Sebagai produk yang lahir
dari rahim peradaban Islam, Piagam Madinah diakui sebagai bentuk perjanjian dan
kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan
berkeadaban. Di mata para sejarahwan dan sosiolog ternama Barat, Robert N.
Bellah, Piagam Madinah yang disusun Rasulullah itu dinilai sebagai konstitusi
termodern di zamannya, atau konstitusi pertama di dunia. Piagam ini berisi 47
pasal dan terdiri dari X Bab Pasal diantaranya; Bab I tentang Pembentukan Umat
(pasal 1); Bab II tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 2-10); Bab III tentang
Persatuan Seagama (pasal 11-15); Bab IV tentang Persatuan Segenap Warga Negara
(Pasal 16-23); Bab V tentang Golongan Minoritas (Pasal 24-35); Bab VI tentang
Tugas Warga Negara (Pasal 36-38); Bab VII tentang Melindungi Negara (Pasal
39-41); Bab VIII tentang Pemimpin Negara (Pasal 42-44); Bab IX tentang Politik
Perdamaian (Pasal 45-46); Bab X tentang Penutup (Pasal 47).
Piagam Madinah sering
dianggap sebagai dasar dari pembentukan negara Islam pertama di Madinah. Dan
Nabi Muhammad dipercayai sebagai peletak dasar negara itu. Isi perjanjian ini,
di antaranya, bahwa seluruh penduduk Madinah, apa pun agama dan sukunya, adalah
ummah wahidah (a single community) atau umat yang tunggal. Karena itu, mereka semua
harus saling membantu dan melindungi, serta mereka semua berhak menjalankan
agama yang dipeluknya masing-masing.
Hal inilah yang menarik,
sehingga para pakar sejarah dan ilmuwan sangat tertarik terhadap permasalahan
ini. Karena lahirnya sebuah negara yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan,
persamaan hak dan kebebasan kepada rakyatnya belum pernah terjadi di seantero
jagad raya ini, terlebih di kawasan Arab. Bahkan Robert N. Bellah dalam bukunya
Beyond Belief menyebut masyarakat Madinah sebagai masyarakat yang sangat
demokratis pada masanya.
Penting untuk diingat,
bahwa nilai-nilai kemanusiaan universal yang terkandung dalam Piagam Madinah
sangat jauh lebih tua dibandingkan isu HAM yang dijual oleh PBB yang
tercermin dalam The Universal Declaration of Human Right pada Desember 1948.
Dalam hal ini, keduanya terdapat kesamaan konsepsi mengenai setiap nilai-nilai
kemanusiaan, perlindungan hukum, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat,
perdamaian dalam politik dan kesejahteraan umat. Dua hal yang tak dapat
dipisahkan karena keduanya menjamin kelangsungan hidup umat manusia.
Dalam Piagam Madinah
menceritakan sewaktu Rasulullah SAW memimpin negara Madinah, beliau
memperlakukan semua warga negara Madinah tanpa diskriminasi, termasuk mereka
berbeda agama tapi ingin hidup damai (dzimmi). Prinsip persamaan yang
dipraktikkan Nabi Muhammad sejalan dengan isi Piagam Madinah dan yang termaktub
dalam Piagam HAM (Declaration of Human Right). Dalam piagam yang disusun oleh Nabi
Muhammad SAW tersebut diakui adanya perbedaan latar belakang agama penduduk
Madinah. Tetapi Nabi memperlakukan hak yang sama sebagai bagian dari umat
manusia.
Selain itu, dalam membangun
Negara Madinah Rasulullah SAW juga membangun terwujudnya hubungan yang harmonis
antara warga Muslim dengan non-Muslim. Meskipun berbeda agama dan keyakinan,
tetapi mereka sebagai warga negara yang sama memiliki hak yang sama pula,
terutama yang berkaitan dengan perlindungan dan keamanan jiwa (hak untuk
hidup), membela diri, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan perlakuan
yang sama di depan hukum dan perundang-undangan.
Dalam aspek
sosial-ekonomi, Muhammad SAW juga berusaha mewujudkan keadilan sosial dan
kesejahteraan sosial masyarakat. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengelola
zakat dari kaum Muslim, ghanimah, jizyah dari kaum non Muslim.
Dalam iklim sosial politik
dewasa ini, di mana setiap muslim hidup dan berada di berbagai negara dan
bangsa, prinsip persamaan dan persaudaraan serta membangun hubungan yang
harmonis dengan umat atau bangsa lain sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah
saw dalam memimpin Negara Madinah sangat signifikan untuk dipegang dan
dipraktikkan terutama dalam membentuk sebuah komunitas bangsa agar perdamaian
dan hubungan harmonis antarwarga negara bisa tercipta. wallahu a’lamu bis sahwab.
Islam
pun mengajarkan kepada umatnya untuk menghargai kehidupan. ''Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS:
Al-Maaidah ayat 32).
Begitu
pun bila dijelaskan dalam subjek pasal terdapat beberapa pasal yang memiliki
kesamaan materi dan pemahaman seperti pada Piagam Madinah terdiri dari : Pasal 2, Pasal 13,
Pasal 16, Pasal 20, Pasal 23, Pasal 25, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, dan Pasal
42. Sedangkan dalam Piagam HAM yang memiliki kesamaan terdapat pada Pasal 1,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 19,
Pasal 18, Pasal 21.
Alquran
dan Sunnah yang menjadi sumber dan pegangan hidup umat Islam mengajarkan untuk
menghormati HAM dan memuliakan sesama manusia. Sebagai agama damai, Islam
memang diturunkan Allah SWT sebagai rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil
alamin). Semua manusia di mata Islam ada sama dan sederajat. Tak seorang pun
bisa menafikan bahwa pedoman Islam adalah sesuai dengan prinsip-prinsip Hak
Azasi Manusia (HAM).
Penerapan
Deklarasi Universal HAM yang dicetuskan PBB pada 10 Desember 1948 memang
mengundang pro-kontra di kalangan umat Islam. Sebenarnya, tak hanya kalangan
Islam yang mempermasalahkan penerapan Deklarasi Universal HAM PBB. Kung dan
Moltmann dalam The Ethics of World Religions and Human Rights (1990) menulis
bahwa hampir semua agama besar di dunia memiliki masalah dalam mewujudkan
pasal-pasal hak asasi yang tercantum dalam Deklarasi HAM.
Perdebatan
semacam itu tentu tak akan pernah usai. Yang jelas, kini umat Islam telah memiliki
konsep HAM dengan framework Islami. Masyarakat Muslim telah memiliki dua
deklarasi HAM yang dilandaskan pada Alquran dan Sunnah. Keduanya antara lain,
Universal Islamic Declaration of Human Right (UIDHR) 1981 dan Cairo Declaration
of Human Right in Islam (CDHRI-1990).
Deklarasi
Universal HAM Islam itu disusun para sarjana, alim ulama dan pakar hukum Islam
terkemuka. Dalam kata pengantaranya, UIDHR-1981 menyatakan, Islam memberi
manusia suatu hak asasi manusia yang sempurna sejak empat belas abad terdahulu.
Hak-hak yang dianugerahkan kepada manusia dengan kedatangan Islam bertujuan
untuk meningkatkan kemulian dan harga diri manusia, membasmi ekspolitasi,
penindasan serta ketidakadilan.
UIDHR
juga mengaskan, HAM dalam Islam adalah berlandaskan kepada kepercayaan kepada
Allah SWT. Hanya Allah SWT saja sumber segala HAM. Oleh karenanya, HAM adalah
anugerah Allah SWT. Tak ada satu pemerintahan, pihak berkuasa atau kerajaan
yang berhak mencabut dan mengurangi HAM.
UIDHR
mengatur ada 23 HAM yang diberikan Sang Khalik kepada manusia. Ke-23 hak itu
antara lain, hak Kehidupan; hak Kebebasan ; hak kesamaan dan larangan terhadap
diskriminasi yang tak dibenarkan; hak keadilan; hak pembicaraan yang adil serta
hak perlindungan dari penyalahgunaan kekuasaan.
Selain
itu, UIDHR juga mengakui adanya hak atas perlindungan terhadap hukuman, hak
perlindungan peghormatan dan reputasi, hak terhadap tempat perlindungan, hak
kaum minoritas, hak dan kewajiban terhadap penyertaan di dalam perilaku; hak
kebebasan kepercayaan, pemikiran dan ucapan, hak kebebasan beragama, hak
kebebasan berserikat, hak urusan ekonomi dan hak-hak berkaitan lainnya.
UIDHR
juga mengatur adanya hak perlindungan kepemilikan, hak martabat dan marwah para
pekerja, hak jaminan sosial, hak mendirikan keluarga dan perkara yang
berkaitannya, hak wanita untuk menikah, hak pendidikan, hak privasi, dan
kebebasan bergerak.
Sementara
itu, CDHRI yang lahir di Kairo, usai persidangan OKI ke-19 pada Agustus 1990,
juga mengatur 25 hal yang berkaitan dengan HAM dalam Islam. Beberapa hal itu
antara lain, pengakuan bahwa manusia adalah satu keluarga sehingga tidak boleh
ada bentuk diskriminasi. Selain itu, juga pengakuan akan hak kehidupan, jaminan
nama baik, pembententukan keluarga, dan hak kesederajatan pria dan wanita.