Jumat, 04 Januari 2013

Kesaksian Kereta Api

“Sebenernya gue juga nggak mau pisah sama lo Fay, gue masih sayang banget sama lo tapi gimana nasib nyokap gue ntar kalo gue ketahuan masih hubungan sama lo, please maafin gue? Gue harap lo bisa nerima semua keputusan gue

     Sepertinya kereta api Fayra telah berlalu dan ia telah berangkat membawa penyesalan. Fayra, pacarku di Yogyakarta dan ia berencana untuk menengokku dan saudaranya di Bandung. Memang, sekolahku di Yogyakarta namun rumah orang tuaku ada di Bandung. Jadi ketika liburan aku selalu pulang ke rumahku yang di Bandung. Habisnya liburan di Bandung lebih menyenangkan dibandingkan liburan di Yogya yang harus menghabiskan waktu mendengar kicauan nenek sihir yang galak, ya bude’-ku itu.
         Hari ini aku terasa capek karena semalaman aku ada prom night di rumah temanku, tapi tiba-tiba terdengar suara telepon yang membisingkan telingaku, “kriiiiiiiing kriiiiiiiiing …. “ tak seorangpun yang menjawab telepon itu. Memang sudah menjadi tradisi ibuku yang tidak pernah menjawab telepon sehingga cuma aku dan adikku yang selalu menjawab telepon yang berbunyi di rumah kami. Kenapa ibuku nggak ngangkat telepon? Ya itu, ibuku suka ngomel kalau ada telepon buat aku dari seorang cewek, jadi jangan heran kalau nggak ada satupun cewek yang berani telepon ke rumahku.
      “Hallo, assalamualaikum! Van, ini Fayra?? Ini kamu khan Cepet jemput aku di stasiun Kereta api sekarang? Mamaku nyuruh aku pergi ke saudaraku yang ada di cicaheum tapi aku ngak tahu tempat itu. Jadi, tolong jemput aku yach?”Cerita Fayra ke Rivan lewat telepon.
        “Aduh, Fay ini kamu?? Kirain aku siapa? Emang sekarang kamu ada dimananya? Iya aku jemput kamu tapi khan sekarang masih pagi banget lagian aku belum mandi, ntar aja jam 8-an aku jemputnya soalnya aku nggak boleh pergi sama ibuku.”
         “Please, dong Van aku udah lama nungguin di pintu keluar. Aku takut nih kalau harus nunggu sendirian. Ya udah kalau gitu aku datang ke rumah kamu deh, sekarang kamu tunjukkin arah jalan ke rumah kamu ya!”
       “Duh, jangan dong! Ya udah aku jemput sekarang nih, tunggu aku ya!” kebingunganku memuncak.
      Sebenernya aku bener-bener bingung kalau harus pergi ke stasiun kereta karena ibuku melarang aku keluar rumah pagi-pagi begini.
“Thanks, ya kamu emang pacarku yang baik banget! Ya udah aku tunggu nih daagh.”
Udara tak enak memasuki tubuhku, aku mulai kacau dan sulit berfikir. Aku nggak bisa berbuat apa-apa di hadapan ibuku nanti, membayangkan suara keras ibuku saja sudah tak kuasa.
    Tiba-tiba ibu melihatku dengan mata yang tajam seperti burung elang yang akan menerkam mangsanya.
      “Van, itu tadi telepon dari siapa? Terus sekarang kamu mau pergi kemana? tanya ibuku dengan sangar.
    “Euh euh anu tadi yang telepon temen Rivan dari Yogya namanya Fay, minta dijemput ke stasiun sekarang.” mendadak aku jadi gugup dan keringat mulai bercucuran di dahiku.
     “Fay itu perempuan apa laki-laki? Awas kalau itu sampai perempuan, ibu nggak bakalan ngijinin kamu pergi. Lagian ini kan masih terlalu pagi mana kamu belum mandi lagi.” Sentak ibuku
     “ Duh, bu ini gawat darurat. Fay nggak tahu daerah Bandung jadi Rivan diminta nganterin ke rumah saudaranya di Cicaheum. Please dong bu, ijinin Rivan sekali ini aja ” pintaku dengan muka memelas. Untungnya, aku bisa berfikir sehat sekarang, tapi Tuhan aku bohong sama ibuku sendiri. Mungkin bohong untuk kebaikan nggak akan kualat kali.
      Memang entah kenapa semenjak ayah dan ibuku berpisah, ibu selau overprotected gitu sama aku apalagi kalau aku suka bergaul dengan perempuan-perempuan di sekolah mungkin tamparan keras dan ocehan caci maki ibu akan menjadi santapan makananku setiap hari. Aku bener-bener bingung menghadapi ibu saat ini.
     Sementara aku mengambil motorku di garasi, suara bunyi telepon pun kembali berdering. “kriiiiiiiiiiiing kriiiiiiiiiing” dengan terpaksa ibuku yang mengangkat telepon itu karena adikku masih tidur dan aku mengambil motor untuk pergi menjemput Fayra.
       “Hallo hallo assalamualaikum!” Bisa bicara dengan Rivan.
“Hallo, Rivannya sedang pergi kalau boleh tahu ini dari siapa ya dan ada keperluan apa sama Rivan.” tanya ibuku sambil mengintrogasi penelepon tersebut.
      “Oh nggak ada ya Ini dari ibunya Fay, saya menyuruh Rivan untuk menjemput Fay di stasiun. Dan sekarang Fay sudah menunggu lama di stasiun, Fay tidak tahu daerah Bandung makanya saya meminta tolong pada Rivan untuk mengantarkannya ke rumah saudaranya yang ada di Cicaheum.”
      “Kalau boleh tahu anak ibu yang bernama Fay laki-laki apa perempuan dan untuk apa menyuruh Rivan menjemput anak ibu, kenapa nggak saudara ibu saja yang jemput Fay ke stasiun? Ibu sengaja ya merepotkan anak saya, ibu nggak tahu kalau ini masih terlalu pagi untuk menjemput anak ibu.”
     “Ibu ini gimana sih, anak saya itu Fayra jadi dia perempuanlah, kalau anak saya laki-laki saya nggak begitu khawatir dengan keadaannya. Maaf, bu bukan maksud saya untuk merepotkan Rivan dan keluarganya tapi kata Fay Rivan yang bersedia menjemput Fay di stasiun, jadi saya tidak akan memaksakan kehendak anak saya.”
     Ibuku langsung menutup teleponnya dengan cepat dan segera berlari mengejar aku. Saat itu, ibu seperti banteng yang telah menemukan kain berwarna merah yang terdapat didiriku sehingga banteng tersebut langsung menyerudukku dengan tanduknya yang besar. Keberuntungan ada di pihak ibukku, aku yang sedang menyalakan motor tiba-tiba ibu datang menghampiriku dengan penuh kemarahan. Seakan-akan aku melihat ibu seperti banteng yang bertanduk besar, memiliki mata yang merah tajam dan dikepalanya penuh asap yang membara. Aku tidak bisa mengelak atau langsung bergegas pergi karena kali ini aku benar-benar takut kualat.
      “Van, mana kunci motornya ibu pinjam sebentar.” Sentak ibu dengan muka mulai memanas. Ketika itu aku benar-benar nggak tahu kalau ibu marah padaku karena nggak ada kesalahan yang ada pada dirikku. Aku pun mulai bingung dan bertanya-tanya ketika ibu menanyakan seperti itu.
       “Ada apa sih bu, ngapain liat-liat kunci motor segala padahal semua STNK udah ada di Rivan kok jadi ibu tenang aja Rivan nggak bakalan ketangkep polisi.”
      “Iya, ibu lihat dulu sebentar, kamu ini bandel banget sih?!” sambil merampas kunci motor dari tanganku. Situasi yang seperti ini yang nggak aku inginkan, sepertinya ibu tahu kalau aku bohong padanya.
     “Udah sekarang kamu masuk kamar dan ibu nggak ngijinin kamu pergi sama Fayra yang ngaku-ngaku jadi laki-laki itu, cepet ..”
     “Tapi, bu itu khan bener-bener laki-laki . Bu, tolong ijinin Rivan pergi dong, bu please ?” Rivan merengek ingin pergi.
     “Kamu kecil-kecil udah bohongin ibu ya, berarti kamu di Yogya sering ya bohongin Bude’-mu. Pokoknya ibu akan awasin terus kelakuan kamu dan mulai sekarang jauhi Fayra untuk selama-lamanya.” Sentak ibu sambil mendorong aku untuk pergi ke kamar.
      “ Tapi, bu …… ?”
     “ Pokoknya nggak ada tapi-tapian, kalau kamu milih Fayra sekarang kamu boleh pergi dan nggak usah nginjek-nginjek rumah ini lagi dan kalau kamu milih ibu sekarang kamu segera pergi ke kamar ?”
     Memang tragis, aku dipukuli oleh ibuku akibat kelakuanku sendiri dan aku pun menangis kesakitan. Telepon yang selalu berdering pun akhirnya kabelnya dicabut oleh ibu. Selama 3 hari aku nggak pernah beranjak dari kamar tidurku, mengisi perutnya dengan sesuap nasi pun nggak pernah aku lakukan karena aku benar-benar takut kalau harus menghadap ibu. Memang aku laki-laki dan laki-laki nggak boleh pengecut. Tapi aku nggak mau kualat untuk kedua kalinya. Mungkin benar, kereta api Fayra pun telah berlalu membawa penyesalan yang teramat dalam. Habisnya mau bagaimana lagi, aku nggak bisa mempertahankan hubunganku dengan Fayra.
       Liburan pun hampir habis, 2 hari sebelum masuk sekolah aku pun berangkat ke Yogya untuk sekolah dan meninggalkan semua kemarahan ibu padaku. Sesampainya di Yogya, aku ingat bahwa sekolahku mengadakan event perpisahan sekolah yang diadakan oleh OSIS dan kebetulan aku menjadi ketua panitia event tersebut. Mau nggak mau, aku harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan menginap di sekolahan.
     Sebelum pergi ke sekolah, aku diceramahi dulu sama pade’ dan bude’-ku. Benar-benar kesal, setiap pulang ke Yogya pasti dapat kicauan nenek sihir.
    “Rivan, dengerin bude’, ibu kamu udah bilang semuanya dan mulai hari ini sampai seterusnya kamu bude’ awasin di sekolah. Kalau ternyata kamu hubungan lagi sama Fayra, bude’ nggak akan segan-segan buat laporin sikap kamu ke ibu kamu dan terpaksa ongkos kamu ke sekolah bude’ potong 50%.”
     “Bude’ kok gitu sih, kalau dipotong 50% berarti cuma 2000 dong, terus gimana ongkos ke sekolah masa jalan kaki !”
     “Pokoknya bude’ nggak mau tahu, bude’sama pade’ cuma ngejalanin perintah dari ibu kamu.”
    “Iya, lagian kalau nggak mau sengsara ya udah tinggal putusin aja si Fayra itu, pade’ pasti nggak bakalan motong-motong uang jajan segala.” Sambung pade’ yang ikut-ikutan menceramahi aku
    “Tapi, Pade’?”
   “Udah sana masuk kamar!” Memang dasar hidupku sial, kenapa nggak ada seorang pun yang mengerti akan perasaan aku sekarang.
     Esok harinya di sekolah, aku nggak menyangka bahwa anak-anak OSIS begitu sangat marah ketika aku nggak membantu mereka pada waktu liburan kemarin. Memang khusus panitia seharusnya nggak ada yang liburan tapi aku hanya datang pada waktu sehari sebelum hari H yaitu hari ini. Sepertinya kesialan akan menimpa dirikku sebentar lagi.
    “Van, lo nyadar nggak sih kalau lo bener- bener kelewatan? Enak-enaknya lo di Bandung sementara kita harus ngurusin segala sesuatunya dari urusan panggung, sound system, MC, pengisi acara sampai pendekoran. Dan lo hari ini datang tinggal enaknya, tahu nggak?” bentak Alvin ketua pelaksana event perpisahan ini.
      “Iya, dasar nggak tahu diri banget sih, seharusnya lo itu ngejabat jadi seksi keamanan yang kerja pada hari H doang. Nah ini ketua, nggak tahu malu banget sih. Udah lepas aja jabatan ketuanya ?” sambung Gasan
    “Maaf dong maaf dengerin dulu penjelasan dari gue, gue tuh nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma pengen kalian semua dengerin dulu penjelasan gue baru kalian boleh vonis gue apa aja.” Aku berusaha untuk menyangkalnya dan berusah untuk memberikan penjelasan.
   Tiba-tiba aku dibawa keluar oleh teman-temanku dan Anna serta Alvin membawa sekantong terigu, telor, kecap, dan satu gelas jus untuk disiramkan ke mukaku.
    “Udah deh nggak perlu ada penjelasan dan kita semua nggak bakalan maafin kamu untuk selamanya.” Bentak Anna Sambil mengguyur kepalaku dengan semua barang-barang yang ia bawa.
     Kemudian anak-anak pun berteriak histeris dengan berkata “HAPPY BIRTHDAY” selamat ulang tahun Rivan.
    Aku menangis terharu dan tak tahan melihat semua yang aku alami saat ini. Aku benar-benar lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku pun nggak lupa buat ngucapin terima kasih sama temen-temen yang udah berhasil ngerjain aku. Sukses berat untuk teman-temanku, mereka benar-benar mengerti akan keadaanku saat ini.
“Van, met ultah ya semoga lo panjang umur ‘n banyak rezekinya.” Ucap Anna.
“Thankz banget ya, Na?”
“Van, lo jangan marah ya, gue mau tanya sesuatu sama lo?”
“Nanya apa?”
“Gini apa lo masih hubungan sama Fayra?” tanya Anna dengan muka gugup.
“Ya iyalah, kamu ini gimana sih?!”
“Bukannya gitu, sebelum liburan pas kita pergi bareng buat beli keperluan dekor, lo liat cewe sekolahan kita khan yang lagi pacaran sambil pegang-pegangan tangan sama cowo.”
“Ya liatlah, tapi gue nggak kenal siapa cewe itu soalnya jaraknya jauh dan sedikit kabur gitu, emang kenapa?”
“Cewe itu cewe itu Fayra, Van?”
“Sumpah lo, Na? Masa sih Fayra, gue bener-bener nggak percaya sama apa yang kamu bilang. Mana buktinya kalau itu bener-bener Fayra?”
“Gue punya bukti foto yang ada di HP gue.” Sambil menyodorkan HP-nya.
“Coba liat, kapan lo ngambil gambar mereka kok gue nggak lihat sih?”
“Pas lo beli styrofoam di toko plastik, gue langsung menuju tempat cewe yang gue lihat itu. Dan ternyata itu bener-bener Fayra.” Ungkap Anna dengan tegas.
“Ya Tuhan, Na ini benar-benar Fayra, kok dia tega sich sama gue? Thankz ya, Na? Lo benar-benar teman gue yang paling baik.”
“Eh, jangan salah informasiku itu harus ada bayarannya. Tapi, Van lo jangan sedih ya dengan semua yang udah gue certain. Kalau ada apa-apa lo bisa curhat kok ke gue.”
“Thankz lagi, kalau nggak ada lo gue nggak tahu harus berbuat apa? Sekarang kita terusin kerjaan kita ya
      Aku bener-bener nggak nyangka Fayra tega berbuat seperti itu sama aku padahal aku benar-benar sayang sama dia. Ini semua nggak bisa dibiarkan, sekarang aku punya alasan untuk memutuskan hubunganku dengan dia dan membawa semua bukti yang ada.
     Ketika itu, aku berada di lapangan sedang mendekor panggung bersama teman-temanku yang lain. Tapi, tiba-tiba sesosok cewe datang menghampiri dari kejauhan dan sebuah tamparan melewati pipiku. Ya itu adalah tamparan keras dari Fayra
     “Dasar cowo nggak tahu diri, selama ini gue udah korbanin banyak buat lo tapi mana hasilnya nggak ada satupun balesan dari lo? Buat ngejemput gue aja di stasiun lo nggak bisa apalagi ngangkat telepon dari gue, dasar cowo aneh!” Bentak Fayra.
    Mungkin Fayra ingin memberikan ucapan ulang tahun dengan cara seperti ini, aku benar-benar terharu walaupun kemarin aku telah menyakiti Fayra tapi Fayra masih bisa memberikan ucapan itu. Tapi aku nggak bisa melupakan semua kelakuannya terhadapku, mungkin aku harus melupakan semua perkataan Anna dulu karena Fayra sudah bisa menyempatkan dirinya untuk memberikan ucapan selamat padaku.
     “Udah deh, gue tahu lo mau ngejailin gue kan kayak temen-temen gue barusan.”
“Idih geer banget lagian ngapain gue iseng tampar lo segala, dasar kurang kerjaan. Lo tuh bego apa pura-pura bego sich masa nggak inget waktu gue minta lo jemput di stasiun Bandung sampai gue rela nungguin 5 jam, tau nggak?”
“Tapi, nggak apa-apa deh aku maafin sikap kamu kemarin, sekarang selamat ulang tahun ya dan kamu terima kado ulang tahun dariku khusus buat kamu.”
Tapi, aku harus mengambil keputusan sekarang juga, nasibku dan ibuku ada di tanganku. Walaupun Fayra telah berbaik hati tapi aku nggak bisa melanjutkan hubunganku ini.
“Oooh yang itu maaf, gue nggak ada maksud dan sebaiknya lo nggak usah ngedeketin gue lagi untuk selamanya?! Terima kasih juga untuk kadonya dan aku nggak bisa menerima pemberian darimu, simpan saja untuk pacarmu yang ada di SMA lain.”
“Apa lo bilang, gue kan masih sayang sama lo walaupun lo udah banyak nyakitin gue? Dan maksud lo apa dengan pacar dari SMA lain?”
“Jangan bohong, terus terang aja, lo udah punya cowo kan selain gue. Buktinya ada di HP ini dan gue nggak akan marah kok asal lo kasih tahu gue yang sebenarnya.”
“Maafin gue ya, gue selingkuh di depan lo, tapi gue masih tetap milih lo kok, buktinya sekarang gue udah putusin cowo gue itu. Please, kita bisa perbaiki hubungan kita kok? Dan kalau memang nggak bisa, plase terima kado gue yang terakhir.”
“Thankz buat semuanya, Fay . ?”
Aku berlari menuju Ruang OSIS dan teman-temanku pun mulai bengong melihat kita berdua bertingkah aneh nggak karuan kayak anak kecil. Fayra pun berlari menuju gerbang sekolah sambil menangis tersedu-sedu.
“Rivan, gue nggak bisa nerima semua keputusan lo itu karena gue masih terlalu sayang untuk pisah dari lo Van, please jangan putusin gue.” Teriakan Fayra memenuhi telingaku.
“Sebenernya gue juga nggak mau pisah sama lo Fay, gue masih sayang banget sama lo tapi gimana nasib nyokap gue ntar kalo gue ketahuan masih hubungan sama lo, please maafin gue? Gue harap lo bisa nerima semua keputusan gue