Sabtu, 21 April 2012

Peradilan Militer Tinggi II Jakarta


A.  Pengertian Peradilan Militer
Peradilan militer merupakan peradilan khusus, kekhususan disini terletak kepada subjek hukum yaitu militer. Militer dianggap sebagai komunitas khusus karena terkait pada disiplin dan moril yang prima agar selalu siap untuk dikerahkan dalam setiap penugasan. Menurut Moch. Faishal Salam, dalam  bukunya berjudul “Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia”, menegaskan sebagai berikut:
“Walaupun sebagai Warga Negara Republik Indonesia tentara bukan merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota tentara adalah juga sebagai anggota masyarakat biasa, tetapi karena adanya beban kewajiban Angkatan Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai atau melaksanakan tujuan tugasnya yang pokok, untuk itu diperlukan suatu hukum yang khusus dan peradilan yang tersendiri yang terpisah dari peradilan umum”.

Menurut Soegiri ada beberapa alasan mengapa perlu dibentuk peradilan militer yang berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum, yaitu:
1.    Adanya tugas pokok yang berat untuk melindungi, membela, dan mempertahankan integritas serta kedaulatan bangsa dan negara jika perlu dilakukan dengan kekuatan senjata dan cara berperang.
2.    Diperlukannya organisasi yang istimewa dan pemeliharaan serta pendidikan yang khusus berkenaan dengan tugas pokok mereka yang penting dan berat.
3.    Diperkenankannya mempergunakan alat-alat senjata dan mesiu dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya.
4.    Diperlukannya dan kemudian diperlakukannya terhadap mereka aturan-aturan dan norma-norma hukum yang keras, berat, dan khas serta didukung oleh sanksi-sanksi pidana yang berat juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian terhadap setiap anggota militer agar bersikap dan bertindak serta bertingkah laku sesuai dengan apa yang dituntut oleh petugas pokok.

Di Amerika serikat misalnya, ada pemahaman bahwa militer merupakan komunitas khusus yang terpisah dari masyarakat lainnya, sehingga campur tangan pengadilan sipil terhadap militer dapat merusak moril dari prajurit dan hal ini akan mambahayakn keamanan nasional. Disebutkam bahwa Courts have dopted a hands-off approach, believing thatthe military is a “separate society’, totally foreign to the uninitiated and inscrutable to outsiders ... interference from civilian courts would be detrimental to morale and would thus pose grave danger to national scurity.
Peradilan militer di Indonesia keberadaannya diatur dalam Konstitusi yaitu Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya dalam Pasal 24A Ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen ketiga) dinyatakan bahwa Susunan, Kedudukan, Keanggotaan, dan Hukum Acara, Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
Untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, DPR telah menyusun Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam Pasal 25 Ayat (1) disebutkan bahwa peradilan militer merupakan saah satu badan peradilan, selain peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara yang berada di bawah Mahkamah Agung. Sedangkan Ayat (4) menyebutkan Peradilan Militer memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kalau diperhatikan secara seksama ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut dapat disimpulkan bahwa peradilan militer hanya berwenang untuk mengadili prajurit TNI yang melakukan kejahatan militer. Sedangkan kejahatan umum tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Pada saat ini, sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Peradilan Militer berwenang untuk mengadili prajurit TNI yang melakukan kejahatan umum maupun kejahatan militer seperti yang termuat dalam KUHPM.
Kitab Hukum Pidana Militer dan Hukum Acara Pidana Militer adalah hukum khusus. Disebutkan hukum khusus dengan pengertian untuk membedakanya dengan Hukum Acara Pidana Umum yang berlaku bagi setiap orang. Hukum Pidana Militer memuat peraturan-peraturan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam Hukum Pidana Umum dan hanya berlaku bagi golonga khusus (militer) atau orang-orang karena peraturan perundang-undangan ditundukan padanya. Dengan adanya Hukum Pidana Militer bukan berarti Hukum Pidana Umum tidak berlaku bagi milier, tetapi bagi militer berlaku baik Hukum Pidana Umum maupun Hukum Pidana Militer, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHPM.
Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terutama Pasal 9, secara tegas dicantumkan kriteria pembeda untuk menentukan kompetensi pengadilan  lainnya yang dititik beratkan pada  subjek atau pelaku tindak pidana. Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 memang tidak ada kiteria pembeda yang uniform bagi kompetensi badan peradilan yang dicantumkan (Umum, Militer, Tata Usaha Negara, dan Agama). Ada yang didasarkan pada Subyek (Peradilan Militer) ada yang didasarkan pada jenis kasus (Tata Usaha Negara) dan ada juga yang didasarkan pada kasus maupun subyek (Peradilan Agama). Dengan menentukan subyek pelaku sebaga titik pembeda, maka Pengadilan Militer berhak untuk memeriksa kasus-kasus yang diduga dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada hukum militer.
Indonesia bukan satu-satunya negara di dunia yang masih menggunakan sistem peradilan militer, masih banyak negara yang menggunakan peradilan militer yang memproses, pelanggaran pidana yang subyek militer. Amerika Serikat misalnya sebagai negara yang sangat demokratis masih memperhatikan sistem peradilan militer yang terpisah dari peradilan sipil. Demikian juga Kanada masih mempertahankan peradilan militer terpisah dari peradilan sipil untuk mengadili militer atau orang sipil yang diperlakukan sebagai militer yang melakukan kejahatan baik kejahatan militer maupun kejahatan umum. Namun demikian terhadap kejahatan pembunuhan baik pembunuhan berencana maupun pembunuhan tidak berencana dan kejahatan penculikan yang dilakukan di wilayah Kanada pada masa damai, peradilan militer tidak mempunyai yuridiksi atasnya, karena kejahatan tersebut akan diadili di pengadilan sipil. Tetapi apabila pembunuhan dan penculikan tersebut dilakukan oleh militer diluar wilayah Kanada maka yuridiksi untuk mengadilinya ada pada peradilan militer. Selanjutnya, kejahatan sexsual yang dilakukan oleh militer yang sebelumnya diadili pada peradilan umum, setelah adanya perubahan undang-undang Pertahanan Nasional Kanada, menjadi yurisdiksi peradilan militer untuk mengadilinya. Di Kanada misalnya, ada beberapa alasan mengapa peradilan militer tetap dipertahankan terpisah dari peradilan sipil sebagaimana diputuskan dalam kasus Genereux, pada tahun 1992. selanjutnya, salah satu alas an mengapa system peradilan militer di Amerika Serikat masih berwenang mengadili tindak pidana umum adalah karena militer berlaku asas unity of command. Berdasarkan sejarah, sistem peradilan militer di Amerika Serikat merupakan sistem yang paling luas dalam memproses kejahatan. Selama Perang Dunia Kedua misalnya, hampir dua juta kasus yang diselesaikan melalui peradilan militer.
Dalam pertimbangan keputusan Makamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1974 (dalam kasus Parker v. Levy, 1974) ditekankan alasan mengapa hukum militer dan prosedurnya terpisah dari hukum pidana sipil. Dalam pertimbangan putusan Makamah Agung Amerika ini dinyatakan bahwa: ”karena masyarakat militer merupakan masyarakat yang terpisah dari masyarakat sipil maka hukum militer merupakan suatu yurisprudensi yang terpisah dari hukum yang mengatur peradilan federal”.
Yurisdiksi pengadilan militer di Amerika Serikat pada dasarnya dapat dilihat berdasarkan (a) yurisdiksi berdasarkan subjeknya, (b) yuridiksi berdasarkan tindak pidananya atau perbuatannya, dan (c) concurrent jurisdiction atau yuridiksi perbarengan dimana peradilan militer dan peradilan sipil sama-sama mempunyai kewenangan untuk mengadilinya. Di samping ketiga hal tersebut masih ada yang disebut yurisdiksi yang bersifat internasional, yang diatur dalam perjanjian Status of Forces Agreemnet (SOFA) yang disepakati antara negara tuan rumah dengan Amerika Serikat.
Di Indonesia, yurisdiksi atau kompetensi Peradilan Militer, dimana Peradilan Militer berwenang untuk mengadili tindak pidana (umum dan militer) yang dilakukan oleh prajurit. Sedangkan dalam Pasal 9 RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yurisdiksi peradilan militer dibatasi hanya berwenang untuk mengadili tindak pidana militer. Norma substanstif yang mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh militer adalah Kitab Undang-Undang Pidana Militer. Menurut KUHPM, tindak pidana yang dilakukan pleh militer adalah:  tindak pidana yang diatur dalam KUHPM, dan tindak pidana yang tidak diatur dalam KUHPM. Berada secara yuridis menurut KUHPM, tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer juga merupakan ”tindak pidana militer”.

B.  Kelembagaan Peradilan Militer
Pengadilan Militer sejak bulan juli 2004 berada dibawah Makamah Agung itu berarti secara organisasi, administrasi dan finansial dibawah Makamah Agung bukan dibawah Mabes TNI. Mabes TNI hanyalah melakukan pembinaan tentang kepangkatan, jabatan maupun pendidikan. Dengan telah beralihnya kewenangan mengenai organisasi dan finansial dibawah Makamah Agung maka sejak bulan juli 2004 seluruh pertanggung jawaban tugas-tugas satuan yang dipindahkan serta merta ada dibawah tanggung jawab Makamah Agung. Peradilan militer dengan segala keterbatasannya berada pada satu atap (one rope system) dengan peradilan lainnyadengan harapan:
1.    Pengelolaan kekuasaan kehakiman oleh peradilan militer akan lebih menampakan kemandirian
2.    Pengelolaan pengadilan yang menyangkut aspek organisasi, administrasi, keuangan akan berjalan lebih efisien karena hanya satu instansi yang memberi pertimbangan dan memutus.
3.    Upaya peningkatan anggaran dan berbagai fasilitas akan lebih mudah mengingat ada sistem perencanaan program dan anggaran yang mandiri dan spesifik.
4.    Memudahkan komunikasi karena dalam satu lingkungan peradilan yang bersifat homogen dan persamaan kepentingan.
Harapan bagi peradilan militer dengan sistem satu atap (one rope system) tersebut adalah dapat menuju ke arah peradilan yang berwibawa dan bermatabat, dapat memberikan jawaban terhadap pandangan negatif sebagian orang yang cenderung mengesankan bahwa Peradilan Militer cenderung sebagai lembaga impunity bagi anggota militer yang melanggar, sebagai lembaga peradilan yang tertutup dan tidak dapat dipantau kinerjanya dan lebih dari itu dituding sebagai peradilan yang tidak lepas dari intervensi kekuasaan atasan.                                                                                                                       Yang dimaksud kelembagaan disini adalah Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer tersebut merupakan badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilingkungan Angkatan Bersenjata, yang memiliki kewenangan yang diatur dalam pasal 9 UU Nomor 31 tahun 1997, sebagai berikut:
1.    Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang waktu itu melakukan tindak pidana adalah:
a.    Prajurit;
b.    Yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan prajurit;
c.    Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang;
d.   Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Mentri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
2.    Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3.    Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutuskan kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Peradilan militer dilihat dari susunan dan kewenangan yang diatur dalam pasal 12, 40, 41 dan pasal 42 Undang-undang Nomor 31 tahuan 1997 menempatkan Lembaga Peradilan Militer pada posisi yang unik dilingkungan peradilan lainnya di Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 12 bahwa susunan pengadilan meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer dilaksanakan oleh :  
1.    Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
a.    Pengadilan Militer, merupakan pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana yang terdakwanya berpangkatan Kapten ke bawah.
b.    Pengadilan Militer Tinggi, merupakan pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana yang diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer. Pengadilan Militer Tinggi juga merupakan Pengadilan Tingkat Pertama untuk Perkara Pidana terdakwanya berpangkat mayor ke atas.
c.    Pengadilan Militer Utama, merupakan pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana yang diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi serta mengadili perkara Perbedaan Pendapat.
2.    Pengadilan Militer Pertempuran yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah pertempuran, yang merupakan pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dari pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pengadilan ini merupakan organisasi kerangka, yang baru berfungsi apabila diperlukan dan disertai pengisian jabatannya.
 Agar pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer bebas memberikan putusannya, perlu ada jaminan bahwa baik pengadilan maupun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh intrefensi pemerintah dan lainnya. Oleh kerenanya, Hakim dilingkungan Peradilan Militer diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul ketua Mahkamah Agung berdasarkan persetujuan panglima TNI. Sedangkan penyelenggaraan administrasi di bidang perkara yang akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan peradilan dalam hal ini administrasi teknis yustisial oleh Undang-undang dibebankan kepada Panitera.
Adapun susunan Pengadilan Militer secara keseluruhan terdiri dari :
1.    Pengadilan Militer Utama
2.    Pengadilan Militer Tinggi yang berkedudukan :
a.    Pengadilan Militer Tinggi I Medan membawahi :
1)   Pengadilan Militer I-01 Medan
2)   Pengadilan Militer I-02 Banda Aceh
3)   Pengadilan Militer I-03 Padang
4)   Pengadilan Militer I-04 Palembang
5)   Pengadilan Militer I-05 Pontianak
6)   Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin
7)   Pengadilan Militer I-07 Balik Papan
b.    Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta membawahi :
1)   Pengadilan Militer II-08 Jakarta
2)   Pengadilan Militer II-09 Bandung
3)   Pengadilan Militer II-10 Semarang
4)   Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta
c.    Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya membawahi :
1)   Pengadilan Militer III-12 Surabaya
2)   Pengadilan Militer III-13 Madium
3)   Pengadilan Militer III-14 Denpasar
4)   Pengadilan Militer III-15 Kupang
5)   Pengadilan Militer III-16 Makassar
6)   Pengadilan Militer III-17 Manado
7)   Pengadilan Militer III-18 Ambon
8)   Pengadilan Militer III-19 Jayapura

C.  Mekanisme Penyelesaian Perkara Pada Peradilan Militer.
Tata cara (mekanisme) pelaksanaan peradilan merupakan salah satu sub sistem penting dalam keseluruhan sistem peradilan. Dalam penyelesaian perkara pidana (dilingkungan peradilan militer), tata cara penegakan hukum dimulai sejak penyelidikan oleh Polisi Militer sampai dengan pelaksanan hukum oleh Oditur Militer, bahkan sampai saat seorang Napi militer sipa kembali menjadi anggota militer yang baik di kesatuan. Dalam proses ini instansi yang terlibat adalah Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer dan Pemasyarakatan Militer. Institusi-institusi tersebut dalam melaksanakan tugasnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses penegakan hukum, inilah yang dinamakan “integrated criminal justice sistem”. Apabila rangkaian-rangkaian di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya akan sangat mempengaruhi hasil akhir dari suatu proses peradilan. Kesalahan dalam prosedur penyidikan seperti tidak ada Penasihat Hukum yang mendampingi terdakwa, kekurangan ketelitian dalam menyusun dakwaan, penunjukan pasal-pasal yang kurang tepat dapat menyebabkan seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana dilepas atau dibebaskan, akan memprihatinkan kalau kekurangan prosedur tersebut dijadikan pintu pembuka jalan penyalahgunaan wewenang untuk melepaskan atau membebaskan terdakwa dari dakwaan atau hukuman.secara normatif mungkin tidak ada yang salah, tetapi secara kenyataan bahwa proses yang kurang cermat tersebut, yang telah melepaskan atau membebaskan seseorang yang semestinya dihukum.
Proses penyelesaian perkara dalam peradilan Militer berbeda dengan proses penyelesaian perkara dalam Perdailan Umum. Dalam peradilan militer proses penyelesaian perkara berpedoman pada hukum Acara Pidana Militerter terdapat tahapan sebagai berikut:
1.    Tahap Penyelidikan
Penyelidikan menurut undang-undang adalah atasan yang berhak menghukum (Ankum), polisi militer dan oditur militer. Dalam hal kewenangan penyelidikan yang ada pada Ankum biasanya tidak dilaksanakan sendiri oleh Ankum yang bersangkutan mengingat kesibukan-kesibukan dari Ankum lalu melimpahkan kewenangan penyelidikan kepada penyidik polisi militer sedangkan oditur militer selaku penyidik apabila hasil penyidikan yang berupa DPP dari polisi militer belum memenuhi persyaratan formil dan material maka oditur militer dapat mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik polisi militer dengan catatan-catatan dan atau melakukan pemeriksaan tambahan (Naporing) terhadap kekurangan-kekurangan persyaratan-persyaratan formil dan atau materil tersebut sekaligus juga dapat menambah pasal yang diterapkan oleh penyelidik polisi militer. Penyelidik polisi militer dan penyelidik oditur militer tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penahan terhadap tersangka selama penyidikan berlangsung. Apabila menurut pendapat penyidik tersangka perlu ditahan maka penyidik polisi militer dapat mengajukan penahanan kepada Ankum yang membawahi tersangka dalam jangka waktu selam 20 hari. Dan apabila penyidik polisi militer menganggap perlu untuk memperpanjang penahanan karena penyidikan belum selesai maka perpanjangan penahanan itu dimintakan kepada perwira penyerah perkara. Pelaksanaan penahanan dilakukan dirumah tahanan militer polisi militer.
2.    Tahap penyerhan perkara
Wewenang penyerahan perkara kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer ada pada perwira penyerah perkara. Dalam hukum acara pidana militer, tahap penuntutan termasuk dalam tahap penyerahan perkara dan pelaksanaan penuntutan dilakukan oleh oditur yang secara teknis yuridis bertanggung jawab kepada oditur jendral, sedangkan secara operasional justisial bertanggung jawab kepada perwira penyerah perkara. Kekuasaan di bidang penuntutan ini dilaksanakan oleh Oditurat yang terdiri dari :
a.    Oditurat militer, yang merupakan badan penuntutan pada pengadilan militer
b.    Oditurat militer tinggi, yang merupakan badan penuntutan pada pengadilan militer tinggi
c.    Oditur jendral TNI, yang merupakan badan penuntutan tertinggi di lingkunan TNI
d.   Oditurat militer pertempuran, yang merupakan badan penuntutan pada pengadilan militer pertempuran.
Proses penuntutan dilakukan oleh oditurat militer setelah oditur militer mengajukan saran pedapat hukum kepada paperan. Saran pendapat hukum tersebut diajukan kepada papera oleh oditur militer dapat berupa : surat keputusan penyerahan perkara (skeppera), surat keputusan penutupan perkara (skeptupra) dan surat keputusan hukum disiplin (skepkumplin). Apabila produk yang keluar dari papera berupa skeppera dimana papera menetapkan : menyerahkan perkara tersangka dan menuntut agar tersangka diperiksa da diadili berdasarkan surat dakwaan oditur militer/oditur militer tinggi serta melimpahkan kewenangan untuk menetapkan hari sidang pada pengadilan militer/pengadilan militer tinggi yang berwenang. Mendasari skeppera dari papera lalu oditur militer/oditur militer tinggi membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara terdakwa kepada pengadilan militer/ pengadilan militer tinggi ysng berwenang.
3.    Tahap pemeriksaan dalam persidangan
Tahap pemeriksaan dipersidangan di pengadilan militer/ pengadilian militer tinggi sama dengan tahap pemeriksaan perkara pidana di peradilan umum. Begitu juga hukum acara yang berlaku yaitu undang-undang nomor 31 tahun 1997 khususnya tahap pemeriksaan dalam persidangan hampir sama dengan hukum acara yang diatur dlam KUHAP. Terhadap tindak pidana militer tertentu, hukum acara pidana militer mengenal peradilan “in absensia” yaitu untuk perkara desersi. Hal tersebut berkaitan dengan kepentingan komando dalam hal kesiapan satuan, sehingga tidak hadirnya prajurit secara tidak sah, perlu segera ditentukan status hukumnya.
Dalam pemeriksaan dipersidangan terutama dalam menjatuhkan putusan seorang hakim menurut R Sarjono harus mempertimbangkan sebagai berikut:
a.    Pertimbangan-pertimbangan itu harus merupakan keseluruhan yang lengkap, tersusun sistematis dan satu sama lainnya mempunyai hubungan yang logis tidak ada pertantangan (tegenstridjigheid) satu sama lain (innerlike tegenstridjigheid), pertentangan-pertentangan yang sejenis mana juga tidak boleh terdapat anatara pertimbangan-pertimbangan putusan;
b.    Hakim harus menilai kekuatan pembuktian tiap alat bukti dan memberi kesimpulannya mengenai soal terbukti atau tidaknya tuduhan terhadap si terdakwa;
c.    Hakim dalam mempertimbangkan perkara adalah tidak bebas, melainkan terikat pada hukum, undang-undang dan rasa keadilan, sehingga dengan demikian segala kesan bahwa hakim bertindak sewenang-wenang sekaligus dapat dilenyapkan
4.    Tahap pelaksanaan putusan
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan putusan pengailan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi. Untuk memberiakan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadila, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat. Suatu putusan harus didasarkan pada fakta dipersidangan dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan. Menurut Sudikno Marto Kusumo dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kepastian hukum menekankan agar hukum ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum (Fiat Justitia et pereat mundus), kemanfaatan (utilitas) yang menurut teori Roscoe Pound sejalan dengan teori Jeremy Bentham dimana tujuan hukum dan wujud keadilan untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat mencangkup: untuk memberi nafkah hidup, untuk memberi perlindungan, untuk mencapai persamaan. Keadilan dimana kepentingan-kepentingan yang dilindungi hukum harus seimbang.
Impilikasi hukum terhadap terdakwa setelah putusan hakim berkuatan hukum tetap adalah terdakwa menerima putusan dengan berbagai konsekuensi yuridisnya karena telah menganggap alasan-alasan pertimbangan hukumnya memiliki keseimbangan antara aspek kepastian hukum dan keadilan. Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan hakim dilaksanakan oleh kepala Pengadilan Militer/ pengadilan Militer Tinggi, dan khusus pengawasan terhadap pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan komandan yang bersangkutan, sehingga komandan dapat memberikan bimbingan supaya terpidana kembali menjadi prajurit yang baik dan tidak akan melakukan tindak pidana lagi.