2.1 Sejarah
Prostitusi
Pelacuran atau
prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti oral seks atau hubungan seks, untuk uang.
Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut
dengan istilah pekerja seks komersial
(PSK).
Sedikitnya satu
juta anak usia di bawah 16 tahun di Asia
terjebak dalam pelacuran, bisnis pelacuran memang menimbulkan dilema. Tak
jarang bahkan pemerintah daerah berkepentingan terhadap eksistensi lokalisasi
karena berbagai alasan, seperti, "meningkatkan pendapatan daerah",
"membuka lapangan kerja", maupun sebagai "stok" untuk
"menyuguh" relasi bisnis atau pejabat yang doyan "daun
muda". Singkat kata, bicara tentang prostitusi adalah bicara tentang hal
yang sangat kompleks mengingat peradaban yang termasuk tertua di dunia ini
tidak pernah absen dari kehidupan manusia. Dengan kata lain, prostitusi sulit
dihapuskan.
Tokoh postmodern,
Michel Foucault, menyatakan, setelah ada keterbukaan telah terjadi represi
modern atas seksualitas, dan represi itu terkait erat dengan kapitalisme.
Kehadiran perempuan di sektor publik dalam sistem kapitalisme tidak sebatas
pada kemampuan berpikir dan bertindak, melainkan juga dimanfaatkan sebagai
obyek kepuasan. Oleh karena itu, membanjirnya kaum perempuan yang bekerja di
sektor publik tidak dapat dengan serta-merta dijadikan indikator peningkatan
peran atau status perempuan.
Pada tingkat
pasar, misalnya, penggunaan tubuh perempuan untuk keperluan iklan barang-barang
konsumtif, menunjukkan telah terjadi pergeseran seksualitas dan tubuh dari
domain "privat" ke domain "publik"; dari yang sakral ke
yang profan, bukan sekadar pergeseran fungsi reproduktif perempuan dari
prokreasi ke rekreasi atau pergeseran dari ritual ke ekspresi identitas dan
gaya hidup (Shiling, 1993).
Berbagai iklan
yang memanfaatkan tubuh perempuan umumnya didahului oleh penonjolan citra atau
image yang membangkitkan mimpi dan fantasi. Sketsa ringkas ini hanya sekadar
menunjukkan bahwa proses transformasi dalam struktur masyarakat yang mengarah
kepada pertumbuhan ekonomi, tidak otomatis mengangkat derajat kaum perempuan.
Atau dengan kata lain, peningkatan status hanya berhenti pada tataran yang
paling artifisial.
Selanjutnya
berkaitan dengan pelacuran, Eviota (1992) mengatakan bahwa relasi seksualitas
adalah relasi sosial yang merupakan relasi kekuasaan tempat kaum lelaki
mengontrol seksualitas perempuan. Lelaki adalah pihak yang dominan baik secara
seksualitas dan sosial. Penggunaan alat kontrasepsi yang 90 persen lebih
digunakan oleh kaum perempuan dan tuntutan adanya keperawanan (dan bukan keperjakaan),
misalnya, menunjukkan domain kekuasaan itu.
Foucault dalam
History of Sexuality (1976) menuding bahwa seksualitas merupakan hubungan kuasa
yang dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dari diskursus plural
(discursive practices) dan praktik kelembagaan dari aparatus seksualitas sampai
abad ke-20. Analisis Foucault tentang kuasa sebagai proses yang menghasilkan
bentuk-bentuk tertentu seksualitas dan penanaman kuasa pada tubuh perempuan
telah memberikan perspektif baru bagi kaum feminis bahwa seksualitas dan
hubungan seksual disusun secara sosial.
Dalam konstruksi
Foucault, perempuan berada dalam posisi obyek, baik obyek seksualitas maupun
obyek penimpaan kesalahan. Laki-laki cenderung menyalurkan hasrat
seksualitasnya kepada siapa pun (dalam hal ini, perempuan) yang dikehendaki.
Ini mengandaikan pada umumnya perempuan berada dalam posisi pasif sehingga
kalau ada hal yang tidak berkenan (pada si lelaki), lelaki menggunakan hal itu
untuk alasan "jajan".
Demikian pula
dalam tradisi raja-raja Jawa. Selir-selir merupakan "ritual" yang
dianggap penting bagi kepuasan sang raja. Kenyataan ini makin memperkuat tesis
Foucault di atas (Jones, dkk. 1995). Jones juga mengatakan, perempuan yang
dijadikan komoditas sudah berlangsung turun-temurun.
Hasil penelitian
Kuntjoro (1995) menunjukkan, sebagian besar masyarakat yang
"memproduksi" pelacur seperti di daerah Mojo Tengah, Indramayu, atau
daerah-daerah lainnya di Jawa Timur menganggap anak perempuan cantik ibarat
"sawah". Makin cantik si anak berarti makin besar "sawahnya".
Bahkan, sang bapak atau suami tak malu-malu lagi mengantarkan anak atau
isterinya kepada para germo.
Seorang WTS yang
dikutip Tiras (16/3/1995) mengatakan: "Bagi tetangga saya tidak ada
masalah saya kerja apa di Jakarta, punya suami atau tidak, sebab pada umumnya
perempuan Indramayu setelah musim paceklik dan setelah cerai dari suaminya lari
ke Jakarta. Bahkan, di sini tidak aneh jika seorang bapak mengantarkan sendiri
anak-anaknya yang cantik ke Kramat Tunggak!"
Sketsa tersebut
menunjukkan bahwa masalah pelacuran adalah masalah yang multikompleks, yang
tidak berhenti pada masalah ekonomi, namun juga kelonggaran "kultur"
masyarakat di sekitarnya, pengaruh gaya hidup, "tradisi" setempat,
juga persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi tersebut.
Hal-hal itulah
yang ditangkap para cukong atau para "penyalur" dengan memanfaatkan
jaringan yang sangat rapi dan tak jarang malahan didukung oleh
"backing" aparat keamanan. Profesi seperti itu amat menggiurkan
karena beban pekerjaannya relatif mudah dilakukan dan hasilnya sangat banyak.
Mengingat demikian luas jaringannya, tidak mengherankan jika kasus-kasus
perdagangan anak-anak perempuan yang akan dipekerjakan sebagai pelacur susah
untuk dibongkar, meskipun sebenarnya hukum bisa menjeratnya.
Namun, apa yang
bisa diharapkan dari penegakan hukum? Di negeri ini segala hal yang menyangkut
masalah hukum bisa diperjualbelikan, kecuali kasus-kasus hukum yang dilakukan
oleh masyarakat kecil yang tidak memiliki sumber daya keuangan. Justru dengan
semakin beratnya tuntutan, "bisnis" hukum semakin menggiurkan karena
semua mata rantai proses hukum bisa ditutup mulutnya dengan imbalan uang.
Salah seorang
yang mengemukakan pandangan seperti itu adalah Augustinus dari Hippo
(354-430), seorang bapak
gereja. Ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang
menyalurkan air yang busuk dari kota
demi menjaga kesehatan warga kotanya."
Pandangan yang
negatif terhadap pelacur seringkali didasarkan pada standar ganda, karena umumnya para pelanggannya
tidak dikenai stigma demikian.
2.2 Prosedur Prostitusi melalui Internet
Prostitusi yang
merambah melalui media internet merupakan
adalah salah satu dampak buruk dari kemajuan internet yang ditimbulkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Melalui internet para gadis pejaja seks ini menawarkan diri
di situs-situs yang menyediakan pelayanan untuk meng-upload foto dan video.
Mulai dari berkenalan hingga akhirnya melakukan transaksi dengan harga yang
cukup lumayan mahal karena pada umumnya para gadis ini mengaku sebagai
mahasiswi dan juga berpenampilan menarik.
Diketahui banyak
gadis belia yang secara terang-terangan menawarkan pelayanannya melalui website
yang dikelola para mucikari. Biasanya mucikari memiliki beragam cara untuk
merekrut anak asuhnya, tapi biasanya mucikari ini merekrut atau mencari gadis
belia yang berpenampilan menarik melalui layanan chating dan sejenisnya yang
beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi trend dikalangan anak muda. Setelah
mucikari berhasil merayu para gadis belia untuk menjadi anak asuhnya mereka
biasanya akan langsung ditawarkan lewat website yang dikelola mucikari
tersebut.
Untuk dapat
berkencan dengan anak asuh mucikari ini, pemesan/user biasanya harus register
terlebih dahulu pada website yang telah disediakan. Website yang kini banyak
menjamur dan dapat kita akses dengan mudah seperti www.hartonosejakdulu.com,
www.adelimut.com,
www.jakartaescortladies.com,
www.zahravirgine.com [yang sekarang sudah tidak aktif], atau www.wanita18.com.
Dengan mengisi formulir yang telah disediakan yang berisi
nama, alamat, nomor telepon dan lain sebagainya. Setelah semua register selesai
para user ini yang kini menjadi member dapat mengakses semua foto-foto yang
telah di upload maupun melakukan chatting seks dengan anak buah mucikari
tersebut. Chatting seks yang dilakukan juga tidak sebebas chatting biasa,
karena biasanya user akan ditawari untuk berkencan secara langsung ditempat
yang sudah disediakan. Untuk memilih gadis yang akan dikencani, biasanya member
ini memilih lewat foto-foto yang telah di upload atau setelah melakukan
chatting seks dengan anak buah mucikari itu. Harga yang ditawarkan biasanya
mulai 500.000 s/d 2.500.000 atau mungkin lebih, harga tersebut biasanya untuk 1
- 3 jam kencan. Pesanan akan di antar ke tempat yang telah disepakati.
Diatas itu adalah
contoh bisnis prostitusi dalam dunia maya yang memang dikelola
secara professional tapi jika kita mau perhatikan ada banyak sekali jenis
prostitusi di internet. mulai dari yang sekedar coba – coba nakal, kenapa
disebut seperti itu karena biasanya apa yang ditawarkan hanya di berjalan dalam
internet saja dan tidak pernah besentuhan fisik. Ada juga yang menawarkan
kencan hanya untuk senang – senang atau tawaran kencan yang penting dibayar
atau dibayar dengan sesuatu. sampai professional seperti yang disebutkan
diatas.
Prostitusi di internet
memang sudah sedemikian maraknya tapi ini hanyalah salah satu dampak buruk yang
ditimbulkan dari orang – orang yang kurang bijak memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi.
2.3 Faktor-Faktor Mempengaruhi
Terjadinya Prostitusi
A.
Faktor Penyebab
Sebuah penelitian
mengungkap fakta bahwa jumlah anak dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi
di Indonesia semakin meningkat dalam empat tahun terakhir ini, terutama
semenjak krisis moneter terjadi. Setiap tahun sejak terjadinya krismon, sekitar
150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Sementara itu, menurut seorang ahli,
setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun sedangkan
50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun.
Dilihat masalah prostitusi di kalangan remaja ini semakin membuka mata kita
dan memperlihatkan kenyataan saat ini bahwa betapa harus diwaspadai anak-anak
kita agar tidak sampai tercebur di dunia prostitusi. Apalagi orang tua di zaman
sekarang jarang untuk memperhatikan kegiatan anak-anaknya. Sifatnya yang serba
individualis, kadangkala orang tua cukup memberi kepercayaan penuh pada
anak-anaknya tanpa memandang bahwa anak itu akan menjaga sepenuhnya kepercayaan
dari orang tuanya. Lebih jauh ditegaskan, proses pematangan fisik pada remaja
terjadi lebih cepat dari proses pematangan psikososial. Hal ini sering
menyebabkan berbagai masalah. Di satu sisi remaja sudah merasa matang secara
fisik dan ingin bebas dan mandiri. Di sisi lain mereka tetap membutuhkan
bantuan, dukungan serta perlindunga orang tua. Orang tua sering tidak
mengetahui atau tidak memahami perubahan yang terjadi pada remaja sehingga
tidak jarang terjadi konflik di antara keduanya. Karena merasa tidak dimengerti
remaja seringkali memperlihatkan agresifitas yang dapat mengarah pada perilaku
berisiko tinggi.
Alasan-alasan mengapa seorang remaja bisa terjerumus ke dalam dunia
prostitusi juga sangat kompleks, karena menyangkut masalah sosial, ekonomi,
pendidikan, angka putus sekolah, kesehatan (terutama menyangkut ketergantungan
NAPZA) tidak saja dari pihak si remaja tadi melainkan juga keluarga dan seluruh
masyarakat di sekelilingnya. Banyak dari mereka yang nekat menjadi pekerja seks
karena frustrasi setelah harapannya untuk mendapatkan kasih sayang di
keluarganya tidak terpenuhi. Sebagian datang dari keluarga “broken home”, sebagian ada yang pernah mengalami kekerasan seksual
dari pacar atau anggota keluarganya sendiri seperti paman atau bahkan ayahnya.
Selain itu, peran media massa juga tidak dapat diabaikan. Liputan, tayangan
film yang menampilkan adegan seks dan pornografi, serta perkembangan dunia mode
dan fashion juga antara lain membuat para remaja (terutama perempuan) makin
menyadari potensi seksual dan sensualitasnya serta bagaimana menggunakan
potensi itu untuk memperoleh uang agar dapat mengikuti pola hidup konsumerisme
yang sudah menjangkiti masyarakat. Dengan kecanggihan teknologi, bahwasanya tak
ayal lagi remaja sangat mudah mempelajari internet. Dengan kemampuan yang
dimiliki saat ini merupakan hal yang mudah bagi dirinya untuk memperluas akses
atas sensualitas diri. Mereka banyak yang menjajakan diri di dunia maya, dengan
menyebarkan foto-foto vulgar yang dimilikinya dan menjadi gairah tersendiri
bagi kaum lelaki. Mulai dari berkenalan hingga akhirnya melakukan transaksi
dengan harga yang cukup lumayan mahal Hal ini mudah bagi seorang mucikari untuk
menjual remaja-remaja wanita ini pada siapapun yang berminat.
Parahnya, persentase pelajar belia yang rela memperdagangkan seks di
internet ternyata cukup mengejutkan, setidaknya di Korea Selatan. Dalam survei
Kementerian Kesetaraan Gender Korea Selatan di wilayah Busan pada 2012 pelajar
wanita, 672 di antaranya atau 33,4 persen menyatakan pernah menerima tawaran
prostitusi via internet.
Di antara para pelajar yang menerima penawaran seperti itu, hanya 35 persen
yang mengaku tidak mempedulikannya. Sebanyak 20 persen mengaku nekat melibatkan
diri dalam perdagangan seks online tersebut dan sisa responden juga mengaku
tertarik dengan tawaran itu.
Adapun di antara para pelajar yang terlibat dalam perdagangan seks online
tersebut, 37 persen melakukannya karena dorongan hati dan 25 persen karena
ingin meraup uang secara instan. Sementara sisanya karena merasa ingin tahu
serta alasan-alasan lainnya.
Ketika ditanya mengapa mereka suka melakukan transaksi seks secara online,
alasannya adalah karena kemudahan akses dan adanya anonimitas di dunia maya. Sisanya menjawab internet memungkinkan mereka
bisa menjual seks tanpa khawatir terjaring hukuman.
B. Faktor Akibat
Apa pun alasan
seorang remaja terjun di dunia prostitusi, karakteristik pekerjaan yang harus
dilakukan oleh pekerja seks membuat prostitusi menjadi pekerjaan yang berisiko
tinggi. Dalam melakukan pekerjaannya, mereka berganti-ganti pasangan dan
melakukan hubungan seksual dengan banyak orang. Di antara pelanggan yang datang
dan pergi itu tentunya juga terdapat berbagai karakter manusia: ada yang
lembut, ada yang kasar, ada yang sehat, ada pula yang berpenyakit menular, yang
jujur, dan yang menipu.
Dari pelanggan
yang banyak dan beragam itulah, risiko yang dihadapi seorang pekerja seks juga
banyak dan beragam. Dari pelanggan yang penipu, mungkin saja ia tidak dibayar
oleh pelanggan setelah melakukan aktivitas seksual. Apabila tidak menggunakan
alat kontrasepsi, pekerja seks juga berisiko mengalami kehamilan yang tidak
diinginkan. Selain itu, posisi tawar yang lemah di pihak pekerja seks juga
membuat mereka sering tidak berhasil membujuk pelanggannya untuk menggunakan
proteksi/kondom. Akibatnya, dari pelanggan yang mengidap penyakit menular seksual
(PMS), atau bahkan HIV/AIDS, pekerja seks tadi dapat tertular tanpa mampu
melindungi tubuhnya. Apalagi ada mitos, karena risiko tertular HIV lebih besar
jika berhubungan dengan pekerja seks dewasa, maka kaum pria hidung belang
memburu anak-anak. Banyak jenis PMS (Penyakit Menular Seksual) yang tidak dapat
dengan mudah disembuhkan, atau bahkan menimbulkan kematian kalau tidak
ditangani serius. Selain itu, beberapa penyakit juga dapat merusak organ
reproduksi secara permanen.
Risiko berat lain
yang seringkali harus dihadapi remaja sebagai pekerja seks adalah kekerasan
seksual yang dilakukan oleh pelanggan yang bisa jadi sampai mengancam nyawanya.
Tidak jarang, pelanggan yang datang juga menginginkan bentuk hubungan seks yang
tidak wajar, bahkan ada yang suka merekam aktivitas seksual mereka dengan
kamera video.
Selain risiko
karena karekteristik pekerjaannya sendiri, masih ada risiko lain. Prostitusi
juga bukan dunia yang mudah ditinggalkan. Sekali kita tercebur, perlu usaha
ekstra keras untuk berhenti. Banyak remaja, terutama di kalangan anak sekolah
atau kuliah yang terjun ke dunia prostitusi memang tidak berniat untuk
menjadikan prostitusi sebagai pekerjaan utamanya. Mereka berpikir, mereka hanya
akan menjadi pekerja seks sementara saja. Dalam beberapa tahun ke depan mereka
akan berhenti dan beralih profesi. Ternyata masalahnya tidak semudah itu.
Apabila aktivitasnya sebagai pekerja seks ini diketahui oleh keluarganya
(apalagi, misalnya, salah satu pelanggan merekam adegan seks mereka kemudian
mengedarkannya), maka besar kemungkinan mereka tidak mau menerimanya kembali.
Belum lagi teman-teman dan lingkungan masyarakat yang seringkali sangat
judgemental atau bersikap menghakimi. Hal ini membuat mereka merasa lebih baik
terus bekerja sebagai pekerja seks. Lama kelamaan, pilihan untuk bekerja si
bidang lain akan tertutup.
Profesi sebagai
pekerja seks tidak dipandang sebagai profesi yang terhormat oleh masyarakat.
Memang di kalangan masyarakat luas sendiri terdapat semacam dualisme dalam
menyikapi masalah prostitusi. Di satu pihak, demand atau permintaan terhadap pekerja seks remaja juga tetap
tinggi dan banyak yang bersedia membayar pekerja seks remaja lebih mahal
dibanding yang sudah berumur. Namun, di pihak lain, walaupun saat ini sebagian
kecil masyarakat sudah mulai melihat para pekerja seks sebagai korban dan
berusaha untuk menawarkan program-program pengentasan untuk menolong mereka,
sebagian besar lain dari masyarakat masih terus mengutuk dan mengucilkan para
pekerja seks, menganggap mereka sampah masyarakat. Bahkan ketika mereka ingin
beralih profesi ke bidang lain yang dipandang bermartabat oleh lingkungannya,
masyarakat tidak begitu saja menerima mereka. Hal ini mengakibatkan para
pekerja seks mengalami kesulitan untuk alih profesi ke bidang lain.
Kalau dari tadi
yang kita bahas adalah risiko bagi pihak perempuan, hal ini karena dalam dunia
prostitusi memang lebih banyak perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks
dibanding laki-laki. Cowok yang menjadi pekerja seks biasanya melayani
pelanggan homoseksual, walaupun belum tentu cowok tadi homoseksual juga.
Sedangkan pekerja seks pria yang melayani pelanggan wanita sangat jarang.
Data yang pasti
mengenai pekerja seks di bawah umur sangat sulit untuk diperoleh. Pertama,
karena biasanya pekerja seks tersebut diberi atau menggunakan identitas palsu
di mana umur dan fotonya dibuat supaya terlihat lebih tua. Apalagi di dunia
maya yang belum pasti kebenarannya hal itu bisa saja dilakukan sedemikian rupa
agar tidak terdeteksi kepalsuannya. Kedua, hampir tidak ada keluhan baik dari
pelanggan maupun para pekerja seks itu sendiri menyangkut aktivitas seksual
yang dilakukan. Ketiga, mobilitas para pekerja seks itu sendiri juga begitu
tinggi sehingga mempersulit pelacakan.
Sulitnya
memperoleh data itu membuat masalah ini tidak mendapat perhatian yang cukup,
dan berdampak pada tidak jelasnya perlindungan yang (seharusnya) diberikan oleh
pemerintah bagi para pekerja seks, terutama pekerja seks di bawah umur.
Dari risiko
pekerjaan, hubungan dengan masyarakat dan minimnya perlindungan yang diberikan,
kita tahu bahwa prostitusi bukanlah lapangan pekerjaan yang mudah dan
menyenangkan. Mengenai
penghasilan, benarkah prostitusi menjanjikan kekayaan? Ternyata tidak serta
merta demikian. Dari jumlah yang dibayar oleh pelanggan, tidak semuanya bisa
dimiliki oleh pekerja seks, khususnya pekerja yang tergantung pada pihak
perantara. Ia harus membaginya dengan mucikari, perantara yang mengatur
pertemuan antara pekerja seks dengan pelanggannya, atau germo, si pemilik rumah
pelacuran. Bahkan pekerja seks independen yang tidak tergantung pada jasa
perantara juga tidak bisa menikmati hasil keringatnya 100 persen. Dengan
pekerjaan yang sangat berisiko terhadap kesehatannya, seringkali mereka harus
mengeluarkan banyak uang untuk berobat memulihkan kesehatannya.
Oleh karena itulah, banyak perempuan baik remaja maupun dewasa yang sudah
telanjur tercebur di dunia prostitusi merasa tidak ingin bertahan dan ingin
keluar dari dunia yang digelutinya itu. Walaupun sangat sulit karena banyak
godaan untuk kembali (antara lain karena sudah menyandang stigma tertentu di
mata masyarakat sehingga sulit memperoleh pekerjaan baru), ada juga yang
berhasil "keluar" dan
beralih profesi ke bidang lain yang lebih sehat dan memiliki masa depan yang
lebih cerah. Beberapa dari mereka bahkan kemudian aktif menjadi relawan untuk
membantu teman-temannya yang ingin mentas dari dunia prostitusi, dan juga
membagi pengalamannya kepada remaja lain agar tidak sampai mengalami kehidupan
pahit yang telah mereka rasakan.
2.4 Penanganan
Prostitusi
A. Penanganan terhadap Pelaku Prostitusi Online
Dalam pasal 27 ayat 1 UU
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disebutkan: "Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".
Sementara, pasal 45 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berbunyi: "Setiap orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
Era 'melek teknologi' rupanya sudah merambah ke semua
lini kehidupan. Tak terkecuali dunia pelacuran. Terdapat ratusan situs internet
yang menjadi lahan para mucikari untuk menawarkan para gadis belia yang rela
menjual tubuhnya pada pria hidung belang.
Namun, polisi tidak serta merta dapat menangkap semua
pemilik situs tersebut, "Situsnya sendiri banyak tapi dipilah berdasarkan
kemudahan pengungkapan. Yang menjadi kesulitan polisi adalah identitas mereka
(pemilik atau pengelola situs) palsu semua.
Banyak pihak mengharapkan sanksi
yang cukup berat bagi para pelaku prostitusi online ini dikarenakan meresahkan
warga masyarakat Indonesia khususnya para orangtua. Mereka sangat ketakutan
anaknya berkecimpung ke hal yang sangat membahayakan bagi dirinya terutama
orangtuanya. Meskipun sebagian kecil ada yang tertangkap basah oleh aparat
kepolisian, namun masih banyak di luar sana yang sampai saat ini melakukannya.
Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi antara masyarakat dan pihak aparat
kepolisian. Saksi-saksi mata yang melihat kejadian itu diharapkan bisa bekerja
sama dengan kepolisian untuk mengungkap kasus prostitusi yang terjadi secara
online ini.
B. Penanganan Prostitusi dengan Kemanusiaan
Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the
Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984)
dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk
kekerasan terhadap perempuan.
Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam
prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang
dilacurkan adalah korban.
Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi,
baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai
akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan korban itu masih
terabaikan.
Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah
prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis,
kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang
dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di
dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar,
hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka.
Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru
membuat "kantung-kantung" prostitusi baru makin menyebar dan tak
terpantau. Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena
pemeriksaan rutin pada para perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang
memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV
positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap
anggota keluarga korban.
Saat aparat
melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa
setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara
laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender
di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena
jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat
prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang
tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang.
Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh
membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan.
Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses
penertiban..
Pendekatan
kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi terhadap masalah yang
sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi. Selama ini
pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi.
Untuk itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan.
Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan
militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib),
tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun
dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan
pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah abolisionis
yang memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia
merupakan korban mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi
perempuan. Konsep atau pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur
HAM, termasuk dalam kurikulum pendidikan para polisi pamong praja atau aparat
lain.
Kedua,
penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan
integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat,
masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan perilaku bahwa perempuan yang
dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita bahu-membahu mencari solusi
persoalan, memberi bekal para perempuan yang dilacurkan untuk menopang ekonomi
keluarga berupa kemampuan baca- tulis, keterampilan rias wajah, menyamak kulit,
menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung.
Ketiga,
penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat,
penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus
dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam
ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.
Keempat, mulai
sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola militeristik
yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan penertiban,
diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah
proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi
"pajangan". Karena perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan
seksual, maka perlindungan saksi pelapor juga diperlukan.
Kerja sama dan
pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal dalam pemulangan juga
diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek pemulangan
saja.
C.
Penanganan Prostitusi dengan Keagamaan
Fenomena arus
globalisasi yang membawa implikasi perubahan negatif pada pergaulan perempuan,
menuntut keberanian perempuan untuk mengcounter budaya free-sex, pornografi,
poligami yang senantiasa merebak meracuni pola hidup masyarakat modern. Penulis
harus berbicara kepada persoalan yang menghadang dan senantiasa terus bertambah
seiring arus kebebasan globalisasi.
Masalah
'penjualan diri' yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan ABG diluar
sekolah, seiring dengan maraknya gaya hidup dunia gemerlap tidak bisa didiamkan
begitu saja. Menyimak kehidupan malam yang dilakukan oleh sebagian remaja yang
masih sekolah di menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi (PT) menarik
dicermati. Betapa pendidikan yang ditempuhnya tidak bisa mengatur diri mereka,
hingga larut dalam budaya free-sex yang sebenarnya melanggar aturan etika,
norma, agama dan sosial.
Gejala ini
memberikan ilustrasi bahwa pendidikan hanya berhenti pada sebatas mengetahui
teori, tanpa mampu memberikan penyadaran yang berguna untuk mengatur diri
sendiri (self-organizing). Dunia gemerlap dan prostitusi memang tidak terlihat
secara kasat mata, namun menggejala dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan
peredaran narkoba dan minuman keras serta perjudian. Fenomena ini akan terus
merambah mengancam kehidupan remaja yang lain, apabila tidak dicounter dengan
nilai-nilai spritual.
Agama sebaiknya
memberikan pemecahan positif terhadap maraknya penyimpangan problem seksual
yang menghalangi mereka untuk tumbuh dalam lingkungan yang baik. Karena diam
terhadap persoalan berarti akan memberikan respon positif terhadap dinamika
tersebut.
Penulis tidak
hanya berhenti pada memberikan pendapat haram (larangan) kepada praktik
prostitusi, tetapi memberikan jalan keluar bagi pelaku untuk bisa meninggalkan
perbuatan yang merugikan diri sendiri. Problem prostitusi memang tidak mudah
dihapus begitu saja dengan menutup tempat-tempat hiburan. Kenyataannya semakin
ditutup, pelaku akan beralih ke jalan-jalan dan mengancam orang baik untuk melakukan
transaksi seks.
Selama ini agama
begitu rigid membicarakan secara terbuka tentang mengapa perempuan sampai
menjadi pelacur, mengapa mereka tidak perduli dengan larangan agama, bagaimana
agama melindungi nasib mereka. Refleksi kritis ini akan melandasi penulis untuk mencari
alternatif pemecahan masalah prostitusi.