Kho Ping Hoo
dikenal luas di Indonesia karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat
Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa-Indonesia. Bagi sebagian
masyarakat Indonesia, namanya barangkali lebih popular dibandingkan nama-nama
sastrawan “resmi” yang dikenal melalui buku-buku pelajaran di sekolah. Bentuk
penulisan yang dipilihnya, yaitu sastra roman popular, atau sastra hiburan
merupakan genre tersendiri dalam dunia kesusastraan di Indonesia, sekaligus
merupakan “arus bawah” sastra Indonesia.
Karena itu, namanya mungkin lebih mengakar dan mudah diingat oleh
generasi 1960 an, ketika genre ini mulai meluas.
Dalam rentang
waktu yang terbilang panjang, cerita silat yang ditulisnya seakan-akan
menciptakan sebuah fenomena kultural yang unik dimana di dalamnya terdapat
kesatuan jagat pembaca multicultural, jagat komunitas “taman bacaan”(lengkap
dengan segala atributnya: kartu anggota, fans club, ajang diskusi, hingga kisah
cinta antar pembaca). Bahkan sejak tahun
2003, para penggemar cerita silat Kho Ping Hoo di Indonesia telah mendirikan
Komunitas Kho Ping Hoo (KPH) yang berasal dari berbagai suku di Indonesia dan
beragam kalangan. Komunitas ini
mempertahankan keberadaan cerita silat Kho Ping Hoo walaupun penulisnya telah
tiada. Karena, banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa digali di dalamnya,
walaupun beberapa pihak meragukan keabsahan sejarah Cina yang ada dalam
karya-karyanya.
Sebuah karya sastra lahir tidak dari
kekosongan budaya dan pengarang senantiasa dan niscaya hidup dalam ruang dan
waktu tertentu, yang di dalamnya dia terlibat dengan beraneka ragam masalah
kehidupan. Dalam bentuknya yang paling nyata, ruang, dan waktu tertentu itu
adalah masyarakat dan sebuah kondisi sosial, tempat berbagai tindakan sosial
berinteraksi. Dalam konteks ini, sastra bukanlah suatu yang otonom atau berdiri
sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi
lingkungan tempat karya sastra dilahirkan.
Yudiono berpendapat tentang
pemikiran-pemikiran dasar yang mempersoalkan adanya hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai berikut.
(1) Karya sastra diciptakan oleh
pengarang untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan banyak orang; (2)
pengarang itu anggota suatu masyarakat yang terikat oleh status sosial
tertentu; (3) bahasa yang digunakan dalam karya sastra adalah bahasa yang ada
dalam suatu masyarakat jadi bahasa itu merupakan ciptaan sosial; (4) Karya
sastra mengungkapkan hal-hal yang dipikirkan pengarang dan pikiran-pikiran
pengarang itu pantulan hubungan seseorang sebagai pengarang dengan orang lain
atau masyarakat (Yudiono, 2000:3).
Seorang sastrawan berkedudukan pula sebagai
anggota masyarakat. Ia mempunyai status tertentu dalam masyarakat yaitu sebagai
salah satu anggota dari masyarakat
sehigga ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota lain. Ia juga
terikat dengan peraturan norma-norma dan adat istiadat tertentu yang berlaku
dalam masyarakat itu. Pada dasarnya sastrawan akan terbelenggu oleh sosiobudaya
yang melingkupinya itu. Faktor sosiobudaya tempat tinggal sastrawan
kadang-kadang turut pula menentukan corak karyanya, seperti faktor ekonomi,
politik, pendidikan, agama, serta adat istiadat tertentu yang berlaku di dalam
masyarakat tersebut, juga kondisi psikologis dari sastrawan sangat besar
pengaruhnya bagi karya-karya yang dihasilkannya.
Berbagai macam masalah/problem sosial,
misalnya hubungan manusia dengan manusia atau dengan lingkungannya, kelompok
sosial, penguasa, dan sebagainya hanya dapat ditangkap lewat kepekaan yang
dimiliki oleh pengarang dalam mencermati realitas kehidupan disekitarnya.
Kemudian melalui hasil ciptaannya, pengarang mencoba menanggapi, menyampaikan
ide-ide serta pemecahan suatu masalah dengan tujuan memperbaiki keadaan. Dengan
demikian pemikiran-pemikiran yang ada dalam karya sastra adalah cermin
pandangan hidup pengarang, pandangan akan nilai-nilai kebenaran/ajaran moral
tertentu.
Dengan demikian, karya sastra mengambil
objek kehidupan manusia dalam masyarakat. Melalui karya sastra pengarang
mengungkapkan masalah manusia dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan
kehidupan. Pengarang melukiskan penderitaan manusia, cinta, kasih sayang,
perjuangan, kebencian, ketabahan, nafsu, dan segala yang dialami manusia dalam
masyarakat. Dari keterlibatan sastra dengan
segala aspek kehidupan masyarakat maka dapat dikatakan bahwa antara karya
sastra dan masyarakat terdapat hubungan yang erat. Maka dalam
menginterpretasikan kehidupan melalui sebuah karya sastra, seorang pengarang
tidak lepas dari akar budaya dan masyarakat sosial budaya yang melingkupinya.
Ini memerlukan suatu bekal kemampuan dan pengetahuan budaya. Itu dimaksudkan
untuk mendukung pemahaman dan latar cerita atau memperkuat pemahaman karakter
tokoh-tokoh. Pemahaman sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan,
sedikit banyak mengenai kebudayaan yang melatar belakangi karya sastra
tersebut, yang tidak langsung terungkap melalui sistem tanda bahasanya (Teeuw,
1984:100).
Berdasarkan uraian di atas, maka karya
sastra cerminan kehidupan masyarakat sosial budaya dapat dianalisis melalui
pendekatan struktural genetik. Hal ini berpijak pada pengertian bahwa karya
sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (genetik) dari latar belakang struktur
sosial tertentu. Dengan pendekatan ini akan didapatkan pandangan dunia
pengarang yang tentu bukanlah seorang individu yang berdiri sendiri. Pengarang
adalah bagian dari kelompok sosial tertentu, sehingga pandangannya juga
merupakan pandangan kelompok tertentu dan pada masa tertentu pula.
Salah satu genre sastra adalah cerita silat yang
kali ini menjadi objek bahasan penulis. Cerita
silat atau disingkat cersil (pinyin: Wǔxiá, harfiah:
"pahlawan ilmu beladiri") adalah sebuah sub-genre dari semi-fantasi
dan cerita silat dalam literatur, televisi dan dunia perfilman. Di Indonesia tidak seperti di dunia pada umumnya, di mana wuxia
didominasi oleh penokohan orang-orang dan budaya Tiongkok, cerita silat
banyak dibangun atas unsur-unsur lokal, menciptakan suatu genre (apabila tidak
dikatakan baru) tersendiri dari saudaranya wuxia.
(Wikipedia).
Pada awal perkembangan
cerita silat di Indonesia banyak didominasi oleh cerita silat terjemahan. Ditinjau dari segi
bahasa, cerita-cerita silat terjemahan itu tampak sangat dipengaruhi oleh
bahasa Tionghoa dialek Hokkian (Fujian). Hal ini bisa dimengerti mengingat
penerjemah – begitu pula sebagian pembaca – pada umumnya adalah keturunan
Tionghoa dari Hokkian. Pengaruh tersebut, antara lain dapat dilihat dari
penulisan judul cerita, nama pengarang, nama tokoh, hingga kata-kata khusus.
Misalnya, judul cerita Shediao Yingxiong
Zhuan dan Bi Xue Jian ditulis Sia Tiauw Eng Hong dan Kim Tjoa Kiam, nama pengarang Jin Yong
dan Gu Long ditulis Chin Yung dan Khu Lung; nama tokoh Guo Jing dan Huang Yong
(dalam Sia Tiauw Eng Hiong/Shediao
Yingxiong Zhuan) ditulis Kwee Ceng dan Oey Yong; kata nuxia `pendekar perempuan` - shi
fu `guru` - shi mei `adik
(perempuan) seperguruan` juga ditulis
lihiap – suhu – sumoi.
Tentu saja, di
tengah merajalelanya cerita silat terjemahan di atas, tidak boleh dilupakan
pula cerita silat, “asli” karya pengarang Peranakan Tionghoa-Indonesa.
Sekalipun menentukan asli tidaknya suatu karya bukan persoalan yang mudah,
agaknya tidaklah sukar untuk menyebut KPH sebagai penulis cerita asli paling
fenomenal sepanjang sejarah, yang oleh Salmon (1985:166) dikatakan sebagai
`satu-satunya pengarang untuk siapa kami mempunyai suatu kepustakaan yang
membentang melewati tahun 1960`. Di belakang KPH masih ada pengarang lain yang
biarpun tidak terlalu produktif perlu disebutkan, di antaranya adalah
Sriwidjono, Stevanus S.P., Yohanes, dan Batara yang kebetulan juga murid-murid
terkasih KPH. dalam banyak hal, karya para pengarang ini memang memperlihatkan
pengaruh sang guru. Namun, barangkali karena mereka tidak memiliki “tulang yang
baik” – istilah KPH untuk menyebut anak bertalenta silat, karya mereka tidak
cukup populer di tengah khalayak.
Cerita-cerita
silat ini membangun sebuah dunia bacaan yang terpisah dari perkembangan sastra
peranakan secara keseluruhan. Di tengah kecenderungan perkembangan sastra
Peranakan Tionghoa yang secara perlahan-lahan “berintegrasi” dengan sastra
nasional, cerita silat mampu menciptakan sebuah fenomena kultural yang unik di
mana di dalamnya terdapat kesatuan jagat pembaca multikultural, jagat komunitas
“taman bacaan” (lengkap dengan segala atributnya: kartu anggota, fans club,
ajang diskusi, hingga kisah cinta antarpembaca!), dan jagat konvensi estetik
yang nyaris tidak tersentuh konvensi estetik sastra nasional.
Perlu disinggung
bahwa dalam hubungannya dengan perkembangan cerita silat Indonesia, beberapa
peneliti berpendapat bahwa genre sastra
ini amat dipengaruhi oleh cerita silat Tionghoa. Dalam kaitan ini, Suryadinata
(2002:223) mengemukakan bahwa munculnya cerita silat Indonesia turut
dimungkinkan oleh kesamaan latar belakang budaya Indonesia dan budaya Tiongkok.
Bahkan, Atmowiloto (1984:54) menegaskan bahwa cerita wayang, ketoprak, dan
drama daerah lainnya pada dasarnya tidak berbeda dengan cerita silat Tionghoa.
Seperti dalam cerita silat Tionghoa, dalam kesenian-kesenian tradisional itu
pun selalu ada perjuangan dan pertarungan yang melibatkan sang pendekar yang mumpuni, si jahat yang licik dan
pengecut, serta orang-orang yang hidupnya tertindas.
Memang, jika
diperhatikan secara saksama, harus diakui bahwa yang disebut cerita silat
Indonesia itu sebenarnya tidak lebih daripada sekadar “pengindonesiaan”
(subsstitusi) nama tokoh, tempat, peristiwa, dan unsur lain yang lazim terdapat
dalam cerita silat Tionghoa. Kenyataan ini tampaknya sulit dibantah mengingat
S.H. Mintaredja sendiri, salah seorang pelopor penulisan cerita silat
Indonesia, pernah mengatakan bahwa cerita silat Tionghoa terlalu berjarak
dengan “mentalitas” orang (pemaca) Indonesia. Berangkat dari kesadaran itulah,
ia kemudian meletakkan karya-karyanya dalam konteks sejarah Indonesia yang
dalam hal ini diwakili oleh sejarah Jawa (Bonneff, 2001:116). Sebagai contoh,
empat serialnya yang amat terkenal, Api
di Bukit Menoreh, Pelangi di Langit Singosari, Nagasasra dan Sabuk Inten, dan
Bunga di Baatu Karang masing-masing ditaruhnya dalam konteks sejarah
Kerajaan Mataram, Singosari, dan Demak. Namun, biarpun bernuansa Indonesia
(Jawa), tidak dapat disangkal bahwa dalam berbagai segi keempat karya di atas
menampakkan formulasi naratif yang sama dengan Sia Tiauw Eng Hiong dan Sin
Tiauw Hiap Lu-nya Jin Yong.
Selain itu,
janganlah dilupakan bahwa KPH yang terlanjur dikenal sebagai penulis cerita
silat (berlatar) Tiongkok, pada waktu yang sama juga rajin menulis cerita silat
(berlatar) Indonesia (Jawa). Proses kreatif yang “mendua dunia” ini jelas
semakin mengukuhkan pandangan di atas. Dalam hal ini, tidaklah terlalu sukar
untuk membayangkan situasi ketika KPH menulis cerita silat (berlatar) Tiongkok.
Sebagai fakta, bandingkanlah Badai Laut
Selatan (1969), Darah Mengalir di
Borobudur (1961), atau Bajak Laut
Kertapati (1961) dengan Cinta
Bernoda
Darah (1968), Sepasang Rajawali (1973), atau Pendekar
Lembah Naga (1975); tidak ada apa pun yang membedakan keenam karya
tersebut.