Sabtu, 21 April 2012

Story 2


#Behind the scene of sad story
      
Aku tak mengerti, siapa dr. Wibowo itu??? Mama tak pernah bercerita tentang hal ini. Terpikir olehku mungkin almarhum papa adalah cinta pertama mama, namun ternyata hipotesisku salah. Ada yang lain sebelum papa memasuki kehidupan mama. Mama sepertinya begitu mencintai dr. Wibowo karena hampir setiap tulisannya yang beliau buat semua tentang dr.Wibowo. Pantas saja, perasaan mama begitu amat tersurat sehingga tersirat dalam sebuah diary dan ekspresi tulisannya yang begitu mewarnai kebahagiaan mama ketika berjumpa dengan dr. wibowo.
Heyy ,, ada kejanggalan di sini. Begitu aneh, kertas dalam diary mama disobek kasar sampai beberapa lembar. Sulit bagiku untuk membaca kisah mama, apa yang terjadi ketika itu? Mengapa mama merobek kertas yang ada di buku diary ini? Dan taukah kamu, halaman selanjutnya cerita mama mengisahkan orang yang berbeda pula. Apakah ini kisah almarhum papa? Ya … ini kisah almarhum papa yang ditulis oleh mama pada buku diary-nya. Sepertinya mama dulu orang yang tak berani terbuka untuk masalah-masalahnya. Sampai saat ini pun mama begitu tertutup ketika ada masalah yang terjadi. Beliau lebih memilih diam tanpa kata dari setiap masalahnya. Aku pun terdidik menjadi seorang yang kaku dan pendiam. Bahkan untuk berkomunikasi dengan ketiga saudaraku saja tak pernah kulakukan. Ketiga kakakku tak pernah menjadi panutan yang baik dalam hidupku, sampai saat ini pun menginjak mereka dewasa komunikasi kami sangat minim dan bisa dihitung mungkin hanya satu atau dua kata dalam sepekan. Sungguh ironis memang, hal ini mungkin dampak dari usia kami yang jauh dan terpisah lama sehingga membuat masing-masing dari kami merasa canggung dan takut bahkan malas untuk bercerita ataupun bertanya.
Keluargaku layaknya tempurung kura-kura yang tertutup dengan tawa, canda gurau, cerita bahagia, curahan hati ataupun yang berbau kebersamaan dan keharmonisan keluarga. Mengapa kubilang kura-kura? Karena ku tau kura-kura begitu malu dan takut terhadap respon, hewan ini lebih memilih mengurung diri di dalam tempurung badannya. Sama halnya dengan keluargaku, setiap pulang ke rumah dan sudah puas menyibukkan diri seharian di luar sana maka saatnya masing-masing masuk ke dalam kamar dan menghabiskan waktu di dalam kamar tanpa kata apa pun. Keluarga ini begitu sepi dan jauh dari kehangatan akan kebersamaan, hal ini wajar karena sekalinya kami berkumpul tak ada satu pun yang bisa bersatu dengan masing-masing saudaranya. Terkadang mama selalu jadi korban atas pertengkaran anak-anaknya, aku pun tak pernah ingin berdebat di tengah-tengah keluarga yang begitu tak menyenangkan ini. Maka hal yang patut dilakukan olehku adalah seperti ini, menulis dengan bebas segala cacian, makian, amarah, kebencian, dendam, iri hati, kebahagiaan, penderitaan terutama kesedihan yang dilalui olehku sepanjang waktu. Bahkan yang selalu ada di sisiku sampai aku mati hanya My Allah. Beliau yang senantiasa berada atas kesedihan, tangisan, haru, kebahagiaan dan keluh kesahku.
Walaupun begitu, tentunya aku cukup berbangga hati, tak jarang orang sepertiku dapat survive di tengah keluarga yang tak bersahabat ini. Mayoritas, keluarga dengan predikat “broken-home” menjadi incaran predikat selanjutnya yang disebut trouble maker. Miris rasanya, melihat ketiga kakakku yang tak pernah hidup damai serta dipenuhi kebencian hati yang teramat dalam, hal ini diakibatkan karena buruknya pendidikan serta asuhan dari kedua orang tua kami. Aku tak bisa menyalahkan sepenuhnya terhadap mama yang salah mendidik anaknya karena ini sudah menjadi sebuah resiko yang dijalani oleh keluarga yang seperti ini. Mengapa aku cukup berbangga hati pula? Karena kamu tau, aku di sekolah cukup aktif dalam berbagai organisasi, aku terlibat banyak peranserta dengan berbagai kalangan dan terutama mampu menjadi Ketua OSIS di sekolahku. Aku cukup kompetitif dalam melakukan apa saja di sekolah, contohnya saja minggu lalu aku dianugerahi piala lomba karya tulis ilmiah Tingkat SMA Se-Jawa Barat. Aku lebih memilih meluangkan waktuku dengan kegiatan yang akan memberikanku sebuah kepuasan tersendiri. Aku tak peduli atas pujian orang atau bahkan cemoohan orang akibat perbuatan kakak-kakakku. Publik menganggap aku tak becus mengajarkan pengalaman keberhasilanku kepada saudara-saudaraku. Tapi entahlah, aku lebih memilih bersosialisasi dengan teman-teman sebayaku serta guru-guruku. Mereka yang selalu ada untukku dan selalu meluangkan waktu untuk bisa sharing denganku.
****
Tahukah kamu, aku tak begitu banyak mengenal mama … aku tahu mama begitu tegar dan berhati baja. Aku tahu mama adalah seorang “wonder women” bagi keluargaku .. dan aku tahu mama selalu berjuang keras untuk kehidupan kami yang lebih baik. Tapi kenapa yang aku tahu mama tak pernah bisa dekat dengan aku … kecanggunganku dengan saudaraku itu bisa dikatakan wajar, tapi apakah harus ada kecanggunganku dengan seorang ibu kandung? Terkadang aku lebih memilih tak punya orang tua. Aku lebih menyukai teman-temanku di luar sana dan aku lebih comfort dengan guru-guruku. Setiap aku kesulitan, setiap aku berkeluh kesah dan setiap aku senang hanya mereka yang aku ingat. Walau terkadang aku bercerita dengan mama namun mama tak pernah memberikanku sebuah respon kasih sayang sehingga hal ini tak membuatku nyaman.
Rasanya melihat teman-teman yang lain di sekolah yang bisa curhat dengan mama-nya dan menganggap mama-nya seperti temannya, suatu hal yang sangat luar biasa bagiku. Bisa jadi pernah ada tumbuh kebencianku terhadap mama. Kamu tahu kenapa? Dulu aku adalah seorang anak yang terlantar … mama membawa ketiga saudaraku ketika mama dan papa memutuskan untuk berpisah. Aku bisa dikatakan menjadi tumbal perceraian mereka. Aku dibiarkan tinggal dengan orang lain yang tak kukenal. Hal ini mungkin dimaksudkan mama supaya keterlantaran aku menjadi pusat perhatian papa dan membuat papa iba ketika melihat aku. Tapi apa yang aku dapat? Hampir dua tahun aku ditinggal oleh mereka.. tak dapatkan secerca kasih sayang .. tak dapatkan kebahagiaan yang seutuhnya. Papa lebih memilih keluarganya yang baru ketimbang harus membawa aku dan memperhatikan aku dan mama pun lebih cenderung merawat saudara-saudaraku yang lainnya.
Entahlah, ketika itu aku begitu kalut.. aku yang masih kecil harus merasakan suka duka tinggal bersama orang lain yang tak aku kenal. Makan seadanya, jajan seadanya dan berpakaian seadanya .. sedikit terlintas dalam benakku untuk menginginkan sebuah hadiah boneka yang aku idamkan. Namun nihil, pada siapa aku meminta? Sedangkan kamu tahu keluarga yang mengasuhku tak cukup banyak uang untuk membelikan tektek bengek keperluanku. Mereka punya anak-anak juga yang teramat dini dan perlu biaya yang tak sedikit untuk memenuhi keperluannya.  Aku hanya diberikan uang bulanan yang minim oleh mamaku .. dan untuk bertemu dengan mama pun rasanya sulit. Aku tak pernah mengharapkan yang terlalu besar agar bisa bahagia bertemu dengan mama .. aku tak cukup mengharapkan bagaimana aku bisa bermain sepuasnya dengan mama, belajar dan memasak bersama .. aku tak cukup pantas mengharapkan itu. Karena setiap pengharapan itu akan mustahil aku gapai walau aku selalu berdoa dan berusaha tentunya.
Bersama keluarga yang tak aku kenal merupakan anugerah yang cukup berarti bagiku.. aku tak pernah mau menyalahkan keadaan ini. Tapi, apa anak sekecil itu akan kuat untuk tidak menangis. Aku tak cukup kuat untuk tidak menangis. Pada siapa aku menangis ketika aku dipukuli oleh keluarga itu? Pada siapa aku harus membela diri ketika aku bertengkar dengan anak keluarga itu? Dan pada siapa aku harus mengadu pada setiap kesedihanku? Aku hanya bisa mengurung diri dan menangis serta menjerit di dalam hati … sekeras-kerasnya aku menjerit pasti tak akan terdengar .. cukup dalam hati saja aku menjerit.
Di tengah keluarga yang cukup rukun aku dibesarkan. Walaupun aku dibesarkan tanpa kasih sayang namun perlahan aku mulai menyadari dan menerima setiap kasih sayang dari keluarga kecilku saat ini.   Aku ingat, saat itu muncul sebuah film yang aku tonton dan cukup mengiris hati. Film itu menggambarkan persis apa yang aku alami sekarang .. cukup lama sekali memang dan film itu selalu diulang. Picture dan layout film itu pun terlihat tua dan nampak blur. Bukan bentuk film atau back song yang ada di dalamnya yang membuat tetesan air mata di wajahku melainkan content dan amanat yang tertuang dalam film itu. Film itu menceritakan sebuah keluarga yang broken home. Anak-anaknya tinggal bersama ayah kandung dan tentunya ibu tiri yang sangat menakutkan. Aku sempat bertanya pada salah satu anggota keluarga ketika itu, siapa ibu tiri? Dan untuk apa ibu tiri merawat anak-anak itu? Aku begitu sangat takut akan sosok ibu tiri dengan gaya bicara dan bentuk pendidikan yang diajarkan pada anak-anaknya membuatku sangat membenci ibu tiri. Semua orang kembali menakuti aku dengan sosok ibu tiri sampai aku menangis dan tak inginkan hadirnya ibu tiri, Sampai saat itu, aku menjadi sangat pendiam dan begitu ketakutan sehingga siapa pun yang berusaha menghiburku tak pernah aku respon. Sampai pada akhirnya siapa yang merasa iba melihatku tak berdaya? Yang merasa keberadaan aku untuk dirawat bukan untuk diterlantarkan. Ya .. itulah nenekku yang mau mengambil dan merawatku di tengah pertikaian yang terjadi antara mama dan nenekku.
Saat itu, yang tumbuh dalam pikiranku adalah aku hanya ingin bertemu dengan mama hanya mama dan tidak ingin yang lain selain mama. Nenek atau ibu kandung dari papa tepatnya meruntuhkan semua pikiranku. Aku terdogma oleh nenek .. menurutnya ibuku tak layak dikatakan sebagai mama. Ibuku seenaknya menelantarkan aku tanpa bertemu dan memberikan kasih sayang padaku. Padahal yang seharusnya disalahkan adalah papaku lebih tepatnya anaknya. Karena beliaulah yang sebenarnya menelantarkan anak-anaknya demi wanita lain. Sejak saat itu aku tak ingin mengenali papa. Aku cukup kuat bila orang-orang mengatakan bahwa aku tak memiliki papa. Aku cukup tega bila aku sudah tak memerlukan seorang papa. Asalkan jangan mama, walaupun begitu, mama tetap selalu ada di hati dan aku tak mau mendengar doktrin-doktrin jelek mengenai ibuku. Aku lebih baik tak ikut dengan nenek kalau harus melepaskan bayangan dan ingatanku tentang ketulusan mama.
Lelah rasanya harus hidup seperti ini, dengan usiaku yang teramat dini ditumbuhi karakter kebencian dan pembiasaan untuk melupakan kedua orang tuaku. Selama aku tinggal bersama nenek, aku begitu senang karena aku bisa membeli apa yang aku mau. Boneka yang selama ini aku inginkan sangat mudah aku dapatkan. Barbie kecil yang cantik, baju-baju mewah, makanan yang lengkap … all of my dream come true. Thanks God for all wonderfull gift for me … !! I`m very very happy now .. tapi, masih ada yang kurang rasanya.. kemewahan ini, kesenangan ini, tak membuatku merasa lengkap. Aku hanya bisa bersyukur atas semua ini walau tak sesempurna hidup yang lain tapi aku yakin di luar sana masih banyak orang-orang yang kurang beruntung dan tak bisa sebahagia aku saat ini.
****