- Deskripsi Buku
Judul
Buku : “Runtuhnya Teori Pembangunan
dan Globalisasi”
Penulis : DR. Mansour Fakih
Penerbit : INSIST PRESS Bekerjasama dengan
PUSTAKA PELAJAR
Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167
Telp.
(0274) 381542. Fax. (0274) 383083
Cetakan : Cetakan I, April 2001 Judul “Sesat
Pikir Teori Pembangunan dan
Globalisasi”
Cetakan I, Mei 2002 “Edisi Revisi”
Cetakan IV, September 2006
Cetakan V, Januari 2008
Tebal
Buku : 15 x 21 cm, xv+232 Hlm
- Resensi Buku
Secara
garis besar buku ini terbagi ke dalam enam bagian. Bagian pertama merupakan
pendahuluan. Dalam bagian ini dikupas mengenai latar belakang dan tujuan
penyusunan buku ini. Setelah itu juga dibahas mengenai posisi dan alasan
penulis dalam menggunakan istilah teori pembangunan maupun teori perubahan
sosial beserta implikasi dari penggunaan kedua istilah tersebut. Selanjutnya
bagian kedua, memuat pembahasan mengenai bagaimana dan apa yang mempengaruhi
sebuah teori. Dalam bagian ini pembahasan difokuskan pada pembentuk dan
memahami teori perubahan sosial dan pembangunan, pengertian dari paradigma,
paradigma ilmu sosial menurut Habermas, paradigma perspektif Freire beserta
paradigma-paradigma sosiologi lainnya.
Bagian
ketiga mengupas paradigma dan teori perubahan sosial dominan, yakni yang
berlandaskan kapitalisme dan positivisme. Dalam bagian ini dibahas secara lebih
rinci paradigma perubahan sosial model kapitalisme. Selanjutnya, masuk ke dalam
bahasan teori perubahan sosial, mainstreem ini adalah teori modernisasi dan
teori pembangunan pertumbuhan model Rostow dan para pengikutnya. Secara lebih
rinci selanjutnya diuraikan berbagai teori pendukung modernisasi dan
pertumbuhan lainnya serta kritik terhadap teori ini. Bagian keempat ini
membahas teori kritik dalam perubahan sosial dan pembangunan. Termasuk dalam
bagian teori kritik ini adalah pembahasan sekitar paradigma dan teori perubahan
sosial Marxisme, serta teori perubahan sosial sosialisme. Selanjutnya dalam
bagian ini juga dibahas teori ketergantungan atau dependensia yang merupakan
teori kritik terhadap modernisasi dan pembangunan. Sengaja dalam bagian ini
juga dimasukkan secara terpisah dari teori dependensia yakni teori sistem
ekonomi kapitalis dunia.
Bagian
kelima membahas refleksi penulis terhadap beberapa teori yang dapat
dikategorikan sebagai teori-teori perubahan sosial alternatif. Pertama yang
dibahas dalam teori perubahan sosial alternatif ini adalah teori feminimisme
dalam perubahan sosial. Secara lebih rinci dibahas berbagai pandangan feminis
tentang pembangunan, termasuk feminisme liberal, feminimisme yang lain seperti
seperti Eko feminisme dan feminisme yang menggunakan analisis gender. Teori
kedua yang dianggap sebagai teori perubahan sosial alternatif yang dibahas
dalam bagian ini adalah paham sosial dari teologi pembebasan atau liberasi.
Teori terakhir yang dimasukkan dalam bagian ini adalah paham anti pembangunan
yakni analisis sosial dekonstruksi terhadap developmentalisme.
Bagian
keenam membahas akhir sejarah perjalanan teori pembangunganyang mengambil
bentuk dalam teori pertumbuhan cepat (rapid growth development). Dengan
demikian, bab ini membahas krisis pembangunisme dan mulainya era globalisasi.
Bab ini akan membahas lebih rinci refleksi penulis terhadap berbagai perdebatan
mengenai globalisasi dan berbagai skenario teoritis mengenai formasi sosial
globalisasi dan implikasinya terhadap praktik perubahan sosial dan
ancaman-ancamannya bagi masyarakat.
Bagian
terakhir dari buku ini merupakan refleksi dan kesimpulan. Pada bagian ini
dibahas refleksi terhadap perjalanan teori perubahan sosial hingga berakhirnya
era developmentalisme. Setelah itu dibahas beberapa kemungkinan lahirnya teori
pasca pembangunan. Kemungkinan pertama
adalah lahirnya teori campuran atau konvergensi perubahan sosial, yakni
perkawinan dan jalan keluar antara teori modernisasi dengan memperhitungkan
kritik dari teori dependensi. Kemungkinan lain adalah lahirnya teori perubahan
sosial yang lahir dari inspirasi paham posmodernisme sebagai sebuah jalan
keluar dari pertikaian kedua aliran modernisasi dan dependensia. Buku ini
dilengkapi dengan daftar bacaan sekitar teori perubahan sosial dan pembangunan.
- Analisis Buku
Melihat
realitas yang terjadi sudah lama dapat kita rasakan adanya jurang yang
memisahkan antara dunia teoritis dan kalangan akademisi yang membicarakan teori
perubahan sosial maupun paradigma pembangunan dan dunia para praktisi perubahan
sosial untuk keadilan sosial (social justice) yang bekerja di dalam berbagai
aksi maupun proyek perubahan sosial bersama kelompok-kelompok marjinal seperti
kaum buruh, para petani dan nelayan, perempuan miskin di pedesaan maupun anak
jalanan serta masyarakat adat di berbagai daerah. Terdorong oleh keinginan
untuk menjembatani dialog antara teori dan praktik perubahan sosial di akar
rumput, maka suatu refleksi kritis ini disistematikkan dan dinarasikan sebagai
bahan yang memfasilitasi terjadinya perenungan dan pembangkitan kesadaran
kritis para teoritisi maupun praktisi lapangan. Sebagai suatu refleksi, buku
ini tidak hanya berpretensi menjadi acuan teoritik mengenai teori perubahan
sosial. Buku ini ditulis karena didorong oleh keinginan untuk membuka ruang
dialog kritik ideologi terhadap proses dan teori perubahan sosial, bukan
ditulis dari hasil studi akademik dari kalangan universitas, melainkan lebih
banyak reflekasi dan aksi dan dialog yang panjang dari bahan bacaan yang
diperoleh secara tidak sistematik maupun hasil refleksi dari keterlibatan
dengan berbagai program bersama rakyat di akar rumput di dunia selatan.
Meskipun
demikian, buku ini memang tidak dimaksud untuk memberikan uraian teoritik
tentang teori perubahan sosial dan pembangunan. Akan tetapi, lebih didasarkan
pada refleksi terhadap pengalaman dan pengamatan penulis serta sejumlah aktivis
ornop (Organisasi Non Pemerintah) di Indonesia, untuk merefleksikan kaitan
teori-teori perubahan sosial dan praktik lapangan program-program pemberdayaan
masyarakat serta dorongan untuk menghentikan kecenderungan ketimpangan dalam
dunia teori sosial dalam pengertian semakin kuatnya monopoli informasi dan
pengetahuan oleh kalangan akademisi elitis, yakni mereka yang mempunyai
kesempatan luas untuk membaca, membahas dan mendiskusiakn paradigma dan
berbagai teori pembangunan di dalam lingkungan universitas, sementara mereka
yang bekerja di masyarakat, yakni aktivis ornop dan organisasi sosial
kemasyarakatan yang terjun ke masyarakat untuk melakukan aksi sosial, tetapi
tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari berbagai teori tersebut di universitas.
Dengan demikian, buku ini ditulis dengan keinginan ganda. Selain menyediakan
bahan bacaan untuk khalayak umum dan aktivis lapangan tentang paradigma dan
teori pembangunan juga didorong oleh suatu semangat untuk merobohkan anggapan
bahwa urusan ideologi, paradigma dan teori perubahan sosial hanya patut dan
khusus dibaca, dipahami, dan dikontrol oleh kalangan akademisi dan birokrasi
dan tabu untuk dibaca oleh kalangan masyarakat biasa. Dengan kata lain, buku
ini melakukan demistifikasi terhadap bahan kajian ilmiah untuk menjembatani
jarak antara para aktivis lapangan dan berbagai paradigma dan teori ilmu sosial
di universitas.
Selain
itu, semangat penulisan buku ini juga didorong oleh adanya gejala timbulnya
kerancuan teoritik dan paradigmatik dari banyak aktivis lapangan. Yang
dimaksudkan dengan kerancuan teoritik ini adalah persoalan yang dihadapi oleh
mereka yang bekerja untuk melakukan perubahan sosial di lapangan, yakni para
pekerja sosial masyarakat baik kalangan aktivis lapangan ornop maupin tokoh keagamaan,
yang tanpa disadari telah menggunakan dasar teoritik dan visi ideologis
mengenai suatu perubahan sosial yang menjadi landasan dan aktivitas praktis
sehari-hari, tetapi sesungguhnya hakekat teori yang sedang dipraktikkannya
tersebut secara teoritik bertolak belakang dengan tujuan yang mereka
cita-citakan. Dengan demikian, tuntutan akan perlunya pemahaman mengenai
paradigma dan berbagai teori perubahan sosial yang mereka jadikan pijakan untuk
mengidentifikasi, memahami dan menangani masalah-masalah kemasyarakatan semakin
meningkat. Lemahnya visi ideologi dan teori mengenai perubahan sosial ini juga
mempengaruhi metodologi yang diterapkan, seperti bagaimana banyak organisasi
sosial menempatkan masyarakat sebagai objek, padahal sementara itu bercita-cita
melakukan pemberdayaan masyarakat. Demikian halnya dalam merencanakan, menyusun
dan menetapkan program pengembangan masyarakat, maupun dalam mengevaluasi
kegiatan tersebut. Kegiatannya banyak mencerminkan anti-pemberdayaan
masyarakat. Ketidakjelasan visi dan teori ini tidak saja telah melahirkan
inkonsistensi anatar cita-cita dan teori yang digunakan, tetapi juga telah
berakibat menghambat peran atau partisipasi masyarakat dalam perubahan sosial,
yakni peranan masyarakat sipil (civil society) sebagai pelaku sejarah utama
dalam upaya demokratisasi ekonomi, politik, budaya, gender serta aspek sosial
lainnya.
Gejala
keracuan teoritik ini terlihat dalam bagaimana para aktivis ornop di lapangan
mendefinisikan masalah kemasyarakatan dan memandang teori “mainstree” perubahan
sosial pembangunan dewasa ini. Namun demikian, sesuangguhnya di kalangan
aktivis ornop telah timbul kesadaran akan perlunya secara kritis mempertanyakan
kembali paradigma, teori, serta implikasinya terhadap metodologi dan teknik
lapangan. Kegairahan di kalangan aktivis ornop untuk memahami berbagai teori
politik ekonomi dan perubahan sosial dalam pendidikan politik dan advokasi
mendorong penulis untuk segera merampungkan buku teori perubahan sosial ini.
Namun
demikian, secara garis besar motivasi utama penyusunan buku ini didorong untuk
memenuhi kebutuhan bacaan teoritis dan memfasilitasi perdebatan teoritik bagi
mereka yang bekerja di lapangan. Secara umum buku ini merupakan pengkajian
teoritis dan mendasar, membahas kerangka ideologi, paradigma dan teori tentang
perubahan sosial, yang diharapkan mampu memacu pembaca untuk merefleksikan
kegiatan lapangan mereka dengan berbagai ideologi dan aliran teori perubahan
sosial. Selain itu, buku ini juga merupak refleksi kritik terhadap posisi
teoritik berbagai teori yang dominan tentang perubahan sosial dan pembangunan.
Kritik ini diharapkan akan memberikan bekal teoritik bagi pembaca, khususnya
yang terlibat dalam proses perubahan sosial dan yang sedang memikirkan
paradigma alternatif perubahan sosial. Terakhir, secara khusus buku ini
disajikan bagi aktivis lapangan untuk mendorong mereka melakukan refleksi dan
dialog tentang berbagai teori perubahan sosial sebagai bagian dari aktivitas
lapangan sehari-hari.
Seperti
telah diuraikan pengkajian buku ini dalam manfaat dan kandungan isi buku, namun
ada pula beberapa kelemahan dari buku ini yaitu dalam penutup buku tidak
dijelaskan solusinya secara komperehensif, walaupun telah dijelaskan penerapan
implikasinya di masyarakat namun belum secara menyeluruh mendeskripsikan
kasus-kasus yang terjadi di Indonesia mayoritas dihubungkan dengan negara lain.
Manfaat Refleksi Teoritik
bagi Praktisi
Maksud
terutama penyusunan buku ini adalah dalam rangka memfasilitasi para praktisi
untuk melakukan refleksi terhadap aksi yang selama ini mereka lakukan di
tingkat akar rumput. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seorang aktivis
lapangan atau praktisi perubahan sosial dalam memperjuangkan “social justice”,
politik dan ekonomi yang demokratis serta pengembangan masyarakat menuju
masyarakat adil sejahtera sangat membutuhkan teori sebagai acuan, refleksi,
maupun motivasi. Tugas utama suatu teori sosial pada dasarnya tidak sekedar
memberi makna terhadap suatu realitas sosial sehingga memungkinkan lahirnya
kesadaran dan pemahaman terhadap suatu realitas sosial. Akan tetapi, teori
sosila juga bertugas untuk “mengubah realitas sosial” yang dianggapnya
bermasalah dan tidak adil sehingga sampai sekarang masalah tersebut masih
diperdebatkan. Namun, tanpa disadari setap pekerja dan aktivis sosial seperti
guru, aktivis ornop, wartawan dan pemimpin agama terlibat dalam pertarungan
teoritis secara nyata. Pertarungan tersebut berupa penerapan teori dalam
kegiatan mereka sehari-hari dan tanpa disadari teori sosial juga memiliki
dimensi penerapan. Dengan demikian, penulis berpendirian bahwa tugas ilmu
sosial tidak sekedar mencoba memahami suatu realitas sosial, tetapi juga
mengubahnya.
Berbagai
teori sosial, ekonomi, politik dan budaya lahir tidak saja dalam rangka
pertarungan memberi makna terhadap suatu realitas sosial, tetapi juga
berimplikasi pada perubahan sosial karena pada dasarnya perubahan sosial
dibangun diatas pemahaman teoritik dan suatu teori sangat berpengaruh dalam
membentuk suatu program aksi lapangan. Meskipun pada realitas sosial yang sama,
dua teori selalu memberi makna berbeda atau bahkan bertolak belakang dan
akibatnya akan membawa perubahan sosial secara berbeda pula. Misalnya saja
dalam melihat hubungan “buruh-majikan” satu teori melihatnya sebagai hubungan
saling menguntungkan, tetapi teori lain justru menganggapnya sebagai hubungan
eksploitasi. Atas asumsi teoritik ini, bagaimana suatu perubahan hubungan masa
depan antara buruh dan majikan akan diproyeksikan. “Rekayasa sosial” yang oleh
satu teori dianggap sebagai keharusan pendekatan, tetapi oleh satu teori lain
justru dianggap sebagai suatu bentuk dominasi dan penindasan dari ilmuwan
sosial terhadap masyarakat. Dengan demikian, teori sosial membantu aktivis
lapangan ataupun pekerja sosial untuk menyadari apa yang mereka lakukan serta
kemana dan model apa suatu perubahan sosial akan dituju. Tanpa pemahaman akan
teori ilmu sosial, dalam menjalankan program sosial ekonomi di masyarakat,
seorang aktivis tidak saja bekerja tanpa visi dan orientasi tetapi juga bisa
melakukan kegiatan yang sesungguhnya bertentangan dengan keyakinannya. Seorang
aktivis sosial akan selalu dihadapkan pilihan untuk memihak antara status quo
dan perubahan; antara pertumbuhan dn keadilan; antara sosial dan partisipasi,
antara tirani dan demokrasi dan seterusnya. Dalam kaitan itulah teori sosial
sangat membantu memahami relasi sosial sevara kritis.
Dalam
praktik lapangan, dewasa ini terdapat dua paham teori sosial yang kontradiktif
yang melibatkan setiap pekerja sosial, yakni antara teori-teori sosial yang
digolongkan pada “teori sosial regulasi”
berhadapan dengan teori-teori sosial emansipasitori atau juga dikenal dengan
kritis. Teori sosial regulasi yang bersemboyan bahwa ilmu sosial harus mengabsi
pada stabilitas, pertumbuhan dan pembangunan, bersifat objektif serta secara
politik netral dan bebas nilai. Dalam pandangan ini teori sosial dikontrol oleh
teorisi sedangkan masyarakat dilihat hanya sebagai obyek pembangunan mereka.
Pandangan teori sosial ini berhasil memunculkan kaidah “rekayasa sosial” yang menempatkan masyarakat sebagai obyek para
ahli, direncanakan, diarahkan dan dibina untuk berpartisipasi menurut selera
yang mengontrol. Teori sosial telah menciptakan birokrasinya: dimana teoretisi
memiliki otoritas kebenaran untuk mengarahkan praktisi dan masyarakat hanya
diletakkan sebagai pekerja sosial tanpa kesadaran ideologis dan teoritis secara
kritis.
Sementara
itu, bagi aliran kritis tugas ilmu sosial justru melakukan penyadaran kritis
masyarakat terhadapa sistem dan struktur sosial “dehumanisasi” yang membunuh
kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagai upaya “counter hegemony”. Proses dehumanisasi tersebut terselenggara
melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan maupun melalui cara
penjinakkan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik.
Artinya, kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah
dikenali. Kemiskinan struktural misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk
kekerasan yang memerlukan analisis untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan sebagian
besar terselenggara melalui proses hegemoni, yakni cara pandang, cara berfikir,
ideologi, kebudayaan bahkan “selera”
golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang
didominasi. Dengan begitu kegiatan sosial bukanlah area netral dan apolitik.
Kegiatan sosial tidaklah berada dalam ruang dan masa steril, tetapi merupakan
kegiatan politik menghadapi sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.
Bagi
paham kritis, dalam dunia yang secara struktural tidak adil, ilmu sosial yang
bertindak tidak memihak, netral, objektif serta berjarak atau detachment adalah suatu bentuk sikap
ketidakadilan tersendiri atau paling tidak ikut melanggengkan ketidakadilan.
Paham ini menolak objektivitas dan netralitas ilmu sosial dengan menegaskan
bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak mungkin pernah netral. Oleh karena
itu, teori sosial haruslah subjektif, memihak dan penuh atau sarat dengan
nilai-nilai demi kepentingan politik dan ekonomi golongan tertentu. Teori
ilmu-ilmu sosial, termasuk juga paham kebudayaan dan pandangan keagamaan dalam
paradigma kritis ini selalu memihak dan mengabdi semi kepentingan tertentu.
Masalahnya, kepada golongan yang mana suatu teori sosial harus mengabdi. Itulah
makanya dalam pandangan ini teori sosial dan praktik pengabdian masyarakat yang
netral dan objektif, sementara masyarakat berada pada satu sistem dan
struktural sosial yang tidak adil dan dalam proses “dehumanisasi”, ilmuwan dan pekerja sosial dianggap menjadi tak
bermoral karena ikut melanggengkan ketidakadilan.
Sesungguhnya
sudah cukup lama diperdebatkan mengenai masalah objektivitas, hakikat dan tugas
ilmu sosial. Apakah teori sosial dan aktivis sosial harus netral, tidak
memihak, ataukah harus mengabdi demi kepentingan tertentu seperti golongan
lemah. Namun, dalam perspektif teori sosial kritis, golongan lemah dan
tertindas, tetapi lebih mendasar daripada itu, teori sosial haruslah berperan
dalam proses pembangkitan kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang
menindas, terhadap sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Teori sosial
harus mengabdi pada proses transformasi sosial yakni terciptanya hubungan
(struktur) yang baru san lebih baik. Dengan kata lain, dalam perspektif teori
sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar memihak kepada yang tertindas dan
yang termarjinalisasi belaka, tetapi lebih berusaha menciptakan ruang yang akan
menumbuhkan kesadaran, baik bagi golongan penindas dan yang tertindas untuk
menyadari bahwa mereka telah berada dalam sistem sosial yang tidak adil. Teori
sosial harus membangkitkan kesadaran kritis baik bagi yang mendominasi maupun
yang didominasi, untuk perubahan menuju terciptanya suatu hubungan (struktur)
dan sistem sosial yang secara mendasar lebih baik, yakni suatu sistem
masyarakat tanpa eksploitasi, tanpa penindasan, tanpa diskriminasi dan tanpa
kekerasan. Dengan demikian, tugas teori sosial adalah memanusiakan kembali
manusia yang telah lama mengalami dehumanisasi, baik yang tertindas maupun yang
ditindas.