Apa salah jika seorang anak mendambakan
kasih sayang dari ibunya? Tak pernah dibenakku muncul untuk membenci, atau iri
pada setiap anak yang mendambakan kasih dari ibunya. Pagi itu aku sedang
menghabiskan liburanku yang membosankan.
“Kring…,”
deringan telepon rumah berbunyi, ketika itu aku senantiasa duduk di depan
komputerku untuk mencurahkan segala isi hatiku yang suram. Memang pada siapa
lagi aku mencurahkan isi hatiku ini, selain pada buku harianku di komputer, karena
selama ini, aku takut untuk berhadapan dengan dunia luar yang begitu kejam.
“Hallo, assalamualaikum!” sahutku
“Walaikumsalam, sayang ini mama! Kamu lagi
ngapain? Gimana keadaan kakakmu sama cucu mama yang lucu itu? Ohya, uang yang
bulan kemarin mama kirim masih ada kan,
kalau gitu tolong dihemat-hemat ya,” tanya Ibuku dengan seperti biasa tidak
menanyakan kabarku hari ini.
“Lagi ngerjain tugas, emangnya sekarang
mama ada di mana? Kakak sama Kenza baik? Untuk uang. sepertinya habis …,”
jawabku dengan malas.
“Habis …? Memang uang sisa kemarin kurang
ya? Mama sekarang lagi ada di Malang,
dengan papa baru kamu. Ya udah nanti minggu depan mama kirim lagi tapi kayaknya
sedikit abisnya mama udah nggak punya uang lagi,” ujarnya.
“Kalau gitu nggak usah dipaksain, aku mau
ngerjain tugas dulu ya!” ujarku dengan hati kesal.
Aktivitasku seperti biasa kujalani, dari
mencuci pakaian, menyetrika, memasak dan membersihkan rumah tumpangan yang
selama ini aku tempati. Ketika aku tengah asyik menjalani semua deritaku, tiba-tiba
bunyi ringtones Stand 4 Love from Destiny’s Child berdering. Terlihat di layar HP-ku ada sebuah
message yang dikirimkan padaku. Setelah kubuka, ternyata ada sebuah SMS dari
Miss Ranty yaitu guruku dan bertuliskan :
“Assalamualaik’ Hi, gmn kbrnya? Lbrn dmn
skrg? Ibu skrg lg da di rmh lho ‘n rencananya qta mo pada liburan. Klo g
kbratan, Vira mo ikut gabung ga ma kluarga ibu. Come on ibu tunggu? Blz.”
Tiba-tiba air mataku mengalir, aku terharu
ada orang yang
sangat memperhatikanku. Padahal dia adalah guruku sendiri. Orang tuaku di
sekolah namun dengan senag hati mau menjadi pengganti ibu asliku. Dengan cepat
aku membalasnya, tak enak kalu aku membiarkannya dulu. Mungkin ini adalah
anugrah dari tuhan. Tuhan menjawab doaku dengan cara yang berbeda.
“Walaikumsalam’,
Duh, thankz bgt y Bu mo ngajak aq pergi! Kpn perginya? Klo gitu aq ikut deh! Cm
aq mesti bilang dl ma ka2, pokonya klo jd ntar aq tlp ibu dech. See U later ….”
Pesan terkirim dan akupun harus minta izin
dulu sama kakakku, untuk bisa pergi berlibur dengan Bu Ranty. Jika aku sampai
pergi, sepertinya kebahagiaan akan menghampiriku. Terima kasih Tuhan, keajaiban
yang selama ini aku tunggu, akhirnya bisa muncul dan menghampiriku. Semoga saja
izinku untuk pergi nggak dilarang dan liburanku akan lancar seperti layaknya
air mengalir.
Sore menjelang
malam, tapi aku belum berani untuk berbicara dengan kakak, karena selama ini
hubunganku dengannya cukup jauh. Mengobrol dengannya pun jika ada perlu, dan
kalau ternyata nggak ada perlu, aku nggak biasa untuk berbicara dan
bercanda-canda dengan kakak laki-lakiku. Aku harus menunggu kakak untuk pergi
menonton TV, karena biasanya saat seperti itulah saat-saat yang santai dan
tenang bagi kakaku.
Dengan langkah yang
berat tanpa arah tujuan, aku berusaha untuk bisa mengatur kakiku agar bisa
melangkah, dan mempunyai tujuan yang jelas. Aku pun memberanikan diri untuk
pergi mendatangi kakaku dan berbicara kepadanya. Ketika itu kakaku tengah asyik
menonton TV, dan akupun berusaha untuk memotong tontonan yang ia tonton dengan
berbicara kepadanya.
“ Kak, boleh ganggu sebentar nggak?”
tanyaku dengan gugup.
“Ada
apa, kok serius amat?” Tanya kakakku.
“Gini, sekarang kan liburan dan tadi guruku telepon. Katanya
beliau mau ngajak aku untuk pergi berlibur dengan keluarganya. Kalau kakak
ngijinin, aku boleh ikut pergi nggak?” jelasku masih dengan keadaan gugup dan
gelisah.
“Oh, mau liburan sama guru, ya silahkan!”
jawab kakak dengan dinginnya.
Hatiku mulai reda, karena baru kali ini
kakak mengijinkanku pergi. Akupun segera bergegas memasukkan semua barang yang
diperlukan untuk berlibur dengan my mom.
Kenapa aku panggil dia Mommy? karena
aku merasakan kehadiran hati seorang ibu di dalam diri Bu Ranty. Aku nggak bisa
menyayangi ibuku sekarang, karena aku nggak pernah mendapatkan sesuatu yang
berharga dari ibuku sekarang. Mungkin Tuhan menakdirkan aku untuk melupakan
ibuku, dan mulai membuka diriku untuk orang lain.
Keesokan harinya, aku segera merapikan
pakaian dan barang-barang yang diperlukan untuk nanti. HP-ku kembali berdering
dengan ringtonesnya My Humpz from Black Eye Peas. Akupun langsung mencari HP-ku,
karena biasanya aku lupa menaruhnya dimana? Mungkin jika aku mencari sumber
bunyinya aku akan menemukan HP-ku sekarang juga. Akhirnya HP-ku yang tertindih
bantal tempat tidurku aku temukan. Kulihat nama Ibu Ranty memanggilku dan akupun
bergegas untuk mengangkat telepon itu.
“Hallo, assalamualaikum! Bu Ranty, gimana
jadi nggak?” tanyaku.
“Ya itu dia, Vira udah siap belum?
Sekarang kamu musti bergegas nanti ibu jemput ke rumah kamu OK!” jawab Bu
Ranty.
“Jam berapa ibu kesini?”
“Kira-kira ibu jemput jam 11.00 siang ya …!”
“OK, I’m waiting for you!” sahutku.
“OK … Bye see you later !”
Kututup telepon itu sambil membereskan
semua pakaianku, tiba-tiba kakakku datang menghampiri.
“Vir, tadi mama sms, kamu mau ikut nggak
pergi ke Malang
sama mama dan papa baru kamu?” Tanya kakakku.
“Kapan?” tanyaku.
“Sekarang mama bakal ke sini, untuk jemput
kamu dan mama lagi ada di perjalanan, kira-kira nyampe sini jam 11.00 siang,”
Jawabnya.
“Kenapa mesti sekarang, kakak kan udah tahu kalau aku
bakal liburan sama guruku sekarang,” Tegasku dengan hati yang bimbang.
“Pokoknya kamu mesti milih, mau ikut
liburan sama guru apa sama mama, lagian kasihan kan
mama udah jauh-jauh dari Malang
cuma mau jemput kamu. Liburan sama guru kan
bisa kapan aja, dan kalau sama mama itu paling penting, soalnya bakal ada papa
tiri kamu yang baru.”
(suara mobil memanggilku untuk membukakan
pintu pagar rumah.
“Tuh, Lihat mama datang, pokoknya kamu
musti ikut ke Malang,
daripada di sini nggak ada yang ngejagain kamu,” Ujar kakak sambil mengintip
dari sudut kaca jendela.
Langkahku semakin berat, rasanya aku nggak
ingin bertemu dengan mama sekarang, apalagi di saat tegang seperti ini.
Kebingungan mulai memancar di mukaku karena situasi yang mulai menyudutkanku.
“Hei sayang, mana kakakmu dan Kenza?
Beresin dong rumahnya! kok berantakan gini, malu dong sama Papa?” pintanya
padaku dengan wajah tanpa dosa.
“Mah, jam berapa dari Malang, mana Papa?” Tanya kakakku.
“Oh tadi jam 5 subuh, mana Kenza …?”
“Itu, lagi dimandiin!” sahutku.
“Ohya, Vir tolong bikinin kopi ya buat Papa,
terus ini nih masakin telor buat makan, soalnya dari tadi Bapa belum makan,”
Suruh mama padaku.
“Itu kan ada nasi goreng!” sahutku.
“Ini kan udah dingin, kasihan Papa masa dikasih
nasi yang dingin,” Sambil membuka tudung saji yang ada di meja makan.
Rasanya ibuku nggak nyadar kalau beliau
memperlakukan aku sebagai pembantu, yang siap disuruh-suruh seenaknya. Padahal
aku belum persiapan untuk pergi berlibur dengan Bu Ranty. Aku nggak peduli Ibu
mau ngajak aku ke Malang.
Pokoknya aku nggak pernah bakal ikut Ibu karena aku tahu gimana rasanya di sana.
“Pa, ayo masuk?” Suruh kakakku.
“Vir, salam dong sama Bapa!” Pinta mama
padaku.
Akhirnya kuberikan senyum sapaku pada ayah
tiriku ini, sebenarnya tak ingin melakukannya. Tapi, ya sudahlah demi
menghormati mamahku.
“Vir,
kamu mau ikut nggak ke Malang
mumpung lagi liburan nih?” Tanya ayah tiriku.
“Iya, di sana enak lho, kamu sekalian ngebantuin mama
masak, nyapu halaman, ngerawat bunga anggrek Bapa, ngepel, nyuci piring.
Soalnya di sana
nggak ada pembantu, jadi Vira bisa bantuin mama disana,” Sahut mama.
Ketika aku akan menjawab pertanyaan ayah
tiri dan ibuku, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Ternyata Bu Ranty telah kunjung datang .
Suara bel berbunyi, dan akupun membukakan
pintu untuk Bu Ranty.
“Assalamu’alaikum!” salam Bu Ranty.
“Siapa, Vir?” Tanya Ibuku.
“Bu Ranty, guru Vira. Tadinya Vira nggak tahu kalau mama mau datang,
jadi Vira berniat untuk pergi liburan sama Bu Ranty,” Ujarku sambil membukakan
pintu.
“Walaikumsalam, “ salam balik keluargaku.
“Eh, rupanya sedang berkumpul, apa saya
mengganggu?” sahut Bu Ranty.
“Oh, silahkan masuk! Ibu ada perlu apa ya?”
Tanya sinis Ibuku.
“Boleh saya duduk?”
“Oh silahkan silahkan!” sahut ayah tiriku.
“Begini saya gurunya Vira, katanya Vira mengeluh
kalau selama liburan dia nggak betah tinggal di rumah, jadi saya berencana
untuk mengajak Vira untuk berlibur bersama saya. Ngomong-ngomong, Ibu baru
datang dari Malang
ya … ?” jelas Bu Ranty.
“Oh jadi begitu! Tapi, Bu Vira sekarang nggak bisa
ikut berlibur sama ibu, karena Vira mau ikut sama saya, lagian dia kan baru ketemu Ibunya
sekarang,” Ungkap Ibuku dengan nada tinggi.
“Vir, bawain minum dong buat Ibu guru!”
suruh kakakku.
“Nggak usah, lagian Ibu guru nggak akan
lama kok, iya kan
bu?” ujar ibuku.
“Ohya, terima kasih, nggak perlu
repot-repot kok ….” sahut Bu Ranty.
“Kok,
mama gitu sich, Vira nggak mau ikut sama mama, lagian mama nggak pernah
ngertiin perasaan Vira. Kenapa mama baru kali ini jemput Vira? kemana diri mama
selama ini? Ke mana mama di saat Vira sedih? Dan ke mana mama di saat Vira
butuh kasih sayang dari figur seorang ibu? Dan asal mama tahu aja, cuma Bu
Ranty yang bisa ngertiin Vira, dan cuma Bu Ranty yang selalu nemenin Vira
disaat suka dan duka …,” Bentakku pada ibu dengan deraian air mata. Aku malu
dengan sikapIbuku.
“Vir, bukan maksud mama ninggalin Vira
selama in,i tapi mama memang harus pergi dari segala masalah yang selalu
menghantui mama selama ini,” Jelas ibuku.
“Alasan mama nggak jelas, mama harusnya
ngerti kalau seorang anak hanya butuh kasih sayang dari seorang ibu, bukan
perintah. Selama ini mama selalu perintah Vira atau nyuruh-nyuruh Vira kayak
pembantu, emang Vira siapa? Mah, Vira ingin mama sadar kalau selama ini Vira
selalu terbebani dengan semua masalah, mama seakan-akan lari dari masalah, dan
mengalihkannya sama Vira.”
“Udah, Vir sebaiknya kamu ikut sama mama
kamu, lagian liburan kan
bisa kapan aja!” Bu Ranty menasehati.
“Nggak Bu, Vira cuma mau ikut sama ibu, maafin
Vira Ma? Vira tahu Vira jahat banget sama mama, tapi Vira Cuma ingin mama
ngerti kalau Vira nggak ingin keadaan
yang seperti ini. Lebih baik mama benahi kehidupan mama sendiri, sebelum mama
membenahi kehidupan Vira. Mungkin kalau mama ingin Vira pulang, mama mesti
turuti keinginan Vira dan mulailah berubah sikap.”
Tiba-tiba mama menangis dan bertekuk lutut
di kakiku, aku yang tadinya marah dan bersikukuh keras membenci Ibupun langsung
luluh. Aku segera mengangkat tubuh mamah. Kami tenggelam dalam nuansa haru biru, sementara Ibu Ranty
pergi dengan tersenyum di bibir manisnya.