#Behind the scene of sad
story
Aku tak
mengerti, siapa dr. Wibowo itu???
Mama tak pernah bercerita tentang hal ini. Terpikir olehku mungkin almarhum papa
adalah cinta pertama mama, namun ternyata hipotesisku salah. Ada yang lain
sebelum papa memasuki kehidupan mama. Mama sepertinya begitu mencintai dr. Wibowo karena hampir setiap tulisannya yang
beliau buat semua tentang dr.Wibowo. Pantas saja, perasaan mama begitu amat tersurat sehingga tersirat
dalam sebuah diary dan ekspresi tulisannya yang begitu mewarnai kebahagiaan
mama ketika berjumpa dengan dr. wibowo.
Heyy ,, ada kejanggalan di sini. Begitu aneh, kertas dalam diary mama disobek kasar
sampai beberapa lembar. Sulit bagiku untuk membaca kisah mama, apa yang terjadi
ketika itu? Mengapa mama merobek kertas yang ada di buku diary ini? Dan taukah
kamu, halaman selanjutnya cerita mama mengisahkan orang yang berbeda pula.
Apakah ini kisah almarhum papa? Ya … ini kisah almarhum papa yang ditulis oleh
mama pada buku diary-nya. Sepertinya mama dulu orang yang tak berani terbuka
untuk masalah-masalahnya. Sampai saat ini pun mama begitu tertutup ketika ada
masalah yang terjadi. Beliau lebih memilih diam tanpa kata dari setiap
masalahnya. Aku pun terdidik menjadi seorang yang kaku dan pendiam. Bahkan untuk
berkomunikasi dengan ketiga saudaraku saja tak pernah kulakukan. Ketiga kakakku
tak pernah menjadi panutan yang baik dalam hidupku, sampai saat ini pun
menginjak mereka dewasa komunikasi kami sangat minim dan bisa dihitung mungkin
hanya satu atau dua kata dalam sepekan. Sungguh ironis memang, hal ini mungkin dampak dari usia kami
yang jauh dan terpisah lama sehingga membuat masing-masing dari kami merasa
canggung dan takut bahkan malas untuk bercerita ataupun bertanya.
Keluargaku
layaknya tempurung kura-kura yang tertutup dengan tawa, canda gurau, cerita
bahagia, curahan hati ataupun yang berbau kebersamaan dan keharmonisan
keluarga. Mengapa kubilang kura-kura? Karena ku tau kura-kura begitu malu dan
takut terhadap respon, hewan ini lebih memilih mengurung diri di dalam
tempurung badannya. Sama halnya dengan keluargaku, setiap pulang ke rumah dan
sudah puas menyibukkan diri seharian di luar sana maka saatnya masing-masing
masuk ke dalam kamar dan menghabiskan waktu di dalam kamar tanpa kata apa pun.
Keluarga ini begitu sepi dan jauh dari kehangatan akan kebersamaan, hal ini
wajar karena sekalinya kami berkumpul tak ada satu pun yang bisa bersatu dengan
masing-masing saudaranya. Terkadang mama selalu jadi korban atas pertengkaran
anak-anaknya, aku pun tak pernah ingin berdebat di tengah-tengah keluarga yang
begitu tak menyenangkan ini. Maka hal yang patut dilakukan olehku adalah
seperti ini, menulis dengan bebas segala cacian, makian, amarah, kebencian,
dendam, iri hati, kebahagiaan, penderitaan terutama kesedihan yang dilalui
olehku sepanjang waktu. Bahkan yang selalu ada di sisiku sampai aku mati hanya
My Allah. Beliau yang senantiasa berada atas kesedihan, tangisan, haru, kebahagiaan
dan keluh kesahku.
Walaupun
begitu, tentunya aku cukup berbangga hati, tak jarang orang sepertiku dapat survive di tengah keluarga yang tak
bersahabat ini. Mayoritas, keluarga dengan predikat “broken-home” menjadi incaran predikat selanjutnya yang disebut trouble maker. Miris rasanya, melihat
ketiga kakakku yang tak pernah hidup damai serta dipenuhi kebencian hati yang
teramat dalam, hal ini diakibatkan karena buruknya pendidikan serta asuhan dari
kedua orang tua kami. Aku tak bisa menyalahkan sepenuhnya terhadap mama yang
salah mendidik anaknya karena ini sudah menjadi sebuah resiko yang dijalani
oleh keluarga yang seperti ini. Mengapa aku cukup berbangga hati pula? Karena
kamu tau, aku di sekolah cukup aktif dalam berbagai organisasi, aku terlibat banyak
peranserta dengan berbagai kalangan dan terutama mampu menjadi Ketua OSIS di
sekolahku. Aku cukup kompetitif dalam melakukan apa saja di sekolah, contohnya
saja minggu lalu aku dianugerahi piala lomba karya tulis ilmiah Tingkat SMA
Se-Jawa Barat. Aku lebih memilih meluangkan waktuku dengan kegiatan yang akan
memberikanku sebuah kepuasan tersendiri. Aku tak peduli atas pujian orang atau
bahkan cemoohan orang akibat perbuatan kakak-kakakku. Publik menganggap aku tak
becus mengajarkan pengalaman keberhasilanku kepada saudara-saudaraku. Tapi
entahlah, aku lebih memilih bersosialisasi dengan teman-teman sebayaku serta
guru-guruku. Mereka yang selalu ada untukku dan selalu meluangkan waktu untuk
bisa sharing denganku.
****
Tahukah kamu,
aku tak begitu banyak mengenal mama … aku tahu mama begitu tegar dan berhati
baja. Aku tahu mama adalah seorang “wonder
women” bagi keluargaku .. dan aku tahu mama selalu berjuang keras untuk
kehidupan kami yang lebih baik. Tapi kenapa yang aku tahu mama tak pernah bisa
dekat dengan aku … kecanggunganku dengan saudaraku itu bisa dikatakan wajar,
tapi apakah harus ada kecanggunganku dengan seorang ibu kandung? Terkadang aku
lebih memilih tak punya orang tua. Aku lebih menyukai teman-temanku di luar sana
dan aku lebih comfort dengan
guru-guruku. Setiap aku kesulitan, setiap aku berkeluh kesah dan setiap aku
senang hanya mereka yang aku ingat. Walau terkadang aku bercerita dengan mama
namun mama tak pernah memberikanku sebuah respon kasih sayang sehingga hal ini
tak membuatku nyaman.
Rasanya
melihat teman-teman yang lain di sekolah yang bisa curhat dengan mama-nya dan
menganggap mama-nya seperti temannya, suatu hal yang sangat luar biasa bagiku.
Bisa jadi pernah ada tumbuh kebencianku terhadap mama. Kamu tahu kenapa? Dulu
aku adalah seorang anak yang terlantar … mama membawa ketiga saudaraku ketika
mama dan papa memutuskan untuk berpisah. Aku bisa dikatakan menjadi tumbal
perceraian mereka. Aku dibiarkan tinggal dengan orang lain yang tak kukenal.
Hal ini mungkin dimaksudkan mama supaya keterlantaran aku menjadi pusat perhatian
papa dan membuat papa iba ketika melihat aku. Tapi apa yang aku dapat? Hampir
dua tahun aku ditinggal oleh mereka.. tak dapatkan secerca kasih sayang .. tak
dapatkan kebahagiaan yang seutuhnya. Papa lebih memilih keluarganya yang baru
ketimbang harus membawa aku dan memperhatikan aku dan mama pun lebih cenderung
merawat saudara-saudaraku yang lainnya.
Entahlah,
ketika itu aku begitu kalut.. aku yang masih kecil harus merasakan suka duka
tinggal bersama orang lain yang tak aku kenal. Makan seadanya, jajan seadanya
dan berpakaian seadanya .. sedikit terlintas dalam benakku untuk menginginkan
sebuah hadiah boneka yang aku idamkan. Namun nihil, pada siapa aku meminta?
Sedangkan kamu tahu keluarga yang mengasuhku tak cukup banyak uang untuk membelikan
tektek bengek keperluanku. Mereka
punya anak-anak juga yang teramat dini dan perlu biaya yang tak sedikit untuk
memenuhi keperluannya. Aku hanya
diberikan uang bulanan yang minim oleh mamaku .. dan untuk bertemu dengan mama
pun rasanya sulit. Aku tak pernah mengharapkan yang terlalu besar agar bisa
bahagia bertemu dengan mama .. aku tak cukup mengharapkan bagaimana aku bisa
bermain sepuasnya dengan mama, belajar dan memasak bersama .. aku tak cukup
pantas mengharapkan itu. Karena setiap pengharapan itu akan mustahil aku gapai
walau aku selalu berdoa dan berusaha tentunya.
Bersama
keluarga yang tak aku kenal merupakan anugerah yang cukup berarti bagiku.. aku
tak pernah mau menyalahkan keadaan ini. Tapi, apa anak sekecil itu akan kuat
untuk tidak menangis. Aku tak cukup kuat untuk tidak menangis. Pada siapa aku
menangis ketika aku dipukuli oleh keluarga itu? Pada siapa aku harus membela
diri ketika aku bertengkar dengan anak keluarga itu? Dan pada siapa aku harus
mengadu pada setiap kesedihanku? Aku hanya bisa mengurung diri dan menangis
serta menjerit di dalam hati … sekeras-kerasnya aku menjerit pasti tak akan
terdengar .. cukup dalam hati saja aku menjerit.
Di tengah
keluarga yang cukup rukun aku dibesarkan. Walaupun aku dibesarkan tanpa kasih
sayang namun perlahan aku mulai menyadari dan menerima setiap kasih sayang dari
keluarga kecilku saat ini. Aku ingat,
saat itu muncul sebuah film yang aku tonton dan cukup mengiris hati. Film itu
menggambarkan persis apa yang aku alami sekarang .. cukup lama sekali memang
dan film itu selalu diulang. Picture dan
layout film itu pun terlihat tua dan
nampak blur. Bukan bentuk film atau back song yang ada di dalamnya yang
membuat tetesan air mata di wajahku melainkan content dan amanat yang tertuang dalam film itu. Film itu
menceritakan sebuah keluarga yang broken
home. Anak-anaknya tinggal bersama ayah kandung dan tentunya ibu tiri yang
sangat menakutkan. Aku sempat bertanya pada salah satu anggota keluarga ketika
itu, siapa ibu tiri? Dan untuk apa ibu tiri merawat anak-anak itu? Aku begitu
sangat takut akan sosok ibu tiri dengan gaya bicara dan bentuk pendidikan yang
diajarkan pada anak-anaknya membuatku sangat membenci ibu tiri. Semua orang
kembali menakuti aku dengan sosok ibu tiri sampai aku menangis dan tak inginkan
hadirnya ibu tiri, Sampai saat itu, aku menjadi sangat pendiam dan begitu
ketakutan sehingga siapa pun yang berusaha menghiburku tak pernah aku respon. Sampai
pada akhirnya siapa yang merasa iba melihatku tak berdaya? Yang merasa
keberadaan aku untuk dirawat bukan untuk diterlantarkan. Ya .. itulah nenekku
yang mau mengambil dan merawatku di tengah pertikaian yang terjadi antara mama
dan nenekku.
Saat itu, yang
tumbuh dalam pikiranku adalah aku hanya ingin bertemu dengan mama hanya mama
dan tidak ingin yang lain selain mama. Nenek atau ibu kandung dari papa
tepatnya meruntuhkan semua pikiranku. Aku terdogma oleh nenek .. menurutnya
ibuku tak layak dikatakan sebagai mama. Ibuku seenaknya menelantarkan aku tanpa
bertemu dan memberikan kasih sayang padaku. Padahal yang seharusnya disalahkan
adalah papaku lebih tepatnya anaknya. Karena beliaulah yang sebenarnya
menelantarkan anak-anaknya demi wanita lain. Sejak saat itu aku tak ingin
mengenali papa. Aku cukup kuat bila orang-orang mengatakan bahwa aku tak
memiliki papa. Aku cukup tega bila aku sudah tak memerlukan seorang papa.
Asalkan jangan mama, walaupun begitu, mama tetap selalu ada di hati dan aku tak
mau mendengar doktrin-doktrin jelek mengenai ibuku. Aku lebih baik tak ikut
dengan nenek kalau harus melepaskan bayangan dan ingatanku tentang ketulusan
mama.
Lelah rasanya
harus hidup seperti ini, dengan usiaku yang teramat dini ditumbuhi karakter
kebencian dan pembiasaan untuk melupakan kedua orang tuaku. Selama aku tinggal bersama
nenek, aku begitu senang karena aku bisa membeli apa yang aku mau. Boneka yang
selama ini aku inginkan sangat mudah aku dapatkan. Barbie kecil yang cantik,
baju-baju mewah, makanan yang lengkap … all
of my dream come true. Thanks God for
all wonderfull gift for me … !! I`m
very very happy now .. tapi, masih ada yang kurang rasanya.. kemewahan ini,
kesenangan ini, tak membuatku merasa lengkap. Aku hanya bisa bersyukur atas
semua ini walau tak sesempurna hidup yang lain tapi aku yakin di luar sana masih
banyak orang-orang yang kurang beruntung dan tak bisa sebahagia aku saat ini.
****