasiswi dan juga berpenampilan menarik.
Diketahui banyak gadis belia yang secara terang-terangan menawarkan pelayanannya melalui website yang dikelola para mucikari. Biasanya mucikari memiliki beragam cara untuk merekrut anak asuhnya, tapi biasanya mucikari ini merekrut atau mencari gadis belia yang berpenampilan menarik melalui layanan chating dan sejenisnya yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi trend dikalangan anak muda. Setelah mucikari berhasil merayu para gadis belia untuk menjadi anak asuhnya mereka biasanya akan langsung ditawarkan lewat website yang dikelola mucikari tersebut.
Untuk dapat berkencan dengan anak asuh mucikari ini, pemesan/user biasanya harus register terlebih dahulu pada website yang telah disediakan. Website yang kini banyak menjamur dan dapat kita akses dengan mudah seperti www.hartonosejakdulu.com, www.adelimut.com, www.jakartaescortladies.com, www.zahravirgine.com [yang sekarang sudah tidak aktif], atau www.wanita18.com.
Dengan mengisi formulir yang telah disediakan yang berisi nama, alamat, nomor telepon dan lain sebagainya. Setelah semua register selesai para user ini yang kini menjadi member dapat mengakses semua foto-foto yang telah di upload maupun melakukan chatting seks dengan anak buah mucikari tersebut. Chatting seks yang dilakukan juga tidak sebebas chatting biasa, karena biasanya user akan ditawari untuk berkencan secara langsung ditempat yang sudah disediakan. Untuk memilih gadis yang akan dikencani, biasanya member ini memilih lewat foto-foto yang telah di upload atau setelah melakukan chatting seks dengan anak buah mucikari itu. Harga yang ditawarkan biasanya mulai 500.000 s/d 2.500.000 atau mungkin lebih, harga tersebut biasanya untuk 1 - 3 jam kencan. Pesanan akan di antar ke tempat yang telah disepakati.
Diatas itu adalah contoh bisnis prostitusi dalam dunia maya yang memang dikelola secara professional tapi jika kita mau perhatikan ada banyak sekali jenis prostitusi di internet. mulai dari yang sekedar coba – coba nakal, kenapa disebut seperti itu karena biasanya apa yang ditawarkan hanya di berjalan dalam internet saja dan tidak pernah besentuhan fisik. Ada juga yang menawarkan kencan hanya untuk senang – senang atau tawaran kencan yang penting dibayar atau dibayar dengan sesuatu. sampai professional seperti yang disebutkan diatas.
Prostitusi di internet memang sudah sedemikian maraknya tapi ini hanyalah salah satu dampak buruk yang ditimbulkan dari orang – orang yang kurang bijak memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

2.3 Faktor-Faktor Mempengaruhi Terjadinya Prostitusi
A. Faktor Penyebab
Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa jumlah anak dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia semakin meningkat dalam empat tahun terakhir ini, terutama semenjak krisis moneter terjadi. Setiap tahun sejak terjadinya krismon, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Sementara itu, menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun.
Dilihat masalah prostitusi di kalangan remaja ini semakin membuka mata kita dan memperlihatkan kenyataan saat ini bahwa betapa harus diwaspadai anak-anak kita agar tidak sampai tercebur di dunia prostitusi. Apalagi orang tua di zaman sekarang jarang untuk memperhatikan kegiatan anak-anaknya. Sifatnya yang serba individualis, kadangkala orang tua cukup memberi kepercayaan penuh pada anak-anaknya tanpa memandang bahwa anak itu akan menjaga sepenuhnya kepercayaan dari orang tuanya. Lebih jauh ditegaskan, proses pematangan fisik pada remaja terjadi lebih cepat dari proses pematangan psikososial. Hal ini sering menyebabkan berbagai masalah. Di satu sisi remaja sudah merasa matang secara fisik dan ingin bebas dan mandiri. Di sisi lain mereka tetap membutuhkan bantuan, dukungan serta perlindunga orang tua. Orang tua sering tidak mengetahui atau tidak memahami perubahan yang terjadi pada remaja sehingga tidak jarang terjadi konflik di antara keduanya. Karena merasa tidak dimengerti remaja seringkali memperlihatkan agresifitas yang dapat mengarah pada perilaku berisiko tinggi.
Alasan-alasan mengapa seorang remaja bisa terjerumus ke dalam dunia prostitusi juga sangat kompleks, karena menyangkut masalah sosial, ekonomi, pendidikan, angka putus sekolah, kesehatan (terutama menyangkut ketergantungan NAPZA) tidak saja dari pihak si remaja tadi melainkan juga keluarga dan seluruh masyarakat di sekelilingnya. Banyak dari mereka yang nekat menjadi pekerja seks karena frustrasi setelah harapannya untuk mendapatkan kasih sayang di keluarganya tidak terpenuhi. Sebagian datang dari keluarga “broken home”, sebagian ada yang pernah mengalami kekerasan seksual dari pacar atau anggota keluarganya sendiri seperti paman atau bahkan ayahnya.
Selain itu, peran media massa juga tidak dapat diabaikan. Liputan, tayangan film yang menampilkan adegan seks dan pornografi, serta perkembangan dunia mode dan fashion juga antara lain membuat para remaja (terutama perempuan) makin menyadari potensi seksual dan sensualitasnya serta bagaimana menggunakan potensi itu untuk memperoleh uang agar dapat mengikuti pola hidup konsumerisme yang sudah menjangkiti masyarakat. Dengan kecanggihan teknologi, bahwasanya tak ayal lagi remaja sangat mudah mempelajari internet. Dengan kemampuan yang dimiliki saat ini merupakan hal yang mudah bagi dirinya untuk memperluas akses atas sensualitas diri. Mereka banyak yang menjajakan diri di dunia maya, dengan menyebarkan foto-foto vulgar yang dimilikinya dan menjadi gairah tersendiri bagi kaum lelaki. Mulai dari berkenalan hingga akhirnya melakukan transaksi dengan harga yang cukup lumayan mahal Hal ini mudah bagi seorang mucikari untuk menjual remaja-remaja wanita ini pada siapapun yang berminat.
Parahnya, persentase pelajar belia yang rela memperdagangkan seks di internet ternyata cukup mengejutkan, setidaknya di Korea Selatan. Dalam survei Kementerian Kesetaraan Gender Korea Selatan di wilayah Busan pada 2012 pelajar wanita, 672 di antaranya atau 33,4 persen menyatakan pernah menerima tawaran prostitusi via internet.
Di antara para pelajar yang menerima penawaran seperti itu, hanya 35 persen yang mengaku tidak mempedulikannya. Sebanyak 20 persen mengaku nekat melibatkan diri dalam perdagangan seks online tersebut dan sisa responden juga mengaku tertarik dengan tawaran itu.
Adapun di antara para pelajar yang terlibat dalam perdagangan seks online tersebut, 37 persen melakukannya karena dorongan hati dan 25 persen karena ingin meraup uang secara instan. Sementara sisanya karena merasa ingin tahu serta alasan-alasan lainnya.
Ketika ditanya mengapa mereka suka melakukan transaksi seks secara online, alasannya adalah karena kemudahan akses dan adanya anonimitas di dunia maya. Sisanya menjawab internet memungkinkan mereka bisa menjual seks tanpa khawatir terjaring hukuman.

B. Faktor Akibat
Apa pun alasan seorang remaja terjun di dunia prostitusi, karakteristik pekerjaan yang harus dilakukan oleh pekerja seks membuat prostitusi menjadi pekerjaan yang berisiko tinggi. Dalam melakukan pekerjaannya, mereka berganti-ganti pasangan dan melakukan hubungan seksual dengan banyak orang. Di antara pelanggan yang datang dan pergi itu tentunya juga terdapat berbagai karakter manusia: ada yang lembut, ada yang kasar, ada yang sehat, ada pula yang berpenyakit menular, yang jujur, dan yang menipu.
Dari pelanggan yang banyak dan beragam itulah, risiko yang dihadapi seorang pekerja seks juga banyak dan beragam. Dari pelanggan yang penipu, mungkin saja ia tidak dibayar oleh pelanggan setelah melakukan aktivitas seksual. Apabila tidak menggunakan alat kontrasepsi, pekerja seks juga berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, posisi tawar yang lemah di pihak pekerja seks juga membuat mereka sering tidak berhasil membujuk pelanggannya untuk menggunakan proteksi/kondom. Akibatnya, dari pelanggan yang mengidap penyakit menular seksual (PMS), atau bahkan HIV/AIDS, pekerja seks tadi dapat tertular tanpa mampu melindungi tubuhnya. Apalagi ada mitos, karena risiko tertular HIV lebih besar jika berhubungan dengan pekerja seks dewasa, maka kaum pria hidung belang memburu anak-anak. Banyak jenis PMS (Penyakit Menular Seksual) yang tidak dapat dengan mudah disembuhkan, atau bahkan menimbulkan kematian kalau tidak ditangani serius. Selain itu, beberapa penyakit juga dapat merusak organ reproduksi secara permanen.
Risiko berat lain yang seringkali harus dihadapi remaja sebagai pekerja seks adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelanggan yang bisa jadi sampai mengancam nyawanya. Tidak jarang, pelanggan yang datang juga menginginkan bentuk hubungan seks yang tidak wajar, bahkan ada yang suka merekam aktivitas seksual mereka dengan kamera video.
Selain risiko karena karekteristik pekerjaannya sendiri, masih ada risiko lain. Prostitusi juga bukan dunia yang mudah ditinggalkan. Sekali kita tercebur, perlu usaha ekstra keras untuk berhenti. Banyak remaja, terutama di kalangan anak sekolah atau kuliah yang terjun ke dunia prostitusi memang tidak berniat untuk menjadikan prostitusi sebagai pekerjaan utamanya. Mereka berpikir, mereka hanya akan menjadi pekerja seks sementara saja. Dalam beberapa tahun ke depan mereka akan berhenti dan beralih profesi. Ternyata masalahnya tidak semudah itu. Apabila aktivitasnya sebagai pekerja seks ini diketahui oleh keluarganya (apalagi, misalnya, salah satu pelanggan merekam adegan seks mereka kemudian mengedarkannya), maka besar kemungkinan mereka tidak mau menerimanya kembali. Belum lagi teman-teman dan lingkungan masyarakat yang seringkali sangat judgemental atau bersikap menghakimi. Hal ini membuat mereka merasa lebih baik terus bekerja sebagai pekerja seks. Lama kelamaan, pilihan untuk bekerja si bidang lain akan tertutup.
Profesi sebagai pekerja seks tidak dipandang sebagai profesi yang terhormat oleh masyarakat. Memang di kalangan masyarakat luas sendiri terdapat semacam dualisme dalam menyikapi masalah prostitusi. Di satu pihak, demand atau permintaan terhadap pekerja seks remaja juga tetap tinggi dan banyak yang bersedia membayar pekerja seks remaja lebih mahal dibanding yang sudah berumur. Namun, di pihak lain, walaupun saat ini sebagian kecil masyarakat sudah mulai melihat para pekerja seks sebagai korban dan berusaha untuk menawarkan program-program pengentasan untuk menolong mereka, sebagian besar lain dari masyarakat masih terus mengutuk dan mengucilkan para pekerja seks, menganggap mereka sampah masyarakat. Bahkan ketika mereka ingin beralih profesi ke bidang lain yang dipandang bermartabat oleh lingkungannya, masyarakat tidak begitu saja menerima mereka. Hal ini mengakibatkan para pekerja seks mengalami kesulitan untuk alih profesi ke bidang lain.
Kalau dari tadi yang kita bahas adalah risiko bagi pihak perempuan, hal ini karena dalam dunia prostitusi memang lebih banyak perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks dibanding laki-laki. Cowok yang menjadi pekerja seks biasanya melayani pelanggan homoseksual, walaupun belum tentu cowok tadi homoseksual juga. Sedangkan pekerja seks pria yang melayani pelanggan wanita sangat jarang.
Data yang pasti mengenai pekerja seks di bawah umur sangat sulit untuk diperoleh. Pertama, karena biasanya pekerja seks tersebut diberi atau menggunakan identitas palsu di mana umur dan fotonya dibuat supaya terlihat lebih tua. Apalagi di dunia maya yang belum pasti kebenarannya hal itu bisa saja dilakukan sedemikian rupa agar tidak terdeteksi kepalsuannya. Kedua, hampir tidak ada keluhan baik dari pelanggan maupun para pekerja seks itu sendiri menyangkut aktivitas seksual yang dilakukan. Ketiga, mobilitas para pekerja seks itu sendiri juga begitu tinggi sehingga mempersulit pelacakan.
Sulitnya memperoleh data itu membuat masalah ini tidak mendapat perhatian yang cukup, dan berdampak pada tidak jelasnya perlindungan yang (seharusnya) diberikan oleh pemerintah bagi para pekerja seks, terutama pekerja seks di bawah umur.
Dari risiko pekerjaan, hubungan dengan masyarakat dan minimnya perlindungan yang diberikan, kita tahu bahwa prostitusi bukanlah lapangan pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Mengenai penghasilan, benarkah prostitusi menjanjikan kekayaan? Ternyata tidak serta merta demikian. Dari jumlah yang dibayar oleh pelanggan, tidak semuanya bisa dimiliki oleh pekerja seks, khususnya pekerja yang tergantung pada pihak perantara. Ia harus membaginya dengan mucikari, perantara yang mengatur pertemuan antara pekerja seks dengan pelanggannya, atau germo, si pemilik rumah pelacuran. Bahkan pekerja seks independen yang tidak tergantung pada jasa perantara juga tidak bisa menikmati hasil keringatnya 100 persen. Dengan pekerjaan yang sangat berisiko terhadap kesehatannya, seringkali mereka harus mengeluarkan banyak uang untuk berobat memulihkan kesehatannya.
Oleh karena itulah, banyak perempuan baik remaja maupun dewasa yang sudah telanjur tercebur di dunia prostitusi merasa tidak ingin bertahan dan ingin keluar dari dunia yang digelutinya itu. Walaupun sangat sulit karena banyak godaan untuk kembali (antara lain karena sudah menyandang stigma tertentu di mata masyarakat sehingga sulit memperoleh pekerjaan baru), ada juga yang berhasil "keluar" dan beralih profesi ke bidang lain yang lebih sehat dan memiliki masa depan yang lebih cerah. Beberapa dari mereka bahkan kemudian aktif menjadi relawan untuk membantu teman-temannya yang ingin mentas dari dunia prostitusi, dan juga membagi pengalamannya kepada remaja lain agar tidak sampai mengalami kehidupan pahit yang telah mereka rasakan.

2.4 Penanganan Prostitusi
A. Penanganan terhadap Pelaku Prostitusi Online
      Dalam pasal 27 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disebutkan: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".
Sementara, pasal 45 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)  berbunyi: "Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
Era 'melek teknologi' rupanya sudah merambah ke semua lini kehidupan. Tak terkecuali dunia pelacuran. Terdapat ratusan situs internet yang menjadi lahan para mucikari untuk menawarkan para gadis belia yang rela menjual tubuhnya pada pria hidung belang.
Namun, polisi tidak serta merta dapat menangkap semua pemilik situs tersebut, "Situsnya sendiri banyak tapi dipilah berdasarkan kemudahan pengungkapan. Yang menjadi kesulitan polisi adalah identitas mereka (pemilik atau pengelola situs) palsu semua.
Banyak  pihak mengharapkan sanksi yang cukup berat bagi para pelaku prostitusi online ini dikarenakan meresahkan warga masyarakat Indonesia khususnya para orangtua. Mereka sangat ketakutan anaknya berkecimpung ke hal yang sangat membahayakan bagi dirinya terutama orangtuanya. Meskipun sebagian kecil ada yang tertangkap basah oleh aparat kepolisian, namun masih banyak di luar sana yang sampai saat ini melakukannya. Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi antara masyarakat dan pihak aparat kepolisian. Saksi-saksi mata yang melihat kejadian itu diharapkan bisa bekerja sama dengan kepolisian untuk mengungkap kasus prostitusi yang terjadi secara online ini.

B. Penanganan Prostitusi dengan Kemanusiaan
Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban.
Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan.
Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka.
Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat "kantung-kantung" prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban.
Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban..
Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi. Selama ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan.
Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah abolisionis yang memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain.
Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita bahu-membahu mencari solusi persoalan, memberi bekal para perempuan yang dilacurkan untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca- tulis, keterampilan rias wajah, menyamak kulit, menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung.
Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.
Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan penertiban, diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi "pajangan". Karena perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan saksi pelapor juga diperlukan.
Kerja sama dan pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal dalam pemulangan juga diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek pemulangan saja.

C.    Penanganan Prostitusi dengan Keagamaan
Fenomena arus globalisasi yang membawa implikasi perubahan negatif pada pergaulan perempuan, menuntut keberanian perempuan untuk mengcounter budaya free-sex, pornografi, poligami yang senantiasa merebak meracuni pola hidup masyarakat modern. Penulis harus berbicara kepada persoalan yang menghadang dan senantiasa terus bertambah seiring arus kebebasan globalisasi.
Masalah 'penjualan diri' yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan ABG diluar sekolah, seiring dengan maraknya gaya hidup dunia gemerlap tidak bisa didiamkan begitu saja. Menyimak kehidupan malam yang dilakukan oleh sebagian remaja yang masih sekolah di menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi (PT) menarik dicermati. Betapa pendidikan yang ditempuhnya tidak bisa mengatur diri mereka, hingga larut dalam budaya free-sex yang sebenarnya melanggar aturan etika, norma, agama dan sosial.
Gejala ini memberikan ilustrasi bahwa pendidikan hanya berhenti pada sebatas mengetahui teori, tanpa mampu memberikan penyadaran yang berguna untuk mengatur diri sendiri (self-organizing). Dunia gemerlap dan prostitusi memang tidak terlihat secara kasat mata, namun menggejala dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan peredaran narkoba dan minuman keras serta perjudian. Fenomena ini akan terus merambah mengancam kehidupan remaja yang lain, apabila tidak dicounter dengan nilai-nilai spritual.
Agama sebaiknya memberikan pemecahan positif terhadap maraknya penyimpangan problem seksual yang menghalangi mereka untuk tumbuh dalam lingkungan yang baik. Karena diam terhadap persoalan berarti akan memberikan respon positif terhadap dinamika tersebut.
Penulis tidak hanya berhenti pada memberikan pendapat haram (larangan) kepada praktik prostitusi, tetapi memberikan jalan keluar bagi pelaku untuk bisa meninggalkan perbuatan yang merugikan diri sendiri. Problem prostitusi memang tidak mudah dihapus begitu saja dengan menutup tempat-tempat hiburan. Kenyataannya semakin ditutup, pelaku akan beralih ke jalan-jalan dan mengancam orang baik untuk melakukan transaksi seks.
Selama ini agama begitu rigid membicarakan secara terbuka tentang mengapa perempuan sampai menjadi pelacur, mengapa mereka tidak perduli dengan larangan agama, bagaimana agama melindungi nasib mereka. Refleksi kritis ini akan melandasi penulis untuk mencari alternatif pemecahan masalah prostitusi.