“Sebenernya gue juga nggak mau pisah sama lo Fay, gue masih sayang banget sama lo tapi gimana nasib nyokap gue ntar kalo gue ketahuan masih hubungan sama lo, please maafin gue? Gue harap lo bisa nerima semua keputusan gue …”
Sepertinya kereta api Fayra telah
berlalu dan ia telah berangkat membawa penyesalan. Fayra, pacarku di Yogyakarta dan ia berencana untuk
menengokku dan saudaranya di Bandung .
Memang, sekolahku di Yogyakarta namun rumah orang tuaku ada di Bandung . Jadi ketika liburan aku selalu
pulang ke rumahku yang di Bandung .
Habisnya liburan di Bandung
lebih menyenangkan dibandingkan liburan di Yogya yang harus menghabiskan waktu
mendengar kicauan nenek sihir yang galak, ya … bude’-ku itu.
Hari ini aku terasa capek karena
semalaman aku ada prom night di rumah temanku, tapi tiba-tiba terdengar suara
telepon yang membisingkan telingaku, “kriiiiiiiing kriiiiiiiiing …. “ tak
seorangpun yang menjawab telepon itu. Memang sudah menjadi tradisi ibuku yang tidak
pernah menjawab telepon sehingga cuma aku dan adikku yang selalu menjawab
telepon yang berbunyi di rumah kami. Kenapa ibuku nggak ngangkat telepon? Ya … itu, ibuku suka ngomel kalau ada telepon buat aku dari
seorang cewek, jadi jangan heran kalau nggak ada satupun cewek yang berani
telepon ke rumahku.
“Hallo, assalamualaikum! Van, ini
Fayra?? Ini kamu khan … Cepet jemput aku di stasiun Kereta api
sekarang? Mamaku nyuruh aku pergi ke saudaraku yang ada di cicaheum tapi aku
ngak tahu tempat itu. Jadi, tolong jemput aku yach…?”Cerita Fayra ke Rivan lewat telepon.
“Aduh, Fay ini kamu?? Kirain aku siapa?
Emang sekarang kamu ada dimananya? Iya aku jemput kamu tapi khan sekarang masih
pagi banget lagian aku belum mandi, ntar aja jam 8-an aku jemputnya soalnya aku
nggak boleh pergi sama ibuku.”
“Please, dong Van aku udah lama
nungguin di pintu keluar. Aku takut nih kalau harus nunggu sendirian. Ya udah
kalau gitu aku datang ke rumah kamu deh, sekarang kamu tunjukkin arah jalan ke
rumah kamu ya!”
“Duh, jangan dong! Ya udah aku jemput
sekarang nih, tunggu aku ya!” kebingunganku memuncak.
Sebenernya aku bener-bener bingung
kalau harus pergi ke stasiun kereta karena ibuku melarang aku keluar rumah
pagi-pagi begini.
“Thanks, ya kamu emang pacarku yang
baik banget! Ya udah aku tunggu nih …
daagh.”
Udara tak enak memasuki tubuhku, aku
mulai kacau dan sulit berfikir. Aku nggak bisa berbuat apa-apa di hadapan ibuku
nanti, membayangkan suara keras ibuku saja sudah tak kuasa.
Tiba-tiba ibu melihatku dengan mata
yang tajam seperti burung elang yang akan menerkam mangsanya.
“Van, itu tadi telepon dari siapa?
Terus sekarang kamu mau pergi kemana? tanya ibuku dengan sangar.
“Euh … euh… anu tadi yang telepon temen Rivan dari
Yogya namanya Fay, minta dijemput ke stasiun sekarang.” mendadak aku jadi gugup
dan keringat mulai bercucuran di dahiku.
“Fay itu perempuan apa laki-laki? Awas
kalau itu sampai perempuan, ibu nggak bakalan ngijinin kamu pergi. Lagian ini kan masih terlalu pagi
mana kamu belum mandi lagi.” Sentak ibuku
“ Duh, bu ini gawat darurat. Fay nggak
tahu daerah Bandung
jadi Rivan diminta nganterin ke rumah saudaranya di Cicaheum. Please dong bu,
ijinin Rivan sekali ini aja …” pintaku dengan muka memelas.
Untungnya, aku bisa berfikir sehat sekarang, tapi Tuhan aku bohong sama ibuku
sendiri. Mungkin bohong untuk kebaikan nggak akan kualat kali.
Memang entah kenapa semenjak ayah dan
ibuku berpisah, ibu selau overprotected gitu sama aku apalagi kalau aku suka
bergaul dengan perempuan-perempuan di sekolah mungkin tamparan keras dan ocehan
caci maki ibu akan menjadi santapan makananku setiap hari. Aku bener-bener
bingung menghadapi ibu saat ini.
Sementara aku mengambil motorku di
garasi, suara bunyi telepon pun kembali berdering. “kriiiiiiiiiiiing kriiiiiiiiiing”
dengan terpaksa ibuku yang mengangkat telepon itu karena adikku masih tidur dan
aku mengambil motor untuk pergi menjemput Fayra.
“Hallo … hallo assalamualaikum!” Bisa bicara dengan Rivan.
“Hallo, Rivannya sedang pergi kalau
boleh tahu ini dari siapa ya dan ada keperluan apa sama Rivan.” tanya ibuku
sambil mengintrogasi penelepon tersebut.
“Oh… nggak ada ya … Ini dari ibunya Fay, saya menyuruh
Rivan untuk menjemput Fay di stasiun. Dan sekarang Fay sudah menunggu lama di
stasiun, Fay tidak tahu daerah Bandung
makanya saya meminta tolong pada Rivan untuk mengantarkannya ke rumah
saudaranya yang ada di Cicaheum.”
“Kalau boleh tahu anak ibu yang bernama
Fay laki-laki apa perempuan dan untuk apa menyuruh Rivan menjemput anak ibu,
kenapa nggak saudara ibu saja yang jemput Fay ke stasiun? Ibu sengaja ya
merepotkan anak saya, ibu nggak tahu kalau ini masih terlalu pagi untuk
menjemput anak ibu.”
“Ibu ini gimana sih, anak saya itu
Fayra jadi dia perempuanlah, kalau anak saya laki-laki saya nggak begitu
khawatir dengan keadaannya. Maaf, bu bukan maksud saya untuk merepotkan Rivan
dan keluarganya tapi kata Fay Rivan yang bersedia menjemput Fay di stasiun,
jadi saya tidak akan memaksakan kehendak anak saya.”
Ibuku langsung menutup teleponnya
dengan cepat dan segera berlari mengejar aku. Saat itu, ibu seperti banteng
yang telah menemukan kain berwarna merah yang terdapat didiriku sehingga
banteng tersebut langsung menyerudukku dengan tanduknya yang besar.
Keberuntungan ada di pihak ibukku, aku yang sedang menyalakan motor tiba-tiba
ibu datang menghampiriku dengan penuh kemarahan. Seakan-akan aku melihat ibu
seperti banteng yang bertanduk besar, memiliki mata yang merah tajam dan
dikepalanya penuh asap yang membara. Aku tidak bisa mengelak atau langsung
bergegas pergi karena kali ini aku benar-benar takut kualat.
“Van, mana kunci motornya ibu pinjam
sebentar….” Sentak ibu dengan muka mulai
memanas. Ketika itu aku benar-benar nggak tahu kalau ibu marah padaku karena
nggak ada kesalahan yang ada pada dirikku. Aku pun mulai bingung dan bertanya-tanya
ketika ibu menanyakan seperti itu.
“Ada
apa sih bu, ngapain liat-liat kunci motor segala padahal semua STNK udah ada di
Rivan kok jadi ibu tenang aja Rivan nggak bakalan ketangkep polisi.”
“Iya, ibu lihat dulu sebentar, kamu ini
bandel banget sih?!” sambil merampas kunci motor dari tanganku. Situasi yang
seperti ini yang nggak aku inginkan, sepertinya ibu tahu kalau aku bohong
padanya.
“Udah… sekarang kamu masuk kamar dan ibu nggak ngijinin kamu pergi
sama Fayra yang ngaku-ngaku jadi laki-laki itu, cepet …..”
“Tapi, bu itu khan bener-bener
laki-laki …. Bu, tolong ijinin Rivan pergi dong,
bu please …?” Rivan merengek ingin pergi.
“Kamu kecil-kecil udah bohongin ibu ya,
berarti kamu di Yogya sering ya bohongin Bude’-mu. Pokoknya ibu akan awasin
terus kelakuan kamu dan mulai sekarang jauhi Fayra untuk selama-lamanya.” Sentak
ibu sambil mendorong aku untuk pergi ke kamar.
“ Tapi, bu …… ?”
“ Pokoknya nggak ada tapi-tapian, kalau
kamu milih Fayra sekarang kamu boleh pergi dan nggak usah nginjek-nginjek rumah
ini lagi dan kalau kamu milih ibu sekarang kamu segera pergi ke kamar …?”
Memang tragis, aku dipukuli oleh ibuku
akibat kelakuanku sendiri dan aku pun menangis kesakitan. Telepon yang selalu
berdering pun akhirnya kabelnya dicabut oleh ibu. Selama 3 hari aku nggak
pernah beranjak dari kamar tidurku, mengisi perutnya dengan sesuap nasi pun
nggak pernah aku lakukan karena aku benar-benar takut kalau harus menghadap ibu.
Memang aku laki-laki dan laki-laki nggak boleh pengecut. Tapi aku nggak mau
kualat untuk kedua kalinya. Mungkin benar, kereta api Fayra pun telah berlalu
membawa penyesalan yang teramat dalam. Habisnya mau bagaimana lagi, aku nggak
bisa mempertahankan hubunganku dengan Fayra.
Liburan pun hampir habis, 2 hari
sebelum masuk sekolah aku pun berangkat ke Yogya untuk sekolah dan meninggalkan
semua kemarahan ibu padaku. Sesampainya di Yogya, aku ingat bahwa sekolahku
mengadakan event perpisahan sekolah yang diadakan oleh OSIS dan kebetulan aku
menjadi ketua panitia event tersebut. Mau nggak mau, aku harus mempersiapkan
segala sesuatunya dengan menginap di sekolahan.
Sebelum pergi ke sekolah, aku diceramahi
dulu sama pade’ dan bude’-ku. Benar-benar kesal, setiap pulang ke Yogya pasti
dapat kicauan nenek sihir.
“Rivan, dengerin bude’, ibu kamu udah
bilang semuanya dan mulai hari ini sampai seterusnya kamu bude’ awasin di
sekolah. Kalau ternyata kamu hubungan lagi sama Fayra, bude’ nggak akan
segan-segan buat laporin sikap kamu ke ibu kamu dan terpaksa ongkos kamu ke
sekolah bude’ potong 50%.”
“Bude’ kok gitu sih, kalau dipotong 50%
berarti cuma 2000 dong, terus gimana ongkos ke sekolah masa jalan kaki … !”
“Pokoknya bude’ nggak mau tahu, bude’sama
pade’ cuma ngejalanin perintah dari ibu kamu.”
“Iya, lagian kalau nggak mau sengsara
ya udah tinggal putusin aja si Fayra itu, pade’ pasti nggak bakalan
motong-motong uang jajan segala.” Sambung pade’ yang ikut-ikutan menceramahi
aku
“Tapi, Pade’?”
“Udah sana masuk kamar!” Memang dasar hidupku sial,
kenapa nggak ada seorang pun yang mengerti akan perasaan aku sekarang.
Esok harinya di sekolah, aku nggak
menyangka bahwa anak-anak OSIS begitu sangat marah ketika aku nggak membantu mereka
pada waktu liburan kemarin. Memang khusus panitia seharusnya nggak ada yang
liburan tapi aku hanya datang pada waktu sehari sebelum hari H yaitu hari ini.
Sepertinya kesialan akan menimpa dirikku sebentar lagi.
“Van, lo nyadar nggak sih kalau lo
bener- bener kelewatan? Enak-enaknya lo di Bandung sementara kita harus ngurusin segala
sesuatunya dari urusan panggung, sound system, MC, pengisi acara sampai
pendekoran. Dan lo hari ini datang tinggal enaknya, tahu nggak?” bentak Alvin ketua pelaksana
event perpisahan ini.
“Iya, dasar nggak tahu diri banget sih,
seharusnya lo itu ngejabat jadi seksi keamanan yang kerja pada hari H doang. Nah
ini ketua, nggak tahu malu banget sih. Udah lepas aja jabatan ketuanya …?” sambung Gasan
“Maaf dong … maaf dengerin dulu penjelasan dari gue, gue tuh nggak ada
maksud apa-apa. Gue cuma pengen kalian semua dengerin dulu penjelasan gue baru
kalian boleh vonis gue apa aja.” Aku berusaha untuk menyangkalnya dan berusah
untuk memberikan penjelasan.
Tiba-tiba aku dibawa keluar oleh
teman-temanku dan Anna serta Alvin
membawa sekantong terigu, telor, kecap, dan satu gelas jus untuk disiramkan ke
mukaku.
“Udah deh nggak perlu ada penjelasan
dan kita semua nggak bakalan maafin kamu untuk selamanya.” Bentak Anna Sambil
mengguyur kepalaku dengan semua barang-barang yang ia bawa.
Kemudian anak-anak pun berteriak histeris
dengan berkata “HAPPY BIRTHDAY” selamat ulang tahun Rivan.
Aku menangis terharu dan tak tahan
melihat semua yang aku alami saat ini. Aku benar-benar lupa kalau hari ini adalah
hari ulang tahunku. Aku pun nggak lupa buat ngucapin terima kasih sama
temen-temen yang udah berhasil ngerjain aku. Sukses berat untuk teman-temanku,
mereka benar-benar mengerti akan keadaanku saat ini.
“Van, met ultah ya semoga lo panjang
umur ‘n banyak rezekinya.” Ucap Anna.
“Thankz banget ya, Na?”
“Van, lo jangan marah ya, gue mau tanya
sesuatu sama lo?”
“Nanya apa?”
“Gini … apa lo masih hubungan sama Fayra?” tanya Anna dengan muka
gugup.
“Ya … iyalah, kamu ini gimana sih?!”
“Bukannya gitu, sebelum liburan pas
kita pergi bareng buat beli keperluan dekor, lo liat cewe sekolahan kita khan
yang lagi pacaran sambil pegang-pegangan tangan sama cowo.”
“Ya liatlah, tapi gue nggak kenal siapa
cewe itu soalnya jaraknya jauh dan sedikit kabur gitu, emang kenapa?”
“Cewe itu … cewe itu Fayra, Van?”
“Sumpah lo, Na? Masa sih Fayra, gue
bener-bener nggak percaya sama apa yang kamu bilang. Mana buktinya kalau itu
bener-bener Fayra?”
“Gue punya bukti foto yang ada di HP
gue.” Sambil menyodorkan HP-nya.
“Coba liat, kapan lo ngambil gambar
mereka kok gue nggak lihat sih?”
“Pas lo beli styrofoam di toko plastik,
gue langsung menuju tempat cewe yang gue lihat itu. Dan ternyata itu
bener-bener Fayra.” Ungkap Anna dengan tegas.
“Ya … Tuhan, Na ini benar-benar Fayra, kok dia tega sich sama
gue? Thankz ya, Na? Lo benar-benar teman gue yang paling baik.”
“Eh, jangan salah informasiku itu harus
ada bayarannya. Tapi, Van lo jangan sedih ya dengan semua yang udah gue
certain. Kalau ada apa-apa lo bisa curhat kok ke gue.”
“Thankz lagi, kalau nggak ada lo gue
nggak tahu harus berbuat apa? Sekarang kita terusin kerjaan kita ya …”
Aku bener-bener nggak nyangka Fayra
tega berbuat seperti itu sama aku padahal aku benar-benar sayang sama dia. Ini
semua nggak bisa dibiarkan, sekarang aku punya alasan untuk memutuskan
hubunganku dengan dia dan membawa semua bukti yang ada.
Ketika itu, aku berada di lapangan
sedang mendekor panggung bersama teman-temanku yang lain. Tapi, tiba-tiba
sesosok cewe datang menghampiri dari kejauhan dan sebuah tamparan melewati
pipiku. Ya … itu adalah tamparan keras dari Fayra …
“Dasar cowo nggak tahu diri, selama ini
gue udah korbanin banyak buat lo tapi mana hasilnya nggak ada satupun balesan
dari lo? Buat ngejemput gue aja di stasiun lo nggak bisa apalagi ngangkat
telepon dari gue, dasar cowo aneh!” Bentak Fayra.
Mungkin Fayra ingin memberikan ucapan
ulang tahun dengan cara seperti ini, aku benar-benar terharu walaupun kemarin
aku telah menyakiti Fayra tapi Fayra masih bisa memberikan ucapan itu. Tapi aku
nggak bisa melupakan semua kelakuannya terhadapku, mungkin aku harus melupakan
semua perkataan Anna dulu karena Fayra sudah bisa menyempatkan dirinya untuk
memberikan ucapan selamat padaku.
“Udah deh, gue tahu lo mau ngejailin
gue kan kayak
temen-temen gue barusan.”
“Idih … geer banget lagian ngapain gue iseng tampar lo segala,
dasar kurang kerjaan. Lo tuh bego apa pura-pura bego sich masa nggak inget
waktu gue minta lo jemput di stasiun Bandung
sampai gue rela nungguin 5 jam, tau nggak?”
“Tapi, nggak apa-apa deh aku maafin
sikap kamu kemarin, sekarang selamat ulang tahun ya … dan kamu terima kado ulang tahun dariku khusus buat kamu.”
Tapi, aku harus mengambil keputusan
sekarang juga, nasibku dan ibuku ada di tanganku. Walaupun Fayra telah berbaik
hati tapi aku nggak bisa melanjutkan hubunganku ini.
“Oooh yang itu maaf, gue nggak ada
maksud dan sebaiknya lo nggak usah ngedeketin gue lagi untuk selamanya…?! Terima kasih juga untuk kadonya dan aku nggak bisa
menerima pemberian darimu, simpan saja untuk pacarmu yang ada di SMA lain.”
“Apa lo bilang, gue kan masih sayang sama lo walaupun lo udah
banyak nyakitin gue? Dan maksud lo apa dengan pacar dari SMA lain?”
“Jangan bohong, terus terang aja, lo
udah punya cowo kan
selain gue. Buktinya ada di HP ini dan gue nggak akan marah kok asal lo kasih
tahu gue yang sebenarnya.”
“Maafin gue ya, gue selingkuh di depan
lo, tapi gue masih tetap milih lo kok, buktinya sekarang gue udah putusin cowo
gue itu. Please, kita bisa perbaiki hubungan kita kok? Dan kalau memang nggak
bisa, plase terima kado gue yang terakhir.”
“Thankz buat semuanya, Fay …. ?”
Aku berlari menuju Ruang OSIS dan
teman-temanku pun mulai bengong melihat kita berdua bertingkah aneh nggak
karuan kayak anak kecil. Fayra pun berlari menuju gerbang sekolah sambil
menangis tersedu-sedu.
“Rivan, gue nggak bisa nerima semua
keputusan lo itu karena gue masih terlalu sayang untuk pisah dari lo … Van, please jangan putusin gue.” Teriakan Fayra memenuhi
telingaku.
“Sebenernya gue juga nggak mau pisah
sama lo Fay, gue masih sayang banget sama lo tapi gimana nasib nyokap gue ntar
kalo gue ketahuan masih hubungan sama lo, please maafin gue? Gue harap lo bisa
nerima semua keputusan gue …”