Selasa, 17 April 2012

Kho Ping Hoo (Cerita Silat Sepanjang Zaman)

Kho Ping Hoo dikenal luas di Indonesia karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa-Indonesia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, namanya barangkali lebih popular dibandingkan nama-nama sastrawan “resmi” yang dikenal melalui buku-buku pelajaran di sekolah. Bentuk penulisan yang dipilihnya, yaitu sastra roman popular, atau sastra hiburan merupakan genre tersendiri dalam dunia kesusastraan di Indonesia, sekaligus merupakan “arus bawah” sastra Indonesia.  Karena itu, namanya mungkin lebih mengakar dan mudah diingat oleh generasi 1960 an, ketika genre ini mulai meluas.
Dalam rentang waktu yang terbilang panjang, cerita silat yang ditulisnya seakan-akan menciptakan sebuah fenomena kultural yang unik dimana di dalamnya terdapat kesatuan jagat pembaca multicultural, jagat komunitas “taman bacaan”(lengkap dengan segala atributnya: kartu anggota, fans club, ajang diskusi, hingga kisah cinta antar pembaca).  Bahkan sejak tahun 2003, para penggemar cerita silat Kho Ping Hoo di Indonesia telah mendirikan Komunitas Kho Ping Hoo (KPH) yang berasal dari berbagai suku di Indonesia dan beragam kalangan.  Komunitas ini mempertahankan keberadaan cerita silat Kho Ping Hoo walaupun penulisnya telah tiada. Karena, banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa digali di dalamnya, walaupun beberapa pihak meragukan keabsahan sejarah Cina yang ada dalam karya-karyanya. 
Sebuah karya sastra lahir tidak dari kekosongan budaya dan pengarang senantiasa dan niscaya hidup dalam ruang dan waktu tertentu, yang di dalamnya dia terlibat dengan beraneka ragam masalah kehidupan. Dalam bentuknya yang paling nyata, ruang, dan waktu tertentu itu adalah masyarakat dan sebuah kondisi sosial, tempat berbagai tindakan sosial berinteraksi. Dalam konteks ini, sastra bukanlah suatu yang otonom atau berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya sastra dilahirkan.

Yudiono berpendapat tentang pemikiran-pemikiran dasar yang mempersoalkan adanya hubungan  antara  sastra dan masyarakat  sebagai  berikut.

(1)  Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan banyak orang; (2) pengarang itu anggota suatu masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu; (3) bahasa yang digunakan dalam karya sastra adalah bahasa yang ada dalam suatu masyarakat jadi bahasa itu merupakan ciptaan sosial; (4) Karya sastra mengungkapkan hal-hal yang dipikirkan pengarang dan pikiran-pikiran pengarang itu pantulan hubungan seseorang sebagai pengarang dengan orang lain atau masyarakat (Yudiono, 2000:3).



Seorang sastrawan berkedudukan pula sebagai anggota masyarakat. Ia mempunyai status tertentu dalam masyarakat yaitu sebagai  salah satu anggota dari masyarakat sehigga ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota lain. Ia juga terikat dengan peraturan norma-norma dan adat istiadat tertentu yang berlaku dalam masyarakat itu. Pada dasarnya sastrawan akan terbelenggu oleh sosiobudaya yang melingkupinya itu. Faktor sosiobudaya tempat tinggal sastrawan kadang-kadang turut pula menentukan corak karyanya, seperti faktor ekonomi, politik, pendidikan, agama, serta adat istiadat tertentu yang berlaku di dalam masyarakat tersebut, juga kondisi psikologis dari sastrawan sangat besar pengaruhnya bagi karya-karya yang dihasilkannya.

Berbagai macam masalah/problem sosial, misalnya hubungan manusia dengan manusia atau dengan lingkungannya, kelompok sosial, penguasa, dan sebagainya hanya dapat ditangkap lewat kepekaan yang dimiliki oleh pengarang dalam mencermati realitas kehidupan disekitarnya. Kemudian melalui hasil ciptaannya, pengarang mencoba menanggapi, menyampaikan ide-ide serta pemecahan suatu masalah dengan tujuan memperbaiki keadaan. Dengan demikian pemikiran-pemikiran yang ada dalam karya sastra adalah cermin pandangan hidup pengarang, pandangan akan nilai-nilai kebenaran/ajaran moral tertentu.

Dengan demikian, karya sastra mengambil objek kehidupan manusia dalam masyarakat. Melalui karya sastra pengarang mengungkapkan masalah manusia dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Pengarang melukiskan penderitaan manusia, cinta, kasih sayang, perjuangan, kebencian, ketabahan, nafsu, dan segala yang dialami manusia dalam masyarakat. Dari keterlibatan  sastra dengan segala aspek kehidupan masyarakat maka dapat dikatakan bahwa antara karya sastra dan masyarakat terdapat hubungan yang erat. Maka dalam menginterpretasikan kehidupan melalui sebuah karya sastra, seorang pengarang tidak lepas dari akar budaya dan masyarakat sosial budaya yang melingkupinya. Ini memerlukan suatu bekal kemampuan dan pengetahuan budaya. Itu dimaksudkan untuk mendukung pemahaman dan latar cerita atau memperkuat pemahaman karakter tokoh-tokoh. Pemahaman sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyak mengenai kebudayaan yang melatar belakangi karya sastra tersebut, yang tidak langsung terungkap melalui sistem tanda bahasanya (Teeuw, 1984:100).

Berdasarkan uraian di atas, maka karya sastra cerminan kehidupan masyarakat sosial budaya dapat dianalisis melalui pendekatan struktural genetik. Hal ini berpijak pada pengertian bahwa karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (genetik) dari latar belakang struktur sosial tertentu. Dengan pendekatan ini akan didapatkan pandangan dunia pengarang yang tentu bukanlah seorang individu yang berdiri sendiri. Pengarang adalah bagian dari kelompok sosial tertentu, sehingga pandangannya juga merupakan pandangan kelompok tertentu dan pada masa tertentu pula.

Salah satu genre sastra adalah cerita silat yang kali ini menjadi objek bahasan penulis. Cerita silat atau disingkat cersil (pinyin: Wǔxiá, harfiah: "pahlawan ilmu beladiri") adalah sebuah sub-genre dari semi-fantasi dan cerita silat dalam literatur, televisi dan dunia perfilman. Di Indonesia tidak seperti di dunia pada umumnya, di mana wuxia didominasi oleh penokohan orang-orang dan budaya Tiongkok, cerita silat banyak dibangun atas unsur-unsur lokal, menciptakan suatu genre (apabila tidak dikatakan baru) tersendiri dari saudaranya wuxia. (Wikipedia).

Pada awal perkembangan cerita silat di Indonesia banyak didominasi oleh cerita silat terjemahan.  Ditinjau dari segi bahasa, cerita-cerita silat terjemahan itu tampak sangat dipengaruhi oleh bahasa Tionghoa dialek Hokkian (Fujian). Hal ini bisa dimengerti mengingat penerjemah – begitu pula sebagian pembaca – pada umumnya adalah keturunan Tionghoa dari Hokkian. Pengaruh tersebut, antara lain dapat dilihat dari penulisan judul cerita, nama pengarang, nama tokoh, hingga kata-kata khusus. Misalnya, judul cerita Shediao Yingxiong Zhuan dan Bi Xue Jian ditulis Sia Tiauw Eng Hong dan Kim Tjoa Kiam, nama pengarang Jin Yong dan Gu Long ditulis Chin Yung dan Khu Lung; nama tokoh Guo Jing dan Huang Yong (dalam Sia Tiauw Eng Hiong/Shediao Yingxiong Zhuan) ditulis Kwee Ceng dan Oey Yong; kata nuxia `pendekar perempuan` - shi fu `guru` - shi mei `adik (perempuan) seperguruan` juga ditulis lihiap – suhu – sumoi.

Tentu saja, di tengah merajalelanya cerita silat terjemahan di atas, tidak boleh dilupakan pula cerita silat, “asli” karya pengarang Peranakan Tionghoa-Indonesa. Sekalipun menentukan asli tidaknya suatu karya bukan persoalan yang mudah, agaknya tidaklah sukar untuk menyebut KPH sebagai penulis cerita asli paling fenomenal sepanjang sejarah, yang oleh Salmon (1985:166) dikatakan sebagai `satu-satunya pengarang untuk siapa kami mempunyai suatu kepustakaan yang membentang melewati tahun 1960`. Di belakang KPH masih ada pengarang lain yang biarpun tidak terlalu produktif perlu disebutkan, di antaranya adalah Sriwidjono, Stevanus S.P., Yohanes, dan Batara yang kebetulan juga murid-murid terkasih KPH. dalam banyak hal, karya para pengarang ini memang memperlihatkan pengaruh sang guru. Namun, barangkali karena mereka tidak memiliki “tulang yang baik” – istilah KPH untuk menyebut anak bertalenta silat, karya mereka tidak cukup populer di tengah khalayak.

Cerita-cerita silat ini membangun sebuah dunia bacaan yang terpisah dari perkembangan sastra peranakan secara keseluruhan. Di tengah kecenderungan perkembangan sastra Peranakan Tionghoa yang secara perlahan-lahan “berintegrasi” dengan sastra nasional, cerita silat mampu menciptakan sebuah fenomena kultural yang unik di mana di dalamnya terdapat kesatuan jagat pembaca multikultural, jagat komunitas “taman bacaan” (lengkap dengan segala atributnya: kartu anggota, fans club, ajang diskusi, hingga kisah cinta antarpembaca!), dan jagat konvensi estetik yang nyaris tidak tersentuh konvensi estetik sastra nasional.

Perlu disinggung bahwa dalam hubungannya dengan perkembangan cerita silat Indonesia, beberapa peneliti berpendapat bahwa genre sastra ini amat dipengaruhi oleh cerita silat Tionghoa. Dalam kaitan ini, Suryadinata (2002:223) mengemukakan bahwa munculnya cerita silat Indonesia turut dimungkinkan oleh kesamaan latar belakang budaya Indonesia dan budaya Tiongkok. Bahkan, Atmowiloto (1984:54) menegaskan bahwa cerita wayang, ketoprak, dan drama daerah lainnya pada dasarnya tidak berbeda dengan cerita silat Tionghoa. Seperti dalam cerita silat Tionghoa, dalam kesenian-kesenian tradisional itu pun selalu ada perjuangan dan pertarungan yang melibatkan sang pendekar yang mumpuni, si jahat yang licik dan pengecut, serta orang-orang yang hidupnya tertindas.

Memang, jika diperhatikan secara saksama, harus diakui bahwa yang disebut cerita silat Indonesia itu sebenarnya tidak lebih daripada sekadar “pengindonesiaan” (subsstitusi) nama tokoh, tempat, peristiwa, dan unsur lain yang lazim terdapat dalam cerita silat Tionghoa. Kenyataan ini tampaknya sulit dibantah mengingat S.H. Mintaredja sendiri, salah seorang pelopor penulisan cerita silat Indonesia, pernah mengatakan bahwa cerita silat Tionghoa terlalu berjarak dengan “mentalitas” orang (pemaca) Indonesia. Berangkat dari kesadaran itulah, ia kemudian meletakkan karya-karyanya dalam konteks sejarah Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh sejarah Jawa (Bonneff, 2001:116). Sebagai contoh, empat serialnya yang amat terkenal, Api di Bukit Menoreh, Pelangi di Langit Singosari, Nagasasra dan Sabuk Inten, dan Bunga di Baatu Karang masing-masing ditaruhnya dalam konteks sejarah Kerajaan Mataram, Singosari, dan Demak. Namun, biarpun bernuansa Indonesia (Jawa), tidak dapat disangkal bahwa dalam berbagai segi keempat karya di atas menampakkan formulasi naratif yang sama dengan Sia Tiauw Eng Hiong dan Sin Tiauw Hiap Lu-nya Jin Yong.

Selain itu, janganlah dilupakan bahwa KPH yang terlanjur dikenal sebagai penulis cerita silat (berlatar) Tiongkok, pada waktu yang sama juga rajin menulis cerita silat (berlatar) Indonesia (Jawa). Proses kreatif yang “mendua dunia” ini jelas semakin mengukuhkan pandangan di atas. Dalam hal ini, tidaklah terlalu sukar untuk membayangkan situasi ketika KPH menulis cerita silat (berlatar) Tiongkok. Sebagai fakta, bandingkanlah Badai Laut Selatan (1969), Darah Mengalir di Borobudur (1961), atau Bajak Laut Kertapati (1961) dengan Cinta

Bernoda Darah (1968), Sepasang Rajawali (1973), atau Pendekar Lembah Naga (1975); tidak ada apa pun yang membedakan keenam karya tersebut.