A. Pengertian Peradilan Militer
Peradilan
militer merupakan peradilan khusus, kekhususan disini terletak kepada subjek
hukum yaitu militer. Militer dianggap sebagai komunitas khusus karena terkait
pada disiplin dan moril yang prima agar selalu siap untuk dikerahkan dalam
setiap penugasan. Menurut Moch. Faishal Salam, dalam bukunya berjudul “Hukum Acara Pidana Militer
di Indonesia”, menegaskan sebagai berikut:
“Walaupun sebagai Warga Negara Republik
Indonesia tentara bukan merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota tentara
adalah juga sebagai anggota masyarakat biasa, tetapi karena adanya beban
kewajiban Angkatan Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan
negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih berdisiplin
dalam organisasinya, sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk
mencapai atau melaksanakan tujuan tugasnya yang pokok, untuk itu diperlukan
suatu hukum yang khusus dan peradilan yang tersendiri yang terpisah dari
peradilan umum”.
Menurut
Soegiri ada beberapa alasan mengapa perlu dibentuk peradilan militer yang
berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum, yaitu:
1. Adanya
tugas pokok yang berat untuk melindungi, membela, dan mempertahankan integritas
serta kedaulatan bangsa dan negara jika perlu dilakukan dengan kekuatan senjata
dan cara berperang.
2. Diperlukannya
organisasi yang istimewa dan pemeliharaan serta pendidikan yang khusus
berkenaan dengan tugas pokok mereka yang penting dan berat.
3. Diperkenankannya
mempergunakan alat-alat senjata dan mesiu dalam pelaksanaan tugas yang
dibebankan kepadanya.
4. Diperlukannya
dan kemudian diperlakukannya terhadap mereka aturan-aturan dan norma-norma hukum
yang keras, berat, dan khas serta didukung oleh sanksi-sanksi pidana yang berat
juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian terhadap setiap anggota militer
agar bersikap dan bertindak serta bertingkah laku sesuai dengan apa yang
dituntut oleh petugas pokok.
Di
Amerika serikat misalnya, ada pemahaman bahwa militer merupakan komunitas khusus
yang terpisah dari masyarakat lainnya, sehingga campur tangan pengadilan sipil
terhadap militer dapat merusak moril dari prajurit dan hal ini akan mambahayakn
keamanan nasional. Disebutkam bahwa Courts
have dopted a hands-off approach, believing thatthe military is a “separate
society’, totally foreign to the uninitiated and inscrutable to outsiders ...
interference from civilian courts would be detrimental to morale and would thus
pose grave danger to national scurity.
Peradilan
militer di Indonesia keberadaannya diatur dalam Konstitusi yaitu Pasal 24 Ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya dalam Pasal 24A Ayat (5) Undang-Undang
Dasar 1945 (hasil amandemen ketiga) dinyatakan bahwa Susunan, Kedudukan, Keanggotaan,
dan Hukum Acara, Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan
undang-undang.
Untuk
menindaklanjuti ketentuan Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,
DPR telah menyusun Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dimana dalam Pasal 25 Ayat (1) disebutkan bahwa peradilan militer
merupakan saah satu badan peradilan, selain peradilan umum, peradilan agama,
dan peradilan tata usaha negara yang berada di bawah Mahkamah Agung. Sedangkan
Ayat (4) menyebutkan Peradilan Militer memeriksa, mengadili dan memutus perkara
tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kalau diperhatikan secara seksama ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
tersebut dapat disimpulkan bahwa peradilan militer hanya berwenang untuk
mengadili prajurit TNI yang melakukan kejahatan militer. Sedangkan kejahatan
umum tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Pada saat ini, sesuai dengan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Peradilan Militer berwenang untuk mengadili prajurit
TNI yang melakukan kejahatan umum maupun kejahatan militer seperti yang termuat
dalam KUHPM.
Kitab
Hukum Pidana Militer dan Hukum Acara Pidana Militer adalah hukum khusus.
Disebutkan hukum khusus dengan pengertian untuk membedakanya dengan Hukum Acara
Pidana Umum yang berlaku bagi setiap orang. Hukum Pidana Militer memuat
peraturan-peraturan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur
di dalam Hukum Pidana Umum dan hanya berlaku bagi golonga khusus (militer) atau
orang-orang karena peraturan perundang-undangan ditundukan padanya. Dengan
adanya Hukum Pidana Militer bukan berarti Hukum Pidana Umum tidak berlaku bagi
milier, tetapi bagi militer berlaku baik Hukum Pidana Umum maupun Hukum Pidana
Militer, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHPM.
Dalam
Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terutama Pasal 9,
secara tegas dicantumkan kriteria pembeda untuk menentukan kompetensi
pengadilan lainnya yang dititik beratkan
pada subjek atau pelaku tindak pidana. Dalam
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 memang tidak ada kiteria pembeda yang uniform bagi
kompetensi badan peradilan yang dicantumkan (Umum, Militer, Tata Usaha Negara,
dan Agama). Ada yang didasarkan pada Subyek (Peradilan Militer) ada yang
didasarkan pada jenis kasus (Tata Usaha Negara) dan ada juga yang didasarkan
pada kasus maupun subyek (Peradilan Agama). Dengan menentukan subyek pelaku
sebaga titik pembeda, maka Pengadilan Militer berhak untuk memeriksa
kasus-kasus yang diduga dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada hukum
militer.
Indonesia
bukan satu-satunya negara di dunia yang masih menggunakan sistem peradilan
militer, masih banyak negara yang menggunakan peradilan militer yang memproses,
pelanggaran pidana yang subyek militer. Amerika Serikat misalnya sebagai negara
yang sangat demokratis masih memperhatikan sistem peradilan militer yang
terpisah dari peradilan sipil. Demikian juga Kanada masih mempertahankan
peradilan militer terpisah dari peradilan sipil untuk mengadili militer atau
orang sipil yang diperlakukan sebagai militer yang melakukan kejahatan baik
kejahatan militer maupun kejahatan umum. Namun demikian terhadap kejahatan
pembunuhan baik pembunuhan berencana maupun pembunuhan tidak berencana dan
kejahatan penculikan yang dilakukan di wilayah Kanada pada masa damai,
peradilan militer tidak mempunyai yuridiksi atasnya, karena kejahatan tersebut
akan diadili di pengadilan sipil. Tetapi apabila pembunuhan dan penculikan
tersebut dilakukan oleh militer diluar wilayah Kanada maka yuridiksi untuk
mengadilinya ada pada peradilan militer. Selanjutnya, kejahatan sexsual yang dilakukan
oleh militer yang sebelumnya diadili pada peradilan umum, setelah adanya
perubahan undang-undang Pertahanan Nasional Kanada, menjadi yurisdiksi
peradilan militer untuk mengadilinya. Di Kanada misalnya, ada beberapa alasan
mengapa peradilan militer tetap dipertahankan terpisah dari peradilan sipil
sebagaimana diputuskan dalam kasus Genereux, pada tahun 1992. selanjutnya,
salah satu alas an mengapa system peradilan militer di Amerika Serikat masih
berwenang mengadili tindak pidana umum adalah karena militer berlaku asas unity of command. Berdasarkan sejarah, sistem peradilan militer di Amerika
Serikat merupakan sistem yang paling luas dalam memproses kejahatan. Selama Perang Dunia Kedua misalnya, hampir dua juta kasus
yang diselesaikan melalui peradilan militer.
Dalam pertimbangan keputusan Makamah Agung Amerika
Serikat pada tahun 1974 (dalam kasus Parker v. Levy, 1974) ditekankan alasan
mengapa hukum militer dan prosedurnya terpisah dari hukum pidana sipil. Dalam
pertimbangan putusan Makamah Agung Amerika ini dinyatakan bahwa: ”karena
masyarakat militer merupakan masyarakat yang terpisah dari masyarakat sipil
maka hukum militer merupakan suatu yurisprudensi yang terpisah dari hukum yang
mengatur peradilan federal”.
Yurisdiksi pengadilan militer di Amerika Serikat pada
dasarnya dapat dilihat berdasarkan (a) yurisdiksi berdasarkan subjeknya, (b)
yuridiksi berdasarkan tindak pidananya atau perbuatannya, dan (c) concurrent
jurisdiction atau yuridiksi perbarengan dimana peradilan militer dan peradilan
sipil sama-sama mempunyai kewenangan untuk mengadilinya. Di samping ketiga hal
tersebut masih ada yang disebut yurisdiksi yang bersifat internasional, yang
diatur dalam perjanjian Status of Forces Agreemnet (SOFA) yang disepakati
antara negara tuan rumah dengan Amerika Serikat.
Di Indonesia, yurisdiksi atau kompetensi Peradilan
Militer, dimana Peradilan Militer berwenang untuk mengadili tindak pidana (umum
dan militer) yang dilakukan oleh prajurit. Sedangkan dalam Pasal 9 RUU tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
yurisdiksi peradilan militer dibatasi hanya berwenang untuk mengadili tindak
pidana militer. Norma substanstif yang mengatur tindak pidana yang dilakukan
oleh militer adalah Kitab Undang-Undang Pidana Militer. Menurut KUHPM, tindak
pidana yang dilakukan pleh militer adalah:
tindak pidana yang diatur dalam KUHPM, dan tindak pidana yang tidak
diatur dalam KUHPM. Berada secara yuridis menurut KUHPM, tindak pidana umum
yang dilakukan oleh militer juga merupakan ”tindak pidana militer”.
B. Kelembagaan
Peradilan Militer
Pengadilan Militer
sejak bulan juli 2004 berada dibawah Makamah Agung itu berarti secara
organisasi, administrasi dan finansial dibawah Makamah Agung bukan dibawah
Mabes TNI. Mabes TNI hanyalah melakukan pembinaan tentang kepangkatan, jabatan
maupun pendidikan. Dengan telah beralihnya kewenangan mengenai organisasi dan
finansial dibawah Makamah Agung maka sejak bulan juli 2004 seluruh pertanggung
jawaban tugas-tugas satuan yang dipindahkan serta merta ada dibawah tanggung
jawab Makamah Agung. Peradilan militer dengan segala keterbatasannya berada
pada satu atap (one rope system)
dengan peradilan lainnyadengan harapan:
1.
Pengelolaan kekuasaan kehakiman oleh peradilan militer akan lebih menampakan
kemandirian
2.
Pengelolaan pengadilan yang menyangkut aspek organisasi, administrasi,
keuangan akan berjalan lebih efisien karena hanya satu instansi yang memberi
pertimbangan dan memutus.
3.
Upaya peningkatan anggaran dan berbagai fasilitas akan lebih mudah mengingat
ada sistem perencanaan program dan anggaran yang mandiri dan spesifik.
4.
Memudahkan komunikasi karena dalam satu lingkungan peradilan yang bersifat
homogen dan persamaan kepentingan.
Harapan bagi
peradilan militer dengan sistem satu atap (one rope system) tersebut adalah dapat
menuju ke arah peradilan yang berwibawa dan bermatabat, dapat memberikan
jawaban terhadap pandangan negatif sebagian orang yang cenderung mengesankan
bahwa Peradilan Militer cenderung sebagai lembaga impunity bagi anggota militer
yang melanggar, sebagai lembaga peradilan yang tertutup dan tidak dapat
dipantau kinerjanya dan lebih dari itu dituding sebagai peradilan yang tidak
lepas dari intervensi kekuasaan atasan. Yang dimaksud kelembagaan disini adalah Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama. Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Militer tersebut merupakan badan pelaksanaan
kekuasaan kehakiman dilingkungan Angkatan Bersenjata, yang memiliki kewenangan
yang diatur dalam pasal 9 UU Nomor 31 tahun 1997, sebagai berikut:
1.
Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang waktu itu melakukan tindak pidana
adalah:
a.
Prajurit;
b.
Yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan prajurit;
c.
Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau
yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang;
d.
Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c
tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Mentri Kehakiman harus
diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
2.
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata.
3.
Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi
dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang
dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar
dakwaan, dan sekaligus memutuskan kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Peradilan
militer dilihat dari susunan dan kewenangan yang diatur dalam pasal 12, 40, 41
dan pasal 42 Undang-undang Nomor 31 tahuan 1997 menempatkan Lembaga Peradilan
Militer pada posisi yang unik dilingkungan peradilan lainnya di Mahkamah Agung.
Berdasarkan pasal 12 bahwa susunan pengadilan meliputi Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer
Pertempuran. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer dilaksanakan
oleh :
1. Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
a.
Pengadilan Militer, merupakan pengadilan
tingkat pertama untuk perkara pidana yang terdakwanya berpangkatan Kapten ke
bawah.
b.
Pengadilan Militer Tinggi, merupakan
pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana yang diputus pada tingkat
pertama oleh Pengadilan Militer. Pengadilan Militer Tinggi juga merupakan
Pengadilan Tingkat Pertama untuk Perkara Pidana terdakwanya berpangkat mayor ke
atas.
c.
Pengadilan Militer Utama, merupakan
pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana yang diputus pada tingkat
pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi serta mengadili perkara Perbedaan
Pendapat.
2.
Pengadilan Militer Pertempuran yang
merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam mengadili perkara
pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah pertempuran, yang merupakan
pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dari pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer. Pengadilan ini merupakan organisasi kerangka, yang baru berfungsi
apabila diperlukan dan disertai pengisian jabatannya.
Agar pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Militer bebas memberikan putusannya, perlu ada jaminan bahwa baik pengadilan
maupun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh intrefensi
pemerintah dan lainnya. Oleh kerenanya, Hakim dilingkungan Peradilan Militer
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul ketua
Mahkamah Agung berdasarkan persetujuan panglima TNI. Sedangkan penyelenggaraan
administrasi di bidang perkara yang akan mempengaruhi kelancaran
penyelenggaraan peradilan dalam hal ini administrasi teknis yustisial oleh
Undang-undang dibebankan kepada Panitera.
Adapun
susunan Pengadilan Militer secara keseluruhan terdiri dari :
1.
Pengadilan Militer Utama
2.
Pengadilan Militer Tinggi yang
berkedudukan :
a.
Pengadilan Militer Tinggi I Medan
membawahi :
1)
Pengadilan Militer I-01 Medan
2)
Pengadilan Militer I-02 Banda Aceh
3)
Pengadilan Militer I-03 Padang
4)
Pengadilan Militer I-04 Palembang
5)
Pengadilan Militer I-05 Pontianak
6)
Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin
7)
Pengadilan Militer I-07 Balik Papan
b.
Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta
membawahi :
1)
Pengadilan Militer II-08 Jakarta
2)
Pengadilan Militer II-09 Bandung
3)
Pengadilan Militer II-10 Semarang
4)
Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta
c.
Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya
membawahi :
1)
Pengadilan Militer III-12 Surabaya
2)
Pengadilan Militer III-13 Madium
3)
Pengadilan Militer III-14 Denpasar
4)
Pengadilan Militer III-15 Kupang
5)
Pengadilan Militer III-16 Makassar
6)
Pengadilan Militer III-17 Manado
7)
Pengadilan Militer III-18 Ambon
8)
Pengadilan Militer III-19 Jayapura
C. Mekanisme Penyelesaian Perkara Pada
Peradilan Militer.
Tata
cara (mekanisme) pelaksanaan peradilan merupakan salah satu sub sistem penting
dalam keseluruhan sistem peradilan. Dalam penyelesaian perkara pidana
(dilingkungan peradilan militer), tata cara penegakan hukum dimulai sejak
penyelidikan oleh Polisi Militer sampai dengan pelaksanan hukum oleh Oditur
Militer, bahkan sampai saat seorang Napi militer sipa kembali menjadi anggota
militer yang baik di kesatuan. Dalam proses ini instansi yang terlibat adalah
Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer dan Pemasyarakatan Militer.
Institusi-institusi tersebut dalam melaksanakan tugasnya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses penegakan hukum, inilah yang
dinamakan “integrated criminal justice
sistem”. Apabila rangkaian-rangkaian di atas tidak berjalan sebagaimana
mestinya akan sangat mempengaruhi hasil akhir dari suatu proses peradilan.
Kesalahan dalam prosedur penyidikan seperti tidak ada Penasihat Hukum yang
mendampingi terdakwa, kekurangan ketelitian dalam menyusun dakwaan, penunjukan pasal-pasal
yang kurang tepat dapat menyebabkan seseorang yang diduga telah melakukan
tindak pidana dilepas atau dibebaskan, akan memprihatinkan kalau kekurangan
prosedur tersebut dijadikan pintu pembuka jalan penyalahgunaan wewenang untuk
melepaskan atau membebaskan terdakwa dari dakwaan atau hukuman.secara normatif
mungkin tidak ada yang salah, tetapi secara kenyataan bahwa proses yang kurang
cermat tersebut, yang telah melepaskan atau membebaskan seseorang yang
semestinya dihukum.
Proses
penyelesaian perkara dalam peradilan Militer berbeda dengan proses penyelesaian
perkara dalam Perdailan Umum. Dalam peradilan militer proses penyelesaian
perkara berpedoman pada hukum Acara Pidana Militerter terdapat tahapan sebagai
berikut:
1. Tahap
Penyelidikan
Penyelidikan
menurut undang-undang adalah atasan yang berhak menghukum (Ankum), polisi
militer dan oditur militer. Dalam hal kewenangan penyelidikan yang ada pada
Ankum biasanya tidak dilaksanakan sendiri oleh Ankum yang bersangkutan
mengingat kesibukan-kesibukan dari Ankum lalu melimpahkan kewenangan
penyelidikan kepada penyidik polisi militer sedangkan oditur militer selaku
penyidik apabila hasil penyidikan yang berupa DPP dari polisi militer belum
memenuhi persyaratan formil dan material maka oditur militer dapat mengembalikan
berkas perkara itu kepada penyidik polisi militer dengan catatan-catatan dan
atau melakukan pemeriksaan tambahan (Naporing) terhadap kekurangan-kekurangan
persyaratan-persyaratan formil dan atau materil tersebut sekaligus juga dapat
menambah pasal yang diterapkan oleh penyelidik polisi militer. Penyelidik
polisi militer dan penyelidik oditur militer tidak mempunyai kewenangan untuk
melakukan penahan terhadap tersangka selama penyidikan berlangsung. Apabila
menurut pendapat penyidik tersangka perlu ditahan maka penyidik polisi militer
dapat mengajukan penahanan kepada Ankum yang membawahi tersangka dalam jangka
waktu selam 20 hari. Dan apabila penyidik polisi militer menganggap perlu untuk
memperpanjang penahanan karena penyidikan belum selesai maka perpanjangan
penahanan itu dimintakan kepada perwira penyerah perkara. Pelaksanaan penahanan
dilakukan dirumah tahanan militer polisi militer.
2. Tahap
penyerhan perkara
Wewenang
penyerahan perkara kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer ada pada
perwira penyerah perkara. Dalam hukum acara pidana militer, tahap penuntutan
termasuk dalam tahap penyerahan perkara dan pelaksanaan penuntutan dilakukan
oleh oditur yang secara teknis yuridis bertanggung jawab kepada oditur jendral,
sedangkan secara operasional justisial bertanggung jawab kepada perwira
penyerah perkara. Kekuasaan di bidang penuntutan ini dilaksanakan oleh Oditurat
yang terdiri dari :
a. Oditurat
militer, yang merupakan badan penuntutan pada pengadilan militer
b. Oditurat
militer tinggi, yang merupakan badan penuntutan pada pengadilan militer tinggi
c. Oditur
jendral TNI, yang merupakan badan penuntutan tertinggi di lingkunan TNI
d. Oditurat
militer pertempuran, yang merupakan badan penuntutan pada pengadilan militer
pertempuran.
Proses
penuntutan dilakukan oleh oditurat militer setelah oditur militer mengajukan
saran pedapat hukum kepada paperan. Saran pendapat hukum tersebut diajukan
kepada papera oleh oditur militer dapat berupa : surat keputusan penyerahan
perkara (skeppera), surat keputusan penutupan perkara (skeptupra) dan surat
keputusan hukum disiplin (skepkumplin). Apabila produk yang keluar dari papera
berupa skeppera dimana papera menetapkan : menyerahkan perkara tersangka dan
menuntut agar tersangka diperiksa da diadili berdasarkan surat dakwaan oditur
militer/oditur militer tinggi serta melimpahkan kewenangan untuk menetapkan
hari sidang pada pengadilan militer/pengadilan militer tinggi yang berwenang.
Mendasari skeppera dari papera lalu oditur militer/oditur militer tinggi
membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara terdakwa kepada pengadilan
militer/ pengadilan militer tinggi ysng berwenang.
3. Tahap
pemeriksaan dalam persidangan
Tahap
pemeriksaan dipersidangan di pengadilan militer/ pengadilian militer tinggi
sama dengan tahap pemeriksaan perkara pidana di peradilan umum. Begitu juga
hukum acara yang berlaku yaitu undang-undang nomor 31 tahun 1997 khususnya
tahap pemeriksaan dalam persidangan hampir sama dengan hukum acara yang diatur
dlam KUHAP. Terhadap tindak pidana militer tertentu, hukum acara pidana militer
mengenal peradilan “in absensia” yaitu untuk perkara desersi. Hal tersebut
berkaitan dengan kepentingan komando dalam hal kesiapan satuan, sehingga tidak
hadirnya prajurit secara tidak sah, perlu segera ditentukan status hukumnya.
Dalam
pemeriksaan dipersidangan terutama dalam menjatuhkan putusan seorang hakim
menurut R Sarjono harus mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Pertimbangan-pertimbangan
itu harus merupakan keseluruhan yang lengkap, tersusun sistematis dan satu sama
lainnya mempunyai hubungan yang logis tidak ada pertantangan (tegenstridjigheid) satu sama lain (innerlike tegenstridjigheid),
pertentangan-pertentangan yang sejenis mana juga tidak boleh terdapat anatara
pertimbangan-pertimbangan putusan;
b. Hakim
harus menilai kekuatan pembuktian tiap alat bukti dan memberi kesimpulannya
mengenai soal terbukti atau tidaknya tuduhan terhadap si terdakwa;
c. Hakim
dalam mempertimbangkan perkara adalah tidak bebas, melainkan terikat pada
hukum, undang-undang dan rasa keadilan, sehingga dengan demikian segala kesan
bahwa hakim bertindak sewenang-wenang sekaligus dapat dilenyapkan
4. Tahap
pelaksanaan putusan
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim diucapkan
pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau
mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara
selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin
dikemukakan putusan pengailan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak
yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka
hadapi. Untuk memberiakan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan
kepastian hukum dan mencerminkan keadila, hakim yang melaksanakan peradilan
harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum
yang mengaturnya untuk diterapkan baik peraturan hukum yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat.
Suatu putusan harus didasarkan pada fakta dipersidangan dan dibarengi dengan
putusan yang mencerminkan rasa keadilan. Menurut Sudikno Marto Kusumo dalam
penegakan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum,
kepastian hukum menekankan agar hukum ditegakkan sebagaimana yang diinginkan
oleh bunyi hukum (Fiat Justitia et pereat mundus), kemanfaatan (utilitas) yang
menurut teori Roscoe Pound sejalan dengan teori Jeremy Bentham dimana tujuan
hukum dan wujud keadilan untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat
mencangkup: untuk memberi nafkah hidup, untuk memberi perlindungan, untuk
mencapai persamaan. Keadilan dimana kepentingan-kepentingan yang dilindungi
hukum harus seimbang.
Impilikasi hukum terhadap terdakwa
setelah putusan hakim berkuatan hukum tetap adalah terdakwa menerima putusan
dengan berbagai konsekuensi yuridisnya karena telah menganggap alasan-alasan
pertimbangan hukumnya memiliki keseimbangan antara aspek kepastian hukum dan
keadilan. Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan hakim dilaksanakan oleh
kepala Pengadilan Militer/ pengadilan Militer Tinggi, dan khusus pengawasan
terhadap pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan komandan yang bersangkutan,
sehingga komandan dapat memberikan bimbingan supaya terpidana kembali menjadi
prajurit yang baik dan tidak akan melakukan tindak pidana lagi.