Abstrak
Reformasi telah dijalani rakyat Indonesia lebih dari satu
dasawarsa terakhir, namun
semakin hari wajah bangsa makin nampak suram. Bangsa Indonesia saat
ini sedang mengalami krisis multidimensional yang berkepanjangan disebabkan
karena kekeroposan fundamental ekonomi. Krisis kepercayaan pada pemerintah
berujung pada maraknya upaya pemaksaan kehendak dan intoleransi, yang bisa
berujung pada radikalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait
dengan konstitusionalisme dijadikan alasan kuat sebagai alat pemersatu bangsa
dan wadah yang efektif dalam kemampuan resolusi konflik. Sebagaimana termaktub dalam UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD pasal 15 ayat 1 huruf e, dimana ayat ini mengamanahkan
kepada pimpinan MPR untuk mengoordinasikan sosialisasi berbagai perubahan yang
terjadi pada UUD NRI tahun 1945. Namun, melihat semakin melunturnya nilai-nilai
kebangsaan dan nasionalisme di tengah masyarakat yang sangat menghkawatirkan,
maka Pimpinan MPR akhirnya bersepakat mengemas pelaksanaan sosialisasi tersebut
menjadi sosialisasi 4 pilar meliputi Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika sebagai reorientasi jati diri bangsa dan menumbuhkan karakter
bangsa. Reorientasi
pertama adalah proses penemuan jati diri sebagai bangsa
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai dengan apa
yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Reorientasi kedua adalah
pemetaan posisi Indonesia di zaman globalisasi dimana kecenderungan masyarakat
Indonesia yang senantiasa hidup konsumtif harus lebih diwaspadai. Reorientasi ketiga adalah pengokohan
kembali empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika yang sudah menjadi acuan kehidupan masyarakat Indonesia sedari dulu
dengan semangat kesatuan dan kebangsaan yang diharapkan semakin melekat.
Kata Kunci : Konstitusionalisme, 4 Pilar
Kebangsaan, reorientasi jati diri, karakter bangsa
Pendahuluan
Reformasi
telah dijalani rakyat Indonesia lebih dari satu dasawarsa terakhir, namun semakin hari wajah bangsa makin nampak suram. Reformasi yang dijalankan tidak pernah menyentuh akar
permasalahan yang kita hadapi saat ini, yakni persoalan korupsi yang semakin
merajalela, kelemahan penegakan hukum, pembangunan sistem yang tak seimbang disertai
terkikisnya konstitusionalisme ditandai dengan berbagai penyimpangan sosial.
Saat ini, konsep SDA semakin digunakan bukan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, tetapi dimanfaatkan oleh segelintir orang yang biasa disebut dengan
kaum elite dan pengusaha dan korporasi termasuk pihak asing. Sementara itu,
SDM semakin lembek, karakternya semakin luntur, etos kerja menurun dan semakin
dirasa memperhambat produktivitas. Semboyan Bhineka
Tunggal Ika yang didasarkan pada keutuhan
bangsa yang Ika─ yang satu, sekalipun
amat disadari terdiri dari pluralitas suku
bangsa,
agama, budaya dan bahasa kini semakin
terusik dengan berbagai
gerakan yang bersifat primordialisme. Negara semakin berdiri di atas
kepentingan minoritas dengan proses pembentukan paradigma matrealistis. Terlebih
lagi kekerasan yang mengatasnamakan agama, pelecehan
agama dengan bentuk aliran sesat dan konflik yang terjadi berlarut-larut akibat
kepentingan pribadi yang berujung pada masalah bersama. Indonesia seolah semakin dipaksakan untuk menjadi Ika, menjadi
seragam tanpa menghormati kebhinnekaan. Nilai-nilai luhur Pancasila pun sudah
tak lagi dirasakan keberfungsiannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlepas dari semua ini banyak yang harus kita kaji bersama dan pahami bersama
sebagai negara kesatuan yang memiliki sikap-sikap tradisi bangsa kita yaitu
dengan sikap nasionalisme, sikap cintah tanah air, sikap gotong royong. Kesemua
sikap itu perlu untuk memunculkan karakter nasional yang nantinya mengarah pada
bangsa yang berkarakter dan bermartabat.
Tantangan
Konstitusionalisme Indonesia
Dewasa ini, bangsa Indonesia sedang mengalami
krisis multidimensional yang berkepanjangan disebabkan karena kekeroposan
fundamental ekonomi. Berawal dari krisis perekonomian yang ditandai dengan
depresiasi rupiah (krisis moneter), kemudian menjadi krisis kepercayaan (confidential crisis) kepada pemerintah
Republik Indonesia. Hal ini tercermin pada kurs rupiah yang cenderung
meningkat, yang berdampak pada harga-harga dan menurunnya kegiatan produksi
serta investasi di dalam negeri. Pada dasarnya, krisis moneter memang bukan
disebabkan oleh efek ketularan (contagion
effect), namun efek tersebut juga sedikit banyak berpengaruh sebagai faktor
pemicu.
Krisis kepercayaan pada pemerintah
berujung pada maraknya upaya pemaksaan kehendak dan intoleransi, yang bisa
berujung pada radikalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Realita
tersebut sangatlah berbenturan dengan nilai luhur Pancasila dan sebagai bentuk
pengingkaran konkret terhadap komitmen kebangsaan yang telah lama terbentuk. Semakin
terabaikannya nilai-nilai luhur Pancasila dalam berbagai sendi kehidupan, tak terlepas dari pengaruh
zaman globalisasi dan teknologi yang tidak hanya menimbulkan disorientasi
sosial dan menjadi penyebab lunturnya identitas nasional serta jati diri bangsa
yang termaktub dalam Pancasila.
Di tengah berbagai hal yang menjadi
tingkat capaian bangsa, nampak berbagai persoalan yang mengancam pilar-pilar
kekuatan bangsa. Dengan kondisi yang multikultural, Indonesia selalu terlibat
konflik dan kekerasan sosial yang dipicu perbedaan latar belakang etnis,
primordialisme, dan agama. Padahal Indonesia kerap memiliki sikap toleransi dan
gotong royong yang menjadi karakter asli bangsa ini, namun tengah luntur karena
penetrasi pemikiran dan tindakan pragmatis individualistis.
Parsudi Suparlan (Al Muchtar, 2006:93)
mengatakan bahwa realitas pluralitas masyarakat Indonesia secara sosiologis
terdiri lebih kurang dari 500 kelompok dimana secara kultural setiap kelompok
etnis mempertahankan identitas dan budayanya serta memiliki kecenderungan yang
sangat kuat mengklaim wilayah etnisnya, dalam tataran komunitas etnis yang
homogen. Sementara itu etnisitas memiliki potensi dapat merusak tatanan sosial
sebuah komunitas atau masyarakat secara umum. Kemunculan konflik berdarah yang
sering kita dengar disebabkan pada permasalahan etnisitas yang menyebabkan pola
persaingan interaksi sosial yang tidak sehat. Biasanya, konflik etnis ini
mengarah pada ketegangan antara etnis satu yang memiliki keinginan kuat untuk
menindas etnis lainnya sehingga menjadi penyebab utama desintegrasi sosial.
Terkait dengan konstitusionalisme
dijadikan alasan kuat sebagai alat pemersatu bangsa dan wadah yang efektif
dalam kemampuan resolusi konflik. Tak ayal konstitusi negara Indonesia secara
tidak langsung dapat memperkuat integrasi sosial dalam tataran multikulturalisme
yang berbentuk pada kesadaran kolektif. Konsepsi konstitusionalisme pada
hakekatnya berkaitan erat dengan
konsesus mengenai bagaimana bangunan dan mekanisme sistem bernegara yang di
dalamnya berkaitan dengan pembatasan dan pendistribusian kekuasaan negara
secara sistemik (Muchtar, 2006:101). Hal ini berarti yang menjadi tujuan khusus
konstitusi dan keberagaman tujuan masyarakat harus diselaraskan terkait
konsesus sehingga mewujudkan tujuan bersama dalam rangka mewujudkan kepentingan
bersama.
Namun, ada beberapa hal permasalahan
konstitusionalisme yang dapat
dirumuskan sebagai akar permasalahan yang perlu pemecahan segera, yaitu:
1) Pemahaman
dan pengaplikasian konstitusi seringkali dirasa kurang nampak pada masyarakat
Indonesia karena belum adanya kesadaran individu yang melingkupi kesadaran
kolektif. Hal yang menjadi kekhawatiran tersendiri ketika pemuda Indonesia yang
menjadi penerus bangsa, tak lagi memperdulikan bagaimana konstitusi itu berada
di tengah-tengah mereka yang seharusnya dijadikan ruh nasional.
2) Konstitusi
seringkali berbenturan dengan peraturan-peraturan perundang lainnya sehingga
ada undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya perlu dilakukan
pengujian kembali (judicial review)
oleh Mahkamah Konstitusi.
3) Kualitas
Undang-Undang yang dihasilkan DPR kurang memadai sehingga kurang nampak
kebermanfaatannya secara langsung bagi kehidupan masyarakat Indonesia dan
kurang adanya transparansi terhadap proses pembahasan yang dijalankan DPR dalam
pengajuan RUU sehingga memberi kesan sempit pada masyarakat Indonesia.
4) Adanya
keterlibatan kepentingan politik segelintir orang yang mempengaruhi
kecenderungan dalam proses penegakan hukum sehingga menimbulkan keganjalan
publik terutama kekecewaan masyarakat terhadap supremasi hukum di Indonesia.
Dari sekian banyak permasalahan konstitusionalisme,
yang paling kritis dan strategis untuk segera dirumuskan pemecahannya adalah kurangnya pemahaman dan pengaplikasian
konstitusi. Seandainya krisis pemahaman dan pengaplikasian konstitusi ini
dibiarkan maka akan berbahaya pada pengembangan kerangka pemikiran masyarakat
Indonesia di masa depan. Pembentukan pemahaman konstitusi ini harus dilakukan
kepada masyarakat dini yang disadari penuh nantinya mempengaruhi konteks
kehidupan nyata sehingga memberikan banyak manfaat tersendiri. Pembentukan
pemahaman ini dilakukan dengan mempertegas kembali konstitusi yang murni dengan
bentuk sosialisasi nyata kepada masyarakat Indonesia. Dengan proses pemahaman
konstitusi secara utuh diharapkan dapat membangun kembali karakter masyarakat
yang asli sebagai bangsa yang cerdas dan bermartabat.
Berbagai Permasalahan
Karakter Bangsa
Tak pernah terdengar ada suatu bangsa
hidup terpisah dari akar tradisinya namun tak ada pula suatu bangsa yang hidup
tanpa pengaruh dari luar. Namun, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki
kelekatan budaya dan dapat mengadaptasi serta menyaring unsur budaya luar
dengan tidak mengindahkan nilai kearifan lokal yang dimiliki. Penguatan
karakter bangsa akan mempengaruhi eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, secara tidak langsung karakter bangsa yang utuh akan menampilkan
NKRI yang kokoh. Penguatan karakter sersebut diperoleh dari empat pilar
kebangsaan.
Istilah karakter bangsa, dalam bahasa
Barat identik dengan “nation character” yang tak pernah lepas dari masalah
psikologi sosial. Devos dalam Budimansyah & Karim Suryadi (2008:77)
mendefinisikan karakter bangsa yaitu “The
term national character is used to describe the enduring personality
characteristics and unique life style found among the populations of particular
national states. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa karakter bangsa
berguna untuk menggambarkan ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang
unik diantara penduduk negara bangsa tertentu. Karakter bangsa tersebut
dikaitkan dengan kepribadian maka mernjadi bagian dari masalah psikologi yang
dianggap sebagai istilah yang abstrak. Artinya dalam konteks perilaku yang
terikat oleh beberapa aspek budaya yang menjadi karakteristik khas masyarakat
tertentu.
Karakter bangsa tercermin dalam budaya
bangsa berupa bahasa, tarian, tradisi khas dan adat istiadat yang melekat dalam
psikologi masyarakat tertentu dalam suatu negara. Internalisasi karakter bangsa
seharusnya tetap melekat hingga sekarang sebagai perwujudan nilai-nilai bangsa
yang patut dijunjung tinggi. Namun, beberapa kasus-kasus yang terjadi seperti
kekerasan, korupsi, pembunuhan, perampokan dan tindakan-tindakan amoral
lainnya Degradasi karakter yang
ditunjukkan bangsa Indonesia ini semakin berujung pada melemahnya identitas
bangsa sebagai bangsa yang bermartabat. Hal yang perlu menjadi
pemikiran bersama dalam pemecahan krisis multidimensional yang terjadi sekarang
ini harus dirancang dengan penemuan jati diri yang kemudian dibangun dengan
ideologi dalam rangka melindungi jati diri sehingga menghasilkan suatu bentuk
psikologi nyata yang tumbuh di masyarakat sebagai karakter bangsa dan merupakan
hasil cerminan dari jati diri bangsa tersebut.
Ginanjar, Ary (Sumodiningrat, 2005:xi)
mengemukakan tentang adanya hubungan yang signifikan antara jati diri
sesungguhnya yang merupakan sebuah “input”, kemudian ideologi sebagai “proses”
dan karakter bangsa sebagai “output” atau hasil.
Rangkaian tersebut secara pragmatis
memiliki kesatuan integral dalam perwujudan diri bangsa Indonesia diantaranya
adalah jati diri, ideologi dan karakter bangsa. Ketiga rangkaian tersebut
menjadi hierarkis secara jelas dimulai dari jati diri dibentuk dengan ideologi
kemudian menghasilkan output sebagai karakter bangsa. Tak ayal, pemaparan
tentang krisis karakter bangsa bersumber dari krisis jati diri yang secara
tidak langsung tercipta krisis karakter dan ideologi.
Berikut pemaparan Ginanjar, Ary
(Sumodiningrat, 2005:xii) terkait permasalahan krisis jati diri bangsa, krisis
ideologi, krisis karakter dan krisis kepercayaan.
1. Krisis
Jati Diri Bangsa
Krisis jati diri bangsa dimulai dari krisis jati
diri individu yang kemudian menjadi krisis kolektif. Secara umum krisis jati
diri bangsa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu, ketidakmampuan mengenal
diri dan berasal dari pengaruh luar.
2. Krisis
Ideologi
Kegagalan melakukan (inner journey) dalam menemukan jati diri akan mengakibatkan pula
ketidakpahaman alasan pribadi dimana akan muncup pertanyaan bahwa mengapa
manusia membutuhkan sebuah ideologi sehingga manusia tidak lagi memiliki
dorongan untuk memiliki ideologi yang cocok dengan jati dirinya. hal ini perlu
dipahami bahwa ideologi adalah sebuah instrumen yang dibutuhkan menjadi
“pegangan” dari sebuah jati diri, sehingga ideologi menjadi sebuah kebutuhan
bukan doktrin.
3. Krisis
Karakter
Karakter sesungguhnya adalah aplikasi konkret dari
nilai-nilai sebuah jati diri. jati diri bersifat nonmaterial atau spiritual
sedangkan karakter adalah “tangible”
yang bersifat fisik spiritual yang sudah berada pada dimensi luar. Inilah
output dari sistem ideologi dan penemuan jati diri. jadi krisis jati dirilah
sumber dari semua krisis karakter bangsa. Karakter yang mengalami krisis adalah
karakter yang telah keluar dari batas-batas garis orbit suara hati yang
bersifat universal dan spiritual. Krisis karakter adalah perilaku yang bertolak
belakang dengan suara hati (self
conscience) meskipun dikatakan logis.
4. Krisis
Kepercayaan
Krisis kepercayaan sesungguhnya terjadi karena tidak
adanya “value” dan “basic principle” yang dapat dijadikan
pegangan oleh suatu bangsa. “value”
dan “basic principle” yang ada pada
masyarakat bersifat global dan universal, ia tidak hanya menjadi nilai dan
hukum alam akan tetapi tertulis juga pada kalbu manusia pada dimensi spiritual
(God Spot) berupa kehendak Ilahiah (will). Jadi, krisis kepercayaan adalah
krisis keyakinan akan eksistensi Tuhan Sang Pemilik Nilai.
Kesuluruhan pemaknaan krisis di atas
mencakup pada bertambah rumitnya pemetaan masalah yang didasarkan pada
kehidupan konkret manusia. Sehingga yang memiliki sumber paling utama dari
permasalahan krisis hidup manusia secara berkepanjangan ini adalah proses
penemuan jati diri yang belum optimal. Hal ini dirasakan bukan pada ideologi
bangsa atau karakter bangsa itu sendiri melainkan konsep jati diri yang melekat
sebagai paradigma yang seharusnya dipegang oleh setiap manusia. Upaya dalam pemecahan
krisis yang berkelanjutan ini harus didasarkan pada proses yang matang dan
menyeluruh dimana kita harus mampu membaca realitas secara substansial. Solusi
yang dibutuhkan adalah solusi dengan kemampuan berpikir panjang, bukan solusi
dengan logika yang serba “instan” tanpa melihat “value” yang sesungguhnya sehingga permasalahan kecil akan semakin
bertambah besar ketika melalui jalan yang cepat.
4 Pilar Kebangsaan:
Reorientasi Jati Diri Bangsa
Seperti kita ketahui, bahwa
penguatan karakter bangsa akan berpengaruh pada eksistensi NKRI secara utuh.
Konsep konstitusionalisme yang sudah kita bahas sebelumnya menjadi acuan utama
dalam proses penemuan jati diri bangsa yang sesungguhnya. Hal ini sebenarnya
sudah dirasakan sejak zaman dahulu, namun berbagai tantangan yang terjadi pada
masa sekarang mengakibatkan lemahnya karakter dan ideologi bangsa sehingga
adanya ketidaktemuan jati diri itu sendiri. Rasa nasionalisme, toleransi,
gotong royong dan cinta tanah air sulit kita temui saat ini karena keterbatasan
kesadaran kolektif yang dipicu sifat individualistis di kalangan menengah ke
atas.
Sebagaimana termaktub dalam UU No
27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 15 ayat 1 huruf e, dimana
ayat ini mengamanahkan kepada pimpinan MPR untuk mengoordinasikan
sosialisasi berbagai perubahan yang terjadi pada UUD NRI tahun 1945. Namun,
melihat semakin melunturnya nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme di tengah
masyarakat yang sangat menghkawatirkan, maka Pimpinan MPR akhirnya bersepakat
mengemas pelaksanaan sosialisasi tersebut menjadi sosialisasi 4 pilar meliputi
Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai reorientasi jati
diri bangsa.
I. Pancasila
Bentuk capaian demokrasi yang paling penting itu yang
dihasilkan oleh (founding fathers)
Indonesia, tiada lain adalah Pancasila. Pancasila simbol nilai secara majemuk
dijadikan landasan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ubae
Ubaidillah & Abdul Rozak memaparkan bahwa
Pancasila merupakan sebuah pandangan hidup Indonesia yang terbuka dan bersifat
dinamis. Sifat keterbukaan Pancasila dapat dilihat pada muatan Pancasila yang
merupakan perpaduan antara nilai-nilai keindonesiaan yang majemuk dan
nilai-nilai bersifat universal”. Nilai-nilai dasar universal dari Pancasila
tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalan permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat indonesia.
1.
Esensi Nilai dalam Pancasila
a) Esensi nilai dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa
Sila ini
mengandung makna bahwa setiap manusia Indonesia harus memiliki keyakinan atau
kepercayaan yang bersifat transendental artinya memiliki hubungan khusus antara
manusia dengan Tuhan. Dalam hal ini, manusia mengetahui segala nilai yang
bersumber dari Tuhan karena pada hakekatnya manusia diciptakan Tuhan agar
mereka mau beriman dan bertakwa kepada-Nya. Selain itu, Indonesia memiliki
pluralitas agama yang memiliki ciri khas masing-masing. Sila ini mencerminkan
bahwa adanya hubungan baik antar umat beragama agar tercipta kehidupan yang
damai.
b) Esensi nilai dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab
Nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti sifat atau ciri kodrat
manusia yang dapat dilihat dari hasil tindakan manusia secara manusiawi. Keseluruhan
perbuatan harus berdasarkan pada tindakan yang berperikemanusiaan. Maka dalam
konteks pendidikan selalu didasarka pada proses humanisasi yang berarti
memanusiakan manusia. Sehingga tindakan tersebut sesuai dengan hakekat manusia
yaitu kemanusiaan.
c) Esensi nilai dalam sila persatuan Indonesia
Nilai
persatuan Indonesia mengandung makna upaya bersatu yang dilakukan manusia
Indonesia dalam konteks kemajemukan sebagai pemersatu integritas bangsa.
Persatuan Indonesia dijadikan jaminan pengakuan dan penghargaan terhadap bentuk
realisasi yang sesungguhnya dalam menyelesaikan berbagai konflik yang ada.
d) Esensi nilai dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Nilai
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan mengandung makna bentuk demokrasi Indonesia
sesungguhnya yang mengusung pada suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga
perwakilan. Keberadaan negara di sini adalah tiada lain untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat dan menjadikan rakyat Indonesia sebagai rakyat yang
memiliki jiwa demokratis.
e) Esensi nilai dalam sila keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia
Nilai
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar
sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur
secara lahiriah ataupun batiniah. Bangsa yang adil adalah bangsa yang memiliki
penghargaan tertinggi bagi masyarakatnya tanpa harus adanya pembedaan secara
substansial.
Nilai-nilai Pancasila di atas menjadi tolak ukur yang
jelas dalam penjabaran ke dalam nilai instrumental. Nilai instrumental tersebut
adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai nilai dasar,
nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada
kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental
penyelenggaraan negara Indonesia.
II. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat tertuang tujuan negara adalah “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia” hal ini merupakan tujuan pokok Negara. Kemudian dirumuskan
“Memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa” hal ini merupakan tujuan Negara hokum
material, yang secara keseluruhan sebagai tujuan khusus atau nasional.
Adapun tujuan umum atau internasional adalah “ikut melaksanakan ketertiban Dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Perlu
adanya pencapaian tujuan tersebut secara spesifik yang nantinya akan
berpengaruh pada perilaku hukum masyarakat yaitu dengan adanya aturan-aturan
yang kemudian diataur dalam pasal-pasal, maka dalam kehidupan berbangsa dan
bernegera semestinya mentaati aturan yang sudah diundang-undangkan.
III. NKRI
Seperti yang kita ketahui bahwa syarat berdirinya
sebuah negara itu ada empat, yaitu adanya penduduk, adanya wilayah, adanya
pemerintahan dan adanya pengakuan dari negara lain. Atas dasar pemenuhan
persyaratan itulah kemudian Negara Indonesia lahir dengan nama Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). NKRI lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga
para pahlawan bangsa ketika prose kemerdekaan berlangsung dan mereka bertekad
mempertahankan keutuhan bangsa. Sebab itu, NKRI merupakan prinsip pokok, hukum,
dan harga mati yang harus dijunjung penuh hingga saat ini. NKRI hanya dapat
dipertahankan apabila pemerintahan adil, tegas, dan berwibawa. Dengan
pemerintahan yang adil, tegas, dan berwibawalah masalah dan konflik di
Indonesia dapat diselesaikan. “Demi NKRI, apa pun akan kita lakukan. NKRI
adalah hal pokok yang harus kita pertahankan.
IV.
Bhineka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah perekat semua rakyat dan
semua kepulauan yang ada di Indonesia. Semboyan ini dijadikan sebagai
alternatif kebijakan dalam memahami realitas multikultural yang bukan dijadikan
sebagai pemahaman kata-kata melainkan pemahaman yang mendalam karena betapa
besarnya makna yang terkandung di dalamnya. Bhineka Tunggal Ika merupakan frasa
yang berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat
“Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah
kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan
Majapahit sekitar abad ke-14 yang mengajakan toleransi antara umat Hindu Siwa
dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini
kemudian di terjemahkan ; “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang
berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Hal ini disebabkan
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal.” Terpecah belahlah itu, tetapi
satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Artinya, walapun
bangsa Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda baik dari suku, bahasa,
agama, budaya dan adat istiadat tetapi mereka adalah bangsa Indonesia. Namun,
saat ini Bhineka Tunggal Ikamulai tergerus oleh tindakan-tindakan perpecahan
yang mengakibatkan konflik berkepanjangan. Hal ini menjadi kekhawatiran bangsa
Indonesia pada tataran persatuan Indonesia yang mulai melemah.
Dari keempat pilar
kebangsaan di atas, perlu didukung oleh reorientasi yang jelas sehingga
pemaknaannya tidak dijadikan salah kaprah oleh semua pihak. Penulis berasumsi
bahwa pemahaman yang utuh adalah pemahaman yang didukung atas pemahaman bersama
tanpa mengindahkan “value” di
dalamnya. Sehingga pemahaman tersebut menjadi reaktif yang jelas dan diharapkan
nantinya mampu menjadi respon yang positif dengan tindakan yang nyata. Maka, reorientasi
sebenarnya dimana kita melihat proses penemuan jati diri itu sendiri yang
nantinya menentukan tujuan kita. Kita tak perlu mencari banyak penemuan
kesalahan di masa lalu sehingga menjadi sasaran yang tak pernah bisa lagi
dielakan. Namun, hal yang perlu dijadikan pemahan di sini bahwa kesalahan masa
lalu tidak perlu diulang kembali dan mulaliah mencari titik temu solusi dari
setiap kesalahan tersebut. Proses berpikir panjang yang sulit kita temukan pada
masyarakat Indonesia saat ini seharusnya digalakan kembali guna masa depan yang
dinanti.
Reorientasi pertama adalah proses penemuan jati
diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
sesuai dengan apa yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Proses penemuan jati diri dilakukan oleh setiap
individu yang nantinya berkembang ke arah kesadaran kolektif. Hal ini bertujuan
sebagai perwujudan yang jelas dan mengarah pada tindakan yang sesuai dengan
jati diri sebenarnya.
Reorientasi kedua adalah pemetaan posisi Indonesia
di zaman globalisasi dimana kecenderungan masyarakat Indonesia yang senantiasa
hidup konsumtif harus lebih diwaspadai. Teknologi tanpa batas dan pengetahuan
yang semakin tinggi semakin membodohkan orang lain. Realita tersebut tak bisa
dipungkiri lagi terlebih manusia saat ini mampu menelan manusia lainnya dalam
hal kepentingan politik. Sehingga dalam membangun kembali Indonesia dilakukan
pemetaan secara proporsional sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana
keberfungsian dirinya di mata orang lain, masyarakat, agama, serta kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Reorientasi ketiga adalah pengokohan kembali
empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal
Ika yang sudah menjadi acuan kehidupan masyarakat Indonesia sedari dulu dengan
semangat kesatuan dan kebangsaan yang diharapkan semakin melekat. 4 Pilar
kebangsaan tersebut diwujudkan sebagai alat persatu bangsa dan instrumen yang
efektif dalam penuntasan segala konflik yang terjadi saat ini.
Bangsa Indonesia masih
memiliki modal sosial yang mampu dikembangkan kembali yaitu rasa kebangsaan,
rasa kebersamaan, kesetiakawanan sosial dan gotong royong. Tradisi tersebut
tidak hilang namun tetap ada di dalam hati kita sebagai pemaknaannya harus
direlisasikan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Masalah itu
tidak perlu ditunda karena waktu akan memakan setiap permasalahan dengan solusi
yang tidak efektif. Permasalahan itu harus dikemas dengan tindakan yang tidak
terburu-buru serta solusi bersama yang hasilnya dapat dirasakan bersama pula
sebagi perwujudan bangsa yang berkarakter dan memiliki visi dan misi yang
jelas.
Kesimpulan
1.
Reformasi telah dijalani rakyat Indonesia lebih dari satu
dasawarsa terakhir, namun
semakin hari wajah bangsa makin nampak suram. Reformasi yang dijalankan tidak pernah
menyentuh akar permasalahan yang kita hadapi saat ini, yakni persoalan korupsi
yang semakin merajalela, kelemahan penegakan hukum, pembangunan sistem yang tak
seimbang disertai terkikisnya konstitusionalisme ditandai dengan berbagai
penyimpangan sosial .
2. Ada
beberapa hal permasalahan konstitusionalisme yang dapat
dirumuskan sebagai akar permasalahan yang perlu pemecahan segera, yaitu: (1) Pemahaman
dan pengaplikasian konstitusi seringkali dirasa kurang nampak pada masyarakat
Indonesia karena belum adanya kesadaran individu yang melingkupi kesadaran
kolektif; (2) Konstitusi seringkali berbenturan dengan peraturan-peraturan
perundang lainnya sehingga ada undang-undang yang dipersoalkan
konstitusionalitasnya perlu dilakukan pengujian kembali (judicial review) oleh Mahkamah Konstitusi; (3) Kualitas
Undang-Undang yang dihasilkan DPR kurang memadai sehingga kurang nampak kebermanfaatannya
secara langsung bagi kehidupan masyarakat Indonesia dan kurang adanya
transparansi terhadap proses pembahasan yang dijalankan DPR dalam pengajuan RUU
sehingga memberi kesan sempit pada masyarakat Indonesia; (4) Adanya
keterlibatan kepentingan politik segelintir orang yang mempengaruhi
kecenderungan dalam proses penegakan hukum sehingga menimbulkan keganjalan
publik terutama kekecewaan masyarakat terhadap supremasi hukum di Indonesia.
3. Sebagaimana termaktub dalam UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD pasal 15 ayat 1 huruf e, dimana ayat ini mengamanahkan
kepada pimpinan MPR untuk mengoordinasikan sosialisasi berbagai perubahan yang
terjadi pada UUD NRI Tahun 1945. Namun, melihat semakin melunturnya nilai-nilai
kebangsaan dan nasionalisme di tengah masyarakat yang sangat menghkawatirkan,
maka Pimpinan MPR akhirnya bersepakat mengemas pelaksanaan sosialisasi tersebut
menjadi sosialisasi 4 pilar meliputi Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika sebagai reorientasi jati diri bangsa.
4. Reorientasi sebenarnya dimana kita melihat proses penemuan jati diri itu
sendiri yang nantinya menentukan tujuan kita. Reorientasi pertama adalah proses penemuan jati diri sebagai bangsa
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai dengan apa
yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Reorientasi kedua adalah
pemetaan posisi Indonesia di zaman globalisasi dimana kecenderungan masyarakat
Indonesia yang senantiasa hidup konsumtif harus lebih diwaspadai. Reorientasi ketiga adalah pengokohan
kembali empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika yang sudah menjadi acuan kehidupan masyarakat Indonesia sedari dulu
dengan semangat kesatuan dan kebangsaan yang diharapkan semakin melekat.
Daftar Pustaka
Budimansyah,
D & Karim Suryadi. PKn dan Masyarakat
Multikultural. Bandung: Program Studi PKn Sekolah Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Mahfud.
(2009). Konstitusi dan Hukum dan
Kontroversi Isu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muchtar, S
.(2006). Pendidikan Nilai Moral dalam
Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan
Kewarganegaraan FPIPS UPI.
Notonagoro.
(1994). Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta:
Bumi Aksara.
Sumodiningrat,
G. (2005). Membangun Indonesia Emas:
Model Pengembangan Indonesia Baru menuju negara bangsa-bangsa yang unggul dalam
Persaingan Global. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Ubaedillah
& Abdul Rozak. (2010). Pendidikan
Kewargaan (Civic Education)-Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.