Sabtu, 21 April 2012

REORIENTASI JATI DIRI MELALUI EMPAT PILAR KEBANGSAAN DALAM RANGKA “NATION AND CHARACTER BUILDING”


Abstrak

Reformasi telah dijalani rakyat Indonesia lebih dari satu dasawarsa terakhir, namun semakin hari wajah bangsa makin nampak suram. Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis multidimensional yang berkepanjangan disebabkan karena kekeroposan fundamental ekonomi. Krisis kepercayaan pada pemerintah berujung pada maraknya upaya pemaksaan kehendak dan intoleransi, yang bisa berujung pada radikalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait dengan konstitusionalisme dijadikan alasan kuat sebagai alat pemersatu bangsa dan wadah yang efektif dalam kemampuan resolusi konflik. Sebagaimana termaktub dalam UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 15 ayat 1 huruf e, dimana ayat ini mengamanahkan kepada pimpinan MPR untuk mengoordinasikan sosialisasi berbagai perubahan yang terjadi pada UUD NRI tahun 1945. Namun, melihat semakin melunturnya nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme di tengah masyarakat yang sangat menghkawatirkan, maka Pimpinan MPR akhirnya bersepakat mengemas pelaksanaan sosialisasi tersebut menjadi sosialisasi 4 pilar meliputi Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai reorientasi jati diri bangsa dan menumbuhkan karakter bangsa. Reorientasi pertama adalah proses penemuan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai dengan apa yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Reorientasi kedua adalah pemetaan posisi Indonesia di zaman globalisasi dimana kecenderungan masyarakat Indonesia yang senantiasa hidup konsumtif harus lebih diwaspadai. Reorientasi ketiga adalah pengokohan kembali empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika yang sudah menjadi acuan kehidupan masyarakat Indonesia sedari dulu dengan semangat kesatuan dan kebangsaan yang diharapkan semakin melekat.

Kata Kunci : Konstitusionalisme, 4 Pilar Kebangsaan, reorientasi jati diri, karakter bangsa

Pendahuluan
Reformasi telah dijalani rakyat Indonesia lebih dari satu dasawarsa terakhir, namun semakin hari wajah bangsa makin nampak suram. Reformasi yang dijalankan tidak pernah menyentuh akar permasalahan yang kita hadapi saat ini, yakni persoalan korupsi yang semakin merajalela, kelemahan penegakan hukum, pembangunan sistem yang tak seimbang disertai terkikisnya konstitusionalisme ditandai dengan berbagai penyimpangan sosial. Saat ini, konsep SDA semakin digunakan bukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tetapi dimanfaatkan oleh segelintir orang yang biasa disebut dengan kaum elite dan pengusaha dan korporasi termasuk pihak asing. Sementara itu, SDM semakin lembek, karakternya semakin luntur, etos kerja menurun dan semakin dirasa memperhambat produktivitas. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang didasarkan pada keutuhan bangsa yang Ika─ yang satu, sekalipun amat disadari terdiri dari pluralitas suku bangsa, agama, budaya dan bahasa kini semakin terusik dengan berbagai gerakan yang bersifat primordialisme. Negara semakin berdiri di atas kepentingan minoritas dengan proses pembentukan paradigma matrealistis. Terlebih lagi kekerasan yang mengatasnamakan agama, pelecehan agama dengan bentuk aliran sesat dan konflik yang terjadi berlarut-larut akibat kepentingan pribadi yang berujung pada masalah bersama. Indonesia seolah semakin dipaksakan untuk menjadi Ika, menjadi seragam tanpa menghormati kebhinnekaan. Nilai-nilai luhur Pancasila pun sudah tak lagi dirasakan keberfungsiannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlepas dari semua ini banyak yang harus kita kaji bersama dan pahami bersama sebagai negara kesatuan yang memiliki sikap-sikap tradisi bangsa kita yaitu dengan sikap nasionalisme, sikap cintah tanah air, sikap gotong royong. Kesemua sikap itu perlu untuk memunculkan karakter nasional yang nantinya mengarah pada bangsa yang berkarakter dan bermartabat.


Tantangan Konstitusionalisme Indonesia
Dewasa ini, bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensional yang berkepanjangan disebabkan karena kekeroposan fundamental ekonomi. Berawal dari krisis perekonomian yang ditandai dengan depresiasi rupiah (krisis moneter), kemudian menjadi krisis kepercayaan (confidential crisis) kepada pemerintah Republik Indonesia. Hal ini tercermin pada kurs rupiah yang cenderung meningkat, yang berdampak pada harga-harga dan menurunnya kegiatan produksi serta investasi di dalam negeri. Pada dasarnya, krisis moneter memang bukan disebabkan oleh efek ketularan (contagion effect), namun efek tersebut juga sedikit banyak berpengaruh sebagai faktor pemicu.
Krisis kepercayaan pada pemerintah berujung pada maraknya upaya pemaksaan kehendak dan intoleransi, yang bisa berujung pada radikalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Realita tersebut sangatlah berbenturan dengan nilai luhur Pancasila dan sebagai bentuk pengingkaran konkret terhadap komitmen kebangsaan yang telah lama terbentuk. Semakin terabaikannya nilai-nilai luhur Pancasila dalam berbagai sendi kehidupan, tak terlepas dari pengaruh zaman globalisasi dan teknologi yang tidak hanya menimbulkan disorientasi sosial dan menjadi penyebab lunturnya identitas nasional serta jati diri bangsa yang termaktub dalam Pancasila.
Di tengah berbagai hal yang menjadi tingkat capaian bangsa, nampak berbagai persoalan yang mengancam pilar-pilar kekuatan bangsa. Dengan kondisi yang multikultural, Indonesia selalu terlibat konflik dan kekerasan sosial yang dipicu perbedaan latar belakang etnis, primordialisme, dan agama. Padahal Indonesia kerap memiliki sikap toleransi dan gotong royong yang menjadi karakter asli bangsa ini, namun tengah luntur karena penetrasi pemikiran dan tindakan pragmatis individualistis.
Parsudi Suparlan (Al Muchtar, 2006:93) mengatakan bahwa realitas pluralitas masyarakat Indonesia secara sosiologis terdiri lebih kurang dari 500 kelompok dimana secara kultural setiap kelompok etnis mempertahankan identitas dan budayanya serta memiliki kecenderungan yang sangat kuat mengklaim wilayah etnisnya, dalam tataran komunitas etnis yang homogen. Sementara itu etnisitas memiliki potensi dapat merusak tatanan sosial sebuah komunitas atau masyarakat secara umum. Kemunculan konflik berdarah yang sering kita dengar disebabkan pada permasalahan etnisitas yang menyebabkan pola persaingan interaksi sosial yang tidak sehat. Biasanya, konflik etnis ini mengarah pada ketegangan antara etnis satu yang memiliki keinginan kuat untuk menindas etnis lainnya sehingga menjadi penyebab utama desintegrasi sosial.
Terkait dengan konstitusionalisme dijadikan alasan kuat sebagai alat pemersatu bangsa dan wadah yang efektif dalam kemampuan resolusi konflik. Tak ayal konstitusi negara Indonesia secara tidak langsung dapat memperkuat integrasi sosial dalam tataran multikulturalisme yang berbentuk pada kesadaran kolektif. Konsepsi konstitusionalisme pada hakekatnya berkaitan erat  dengan konsesus mengenai bagaimana bangunan dan mekanisme sistem bernegara yang di dalamnya berkaitan dengan pembatasan dan pendistribusian kekuasaan negara secara sistemik (Muchtar, 2006:101). Hal ini berarti yang menjadi tujuan khusus konstitusi dan keberagaman tujuan masyarakat harus diselaraskan terkait konsesus sehingga mewujudkan tujuan bersama dalam rangka mewujudkan kepentingan bersama.
Namun, ada beberapa hal permasalahan konstitusionalisme yang dapat dirumuskan sebagai akar permasalahan yang perlu pemecahan segera, yaitu:
1)  Pemahaman dan pengaplikasian konstitusi seringkali dirasa kurang nampak pada masyarakat Indonesia karena belum adanya kesadaran individu yang melingkupi kesadaran kolektif. Hal yang menjadi kekhawatiran tersendiri ketika pemuda Indonesia yang menjadi penerus bangsa, tak lagi memperdulikan bagaimana konstitusi itu berada di tengah-tengah mereka yang seharusnya dijadikan ruh nasional.
2)  Konstitusi seringkali berbenturan dengan peraturan-peraturan perundang lainnya sehingga ada undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya perlu dilakukan pengujian kembali (judicial review) oleh Mahkamah Konstitusi.
3)  Kualitas Undang-Undang yang dihasilkan DPR kurang memadai sehingga kurang nampak kebermanfaatannya secara langsung bagi kehidupan masyarakat Indonesia dan kurang adanya transparansi terhadap proses pembahasan yang dijalankan DPR dalam pengajuan RUU sehingga memberi kesan sempit pada masyarakat Indonesia.
4)  Adanya keterlibatan kepentingan politik segelintir orang yang mempengaruhi kecenderungan dalam proses penegakan hukum sehingga menimbulkan keganjalan publik terutama kekecewaan masyarakat terhadap supremasi hukum di Indonesia.

Dari sekian banyak permasalahan konstitusionalisme, yang paling kritis dan strategis untuk segera dirumuskan pemecahannya adalah kurangnya pemahaman dan pengaplikasian konstitusi. Seandainya krisis pemahaman dan pengaplikasian konstitusi ini dibiarkan maka akan berbahaya pada pengembangan kerangka pemikiran masyarakat Indonesia di masa depan. Pembentukan pemahaman konstitusi ini harus dilakukan kepada masyarakat dini yang disadari penuh nantinya mempengaruhi konteks kehidupan nyata sehingga memberikan banyak manfaat tersendiri. Pembentukan pemahaman ini dilakukan dengan mempertegas kembali konstitusi yang murni dengan bentuk sosialisasi nyata kepada masyarakat Indonesia. Dengan proses pemahaman konstitusi secara utuh diharapkan dapat membangun kembali karakter masyarakat yang asli sebagai bangsa yang cerdas dan bermartabat.

Berbagai Permasalahan Karakter Bangsa
Tak pernah terdengar ada suatu bangsa hidup terpisah dari akar tradisinya namun tak ada pula suatu bangsa yang hidup tanpa pengaruh dari luar. Namun, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki kelekatan budaya dan dapat mengadaptasi serta menyaring unsur budaya luar dengan tidak mengindahkan nilai kearifan lokal yang dimiliki. Penguatan karakter bangsa akan mempengaruhi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara tidak langsung karakter bangsa yang utuh akan menampilkan NKRI yang kokoh. Penguatan karakter sersebut diperoleh dari empat pilar kebangsaan.
Istilah karakter bangsa, dalam bahasa Barat identik dengan “nation character” yang tak pernah lepas dari masalah psikologi sosial. Devos dalam Budimansyah & Karim Suryadi (2008:77) mendefinisikan karakter bangsa yaitu “The term national character is used to describe the enduring personality characteristics and unique life style found among the populations of particular national states. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa karakter bangsa berguna untuk menggambarkan ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang unik diantara penduduk negara bangsa tertentu. Karakter bangsa tersebut dikaitkan dengan kepribadian maka mernjadi bagian dari masalah psikologi yang dianggap sebagai istilah yang abstrak. Artinya dalam konteks perilaku yang terikat oleh beberapa aspek budaya yang menjadi karakteristik khas masyarakat tertentu.
Karakter bangsa tercermin dalam budaya bangsa berupa bahasa, tarian, tradisi khas dan adat istiadat yang melekat dalam psikologi masyarakat tertentu dalam suatu negara. Internalisasi karakter bangsa seharusnya tetap melekat hingga sekarang sebagai perwujudan nilai-nilai bangsa yang patut dijunjung tinggi. Namun, beberapa kasus-kasus yang terjadi seperti kekerasan, korupsi, pembunuhan, perampokan dan tindakan-tindakan amoral lainnya  Degradasi karakter yang ditunjukkan bangsa Indonesia ini semakin berujung pada melemahnya identitas bangsa sebagai bangsa yang bermartabat. Hal yang perlu menjadi pemikiran bersama dalam pemecahan krisis multidimensional yang terjadi sekarang ini harus dirancang dengan penemuan jati diri yang kemudian dibangun dengan ideologi dalam rangka melindungi jati diri sehingga menghasilkan suatu bentuk psikologi nyata yang tumbuh di masyarakat sebagai karakter bangsa dan merupakan hasil cerminan dari jati diri bangsa tersebut.
Ginanjar, Ary (Sumodiningrat, 2005:xi) mengemukakan tentang adanya hubungan yang signifikan antara jati diri sesungguhnya yang merupakan sebuah “input”, kemudian ideologi sebagai “proses” dan karakter bangsa sebagai “output” atau hasil.
Rangkaian tersebut secara pragmatis memiliki kesatuan integral dalam perwujudan diri bangsa Indonesia diantaranya adalah jati diri, ideologi dan karakter bangsa. Ketiga rangkaian tersebut menjadi hierarkis secara jelas dimulai dari jati diri dibentuk dengan ideologi kemudian menghasilkan output sebagai karakter bangsa. Tak ayal, pemaparan tentang krisis karakter bangsa bersumber dari krisis jati diri yang secara tidak langsung tercipta krisis karakter dan ideologi.
Berikut pemaparan Ginanjar, Ary (Sumodiningrat, 2005:xii) terkait permasalahan krisis jati diri bangsa, krisis ideologi, krisis karakter dan krisis kepercayaan.
1.    Krisis Jati Diri Bangsa
Krisis jati diri bangsa dimulai dari krisis jati diri individu yang kemudian menjadi krisis kolektif. Secara umum krisis jati diri bangsa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu, ketidakmampuan mengenal diri dan berasal dari pengaruh luar.
2.    Krisis Ideologi
Kegagalan melakukan (inner journey) dalam menemukan jati diri akan mengakibatkan pula ketidakpahaman alasan pribadi dimana akan muncup pertanyaan bahwa mengapa manusia membutuhkan sebuah ideologi sehingga manusia tidak lagi memiliki dorongan untuk memiliki ideologi yang cocok dengan jati dirinya. hal ini perlu dipahami bahwa ideologi adalah sebuah instrumen yang dibutuhkan menjadi “pegangan” dari sebuah jati diri, sehingga ideologi menjadi sebuah kebutuhan bukan doktrin.
3.    Krisis Karakter
Karakter sesungguhnya adalah aplikasi konkret dari nilai-nilai sebuah jati diri. jati diri bersifat nonmaterial atau spiritual sedangkan karakter adalah “tangible” yang bersifat fisik spiritual yang sudah berada pada dimensi luar. Inilah output dari sistem ideologi dan penemuan jati diri. jadi krisis jati dirilah sumber dari semua krisis karakter bangsa. Karakter yang mengalami krisis adalah karakter yang telah keluar dari batas-batas garis orbit suara hati yang bersifat universal dan spiritual. Krisis karakter adalah perilaku yang bertolak belakang dengan suara hati (self conscience) meskipun dikatakan logis.
4.    Krisis Kepercayaan
Krisis kepercayaan sesungguhnya terjadi karena tidak adanya “value” dan “basic principle” yang dapat dijadikan pegangan oleh suatu bangsa. “value” dan “basic principle” yang ada pada masyarakat bersifat global dan universal, ia tidak hanya menjadi nilai dan hukum alam akan tetapi tertulis juga pada kalbu manusia pada dimensi spiritual (God Spot) berupa kehendak Ilahiah (will). Jadi, krisis kepercayaan adalah krisis keyakinan akan eksistensi Tuhan Sang Pemilik Nilai.

Kesuluruhan pemaknaan krisis di atas mencakup pada bertambah rumitnya pemetaan masalah yang didasarkan pada kehidupan konkret manusia. Sehingga yang memiliki sumber paling utama dari permasalahan krisis hidup manusia secara berkepanjangan ini adalah proses penemuan jati diri yang belum optimal. Hal ini dirasakan bukan pada ideologi bangsa atau karakter bangsa itu sendiri melainkan konsep jati diri yang melekat sebagai paradigma yang seharusnya dipegang oleh setiap manusia. Upaya dalam pemecahan krisis yang berkelanjutan ini harus didasarkan pada proses yang matang dan menyeluruh dimana kita harus mampu membaca realitas secara substansial. Solusi yang dibutuhkan adalah solusi dengan kemampuan berpikir panjang, bukan solusi dengan logika yang serba “instan” tanpa melihat “value” yang sesungguhnya sehingga permasalahan kecil akan semakin bertambah besar ketika melalui jalan yang cepat.


4 Pilar Kebangsaan: Reorientasi Jati Diri Bangsa
Seperti kita ketahui, bahwa penguatan karakter bangsa akan berpengaruh pada eksistensi NKRI secara utuh. Konsep konstitusionalisme yang sudah kita bahas sebelumnya menjadi acuan utama dalam proses penemuan jati diri bangsa yang sesungguhnya. Hal ini sebenarnya sudah dirasakan sejak zaman dahulu, namun berbagai tantangan yang terjadi pada masa sekarang mengakibatkan lemahnya karakter dan ideologi bangsa sehingga adanya ketidaktemuan jati diri itu sendiri. Rasa nasionalisme, toleransi, gotong royong dan cinta tanah air sulit kita temui saat ini karena keterbatasan kesadaran kolektif yang dipicu sifat individualistis di kalangan menengah ke atas.
Sebagaimana termaktub dalam UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 15 ayat 1 huruf e, dimana ayat ini mengamanahkan kepada pimpinan MPR untuk mengoordinasikan sosialisasi berbagai perubahan yang terjadi pada UUD NRI tahun 1945. Namun, melihat semakin melunturnya nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme di tengah masyarakat yang sangat menghkawatirkan, maka Pimpinan MPR akhirnya bersepakat mengemas pelaksanaan sosialisasi tersebut menjadi sosialisasi 4 pilar meliputi Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai reorientasi jati diri bangsa.

I. Pancasila
Bentuk capaian demokrasi yang paling penting itu yang dihasilkan oleh (founding fathers) Indonesia, tiada lain adalah Pancasila. Pancasila simbol nilai secara majemuk dijadikan landasan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ubae
Ubaidillah & Abdul Rozak memaparkan bahwa Pancasila merupakan sebuah pandangan hidup Indonesia yang terbuka dan bersifat dinamis. Sifat keterbukaan Pancasila dapat dilihat pada muatan Pancasila yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai keindonesiaan yang majemuk dan nilai-nilai bersifat universal”. Nilai-nilai dasar universal dari Pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

1.    Esensi Nilai dalam Pancasila
a)   Esensi nilai dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa
Sila ini mengandung makna bahwa setiap manusia Indonesia harus memiliki keyakinan atau kepercayaan yang bersifat transendental artinya memiliki hubungan khusus antara manusia dengan Tuhan. Dalam hal ini, manusia mengetahui segala nilai yang bersumber dari Tuhan karena pada hakekatnya manusia diciptakan Tuhan agar mereka mau beriman dan bertakwa kepada-Nya. Selain itu, Indonesia memiliki pluralitas agama yang memiliki ciri khas masing-masing. Sila ini mencerminkan bahwa adanya hubungan baik antar umat beragama agar tercipta kehidupan yang damai.
b)   Esensi nilai dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti sifat atau ciri kodrat manusia yang dapat dilihat dari hasil tindakan manusia secara manusiawi. Keseluruhan perbuatan harus berdasarkan pada tindakan yang berperikemanusiaan. Maka dalam konteks pendidikan selalu didasarka pada proses humanisasi yang berarti memanusiakan manusia. Sehingga tindakan tersebut sesuai dengan hakekat manusia yaitu kemanusiaan.
c)    Esensi nilai dalam sila persatuan Indonesia
Nilai persatuan Indonesia mengandung makna upaya bersatu yang dilakukan manusia Indonesia dalam konteks kemajemukan sebagai pemersatu integritas bangsa. Persatuan Indonesia dijadikan jaminan pengakuan dan penghargaan terhadap bentuk realisasi yang sesungguhnya dalam menyelesaikan berbagai konflik yang ada.
d)   Esensi nilai dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna bentuk demokrasi Indonesia sesungguhnya yang mengusung pada suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Keberadaan negara di sini adalah tiada lain untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan menjadikan rakyat Indonesia sebagai rakyat yang memiliki jiwa demokratis.
e)    Esensi nilai dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah ataupun batiniah. Bangsa yang adil adalah bangsa yang memiliki penghargaan tertinggi bagi masyarakatnya tanpa harus adanya pembedaan secara substansial.

Nilai-nilai Pancasila di atas menjadi tolak ukur yang jelas dalam penjabaran ke dalam nilai instrumental. Nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara Indonesia.

II. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat tertuang tujuan negara adalah “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia” hal ini merupakan tujuan pokok Negara. Kemudian dirumuskan “Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” hal ini merupakan tujuan Negara hokum material, yang secara keseluruhan sebagai tujuan khusus atau nasional.
Adapun tujuan umum atau internasional adalah “ikut melaksanakan ketertiban Dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Perlu adanya pencapaian tujuan tersebut secara spesifik yang nantinya akan berpengaruh pada perilaku hukum masyarakat yaitu dengan adanya aturan-aturan yang kemudian diataur dalam pasal-pasal, maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegera semestinya mentaati aturan yang sudah diundang-undangkan.

III.    NKRI
Seperti yang kita ketahui bahwa syarat berdirinya sebuah negara itu ada empat, yaitu adanya penduduk, adanya wilayah, adanya pemerintahan dan adanya pengakuan dari negara lain. Atas dasar pemenuhan persyaratan itulah kemudian Negara Indonesia lahir dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pahlawan bangsa ketika prose kemerdekaan berlangsung dan mereka bertekad mempertahankan keutuhan bangsa. Sebab itu, NKRI merupakan prinsip pokok, hukum, dan harga mati yang harus dijunjung penuh hingga saat ini. NKRI hanya dapat dipertahankan apabila pemerintahan adil, tegas, dan berwibawa. Dengan pemerintahan yang adil, tegas, dan berwibawalah masalah dan konflik di Indonesia dapat diselesaikan. “Demi NKRI, apa pun akan kita lakukan. NKRI adalah hal pokok yang harus kita pertahankan.

IV.    Bhineka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah perekat semua rakyat dan semua kepulauan yang ada di Indonesia. Semboyan ini dijadikan sebagai alternatif kebijakan dalam memahami realitas multikultural yang bukan dijadikan sebagai pemahaman kata-kata melainkan pemahaman yang mendalam karena betapa besarnya makna yang terkandung di dalamnya. Bhineka Tunggal Ika merupakan frasa yang berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14 yang mengajakan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini kemudian di terjemahkan ; “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Hal ini disebabkan kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal.” Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.  Artinya, walapun bangsa Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda baik dari suku, bahasa, agama, budaya dan adat istiadat tetapi mereka adalah bangsa Indonesia. Namun, saat ini Bhineka Tunggal Ikamulai tergerus oleh tindakan-tindakan perpecahan yang mengakibatkan konflik berkepanjangan. Hal ini menjadi kekhawatiran bangsa Indonesia pada tataran persatuan Indonesia yang mulai melemah.

Dari keempat pilar kebangsaan di atas, perlu didukung oleh reorientasi yang jelas sehingga pemaknaannya tidak dijadikan salah kaprah oleh semua pihak. Penulis berasumsi bahwa pemahaman yang utuh adalah pemahaman yang didukung atas pemahaman bersama tanpa mengindahkan “value” di dalamnya. Sehingga pemahaman tersebut menjadi reaktif yang jelas dan diharapkan nantinya mampu menjadi respon yang positif dengan tindakan yang nyata. Maka, reorientasi sebenarnya dimana kita melihat proses penemuan jati diri itu sendiri yang nantinya menentukan tujuan kita. Kita tak perlu mencari banyak penemuan kesalahan di masa lalu sehingga menjadi sasaran yang tak pernah bisa lagi dielakan. Namun, hal yang perlu dijadikan pemahan di sini bahwa kesalahan masa lalu tidak perlu diulang kembali dan mulaliah mencari titik temu solusi dari setiap kesalahan tersebut. Proses berpikir panjang yang sulit kita temukan pada masyarakat Indonesia saat ini seharusnya digalakan kembali guna masa depan yang dinanti.
Reorientasi pertama adalah proses penemuan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai dengan apa yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Proses penemuan jati diri dilakukan oleh setiap individu yang nantinya berkembang ke arah kesadaran kolektif. Hal ini bertujuan sebagai perwujudan yang jelas dan mengarah pada tindakan yang sesuai dengan jati diri sebenarnya.
Reorientasi kedua adalah pemetaan posisi Indonesia di zaman globalisasi dimana kecenderungan masyarakat Indonesia yang senantiasa hidup konsumtif harus lebih diwaspadai. Teknologi tanpa batas dan pengetahuan yang semakin tinggi semakin membodohkan orang lain. Realita tersebut tak bisa dipungkiri lagi terlebih manusia saat ini mampu menelan manusia lainnya dalam hal kepentingan politik. Sehingga dalam membangun kembali Indonesia dilakukan pemetaan secara proporsional sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana keberfungsian dirinya di mata orang lain, masyarakat, agama, serta kehidupan berbangsa dan bernegara.
Reorientasi ketiga adalah pengokohan kembali empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika yang sudah menjadi acuan kehidupan masyarakat Indonesia sedari dulu dengan semangat kesatuan dan kebangsaan yang diharapkan semakin melekat. 4 Pilar kebangsaan tersebut diwujudkan sebagai alat persatu bangsa dan instrumen yang efektif dalam penuntasan segala konflik yang terjadi saat ini.
Bangsa Indonesia masih memiliki modal sosial yang mampu dikembangkan kembali yaitu rasa kebangsaan, rasa kebersamaan, kesetiakawanan sosial dan gotong royong. Tradisi tersebut tidak hilang namun tetap ada di dalam hati kita sebagai pemaknaannya harus direlisasikan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Masalah itu tidak perlu ditunda karena waktu akan memakan setiap permasalahan dengan solusi yang tidak efektif. Permasalahan itu harus dikemas dengan tindakan yang tidak terburu-buru serta solusi bersama yang hasilnya dapat dirasakan bersama pula sebagi perwujudan bangsa yang berkarakter dan memiliki visi dan misi yang jelas.

Kesimpulan
1.    Reformasi telah dijalani rakyat Indonesia lebih dari satu dasawarsa terakhir, namun semakin hari wajah bangsa makin nampak suram. Reformasi yang dijalankan tidak pernah menyentuh akar permasalahan yang kita hadapi saat ini, yakni persoalan korupsi yang semakin merajalela, kelemahan penegakan hukum, pembangunan sistem yang tak seimbang disertai terkikisnya konstitusionalisme ditandai dengan berbagai penyimpangan sosial .
2.    Ada beberapa hal permasalahan konstitusionalisme yang dapat dirumuskan sebagai akar permasalahan yang perlu pemecahan segera, yaitu: (1) Pemahaman dan pengaplikasian konstitusi seringkali dirasa kurang nampak pada masyarakat Indonesia karena belum adanya kesadaran individu yang melingkupi kesadaran kolektif; (2) Konstitusi seringkali berbenturan dengan peraturan-peraturan perundang lainnya sehingga ada undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya perlu dilakukan pengujian kembali (judicial review) oleh Mahkamah Konstitusi; (3) Kualitas Undang-Undang yang dihasilkan DPR kurang memadai sehingga kurang nampak kebermanfaatannya secara langsung bagi kehidupan masyarakat Indonesia dan kurang adanya transparansi terhadap proses pembahasan yang dijalankan DPR dalam pengajuan RUU sehingga memberi kesan sempit pada masyarakat Indonesia; (4) Adanya keterlibatan kepentingan politik segelintir orang yang mempengaruhi kecenderungan dalam proses penegakan hukum sehingga menimbulkan keganjalan publik terutama kekecewaan masyarakat terhadap supremasi hukum di Indonesia.
3.    Sebagaimana termaktub dalam UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 15 ayat 1 huruf e, dimana ayat ini mengamanahkan kepada pimpinan MPR untuk mengoordinasikan sosialisasi berbagai perubahan yang terjadi pada UUD NRI Tahun 1945. Namun, melihat semakin melunturnya nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme di tengah masyarakat yang sangat menghkawatirkan, maka Pimpinan MPR akhirnya bersepakat mengemas pelaksanaan sosialisasi tersebut menjadi sosialisasi 4 pilar meliputi Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai reorientasi jati diri bangsa.
4.    Reorientasi sebenarnya dimana kita melihat proses penemuan jati diri itu sendiri yang nantinya menentukan tujuan kita. Reorientasi pertama adalah proses penemuan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai dengan apa yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Reorientasi kedua adalah pemetaan posisi Indonesia di zaman globalisasi dimana kecenderungan masyarakat Indonesia yang senantiasa hidup konsumtif harus lebih diwaspadai. Reorientasi ketiga adalah pengokohan kembali empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika yang sudah menjadi acuan kehidupan masyarakat Indonesia sedari dulu dengan semangat kesatuan dan kebangsaan yang diharapkan semakin melekat.

Daftar Pustaka
Budimansyah, D & Karim Suryadi. PKn dan Masyarakat Multikultural. Bandung: Program Studi PKn Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Mahfud. (2009). Konstitusi dan Hukum dan Kontroversi Isu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muchtar, S .(2006). Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI.
Notonagoro. (1994). Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumodiningrat, G. (2005). Membangun Indonesia Emas: Model Pengembangan Indonesia Baru menuju negara bangsa-bangsa yang unggul dalam Persaingan Global. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Ubaedillah & Abdul Rozak. (2010). Pendidikan Kewargaan (Civic Education)-Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


                                                                                                                                                   

Story 2


#Behind the scene of sad story
      
Aku tak mengerti, siapa dr. Wibowo itu??? Mama tak pernah bercerita tentang hal ini. Terpikir olehku mungkin almarhum papa adalah cinta pertama mama, namun ternyata hipotesisku salah. Ada yang lain sebelum papa memasuki kehidupan mama. Mama sepertinya begitu mencintai dr. Wibowo karena hampir setiap tulisannya yang beliau buat semua tentang dr.Wibowo. Pantas saja, perasaan mama begitu amat tersurat sehingga tersirat dalam sebuah diary dan ekspresi tulisannya yang begitu mewarnai kebahagiaan mama ketika berjumpa dengan dr. wibowo.
Heyy ,, ada kejanggalan di sini. Begitu aneh, kertas dalam diary mama disobek kasar sampai beberapa lembar. Sulit bagiku untuk membaca kisah mama, apa yang terjadi ketika itu? Mengapa mama merobek kertas yang ada di buku diary ini? Dan taukah kamu, halaman selanjutnya cerita mama mengisahkan orang yang berbeda pula. Apakah ini kisah almarhum papa? Ya … ini kisah almarhum papa yang ditulis oleh mama pada buku diary-nya. Sepertinya mama dulu orang yang tak berani terbuka untuk masalah-masalahnya. Sampai saat ini pun mama begitu tertutup ketika ada masalah yang terjadi. Beliau lebih memilih diam tanpa kata dari setiap masalahnya. Aku pun terdidik menjadi seorang yang kaku dan pendiam. Bahkan untuk berkomunikasi dengan ketiga saudaraku saja tak pernah kulakukan. Ketiga kakakku tak pernah menjadi panutan yang baik dalam hidupku, sampai saat ini pun menginjak mereka dewasa komunikasi kami sangat minim dan bisa dihitung mungkin hanya satu atau dua kata dalam sepekan. Sungguh ironis memang, hal ini mungkin dampak dari usia kami yang jauh dan terpisah lama sehingga membuat masing-masing dari kami merasa canggung dan takut bahkan malas untuk bercerita ataupun bertanya.
Keluargaku layaknya tempurung kura-kura yang tertutup dengan tawa, canda gurau, cerita bahagia, curahan hati ataupun yang berbau kebersamaan dan keharmonisan keluarga. Mengapa kubilang kura-kura? Karena ku tau kura-kura begitu malu dan takut terhadap respon, hewan ini lebih memilih mengurung diri di dalam tempurung badannya. Sama halnya dengan keluargaku, setiap pulang ke rumah dan sudah puas menyibukkan diri seharian di luar sana maka saatnya masing-masing masuk ke dalam kamar dan menghabiskan waktu di dalam kamar tanpa kata apa pun. Keluarga ini begitu sepi dan jauh dari kehangatan akan kebersamaan, hal ini wajar karena sekalinya kami berkumpul tak ada satu pun yang bisa bersatu dengan masing-masing saudaranya. Terkadang mama selalu jadi korban atas pertengkaran anak-anaknya, aku pun tak pernah ingin berdebat di tengah-tengah keluarga yang begitu tak menyenangkan ini. Maka hal yang patut dilakukan olehku adalah seperti ini, menulis dengan bebas segala cacian, makian, amarah, kebencian, dendam, iri hati, kebahagiaan, penderitaan terutama kesedihan yang dilalui olehku sepanjang waktu. Bahkan yang selalu ada di sisiku sampai aku mati hanya My Allah. Beliau yang senantiasa berada atas kesedihan, tangisan, haru, kebahagiaan dan keluh kesahku.
Walaupun begitu, tentunya aku cukup berbangga hati, tak jarang orang sepertiku dapat survive di tengah keluarga yang tak bersahabat ini. Mayoritas, keluarga dengan predikat “broken-home” menjadi incaran predikat selanjutnya yang disebut trouble maker. Miris rasanya, melihat ketiga kakakku yang tak pernah hidup damai serta dipenuhi kebencian hati yang teramat dalam, hal ini diakibatkan karena buruknya pendidikan serta asuhan dari kedua orang tua kami. Aku tak bisa menyalahkan sepenuhnya terhadap mama yang salah mendidik anaknya karena ini sudah menjadi sebuah resiko yang dijalani oleh keluarga yang seperti ini. Mengapa aku cukup berbangga hati pula? Karena kamu tau, aku di sekolah cukup aktif dalam berbagai organisasi, aku terlibat banyak peranserta dengan berbagai kalangan dan terutama mampu menjadi Ketua OSIS di sekolahku. Aku cukup kompetitif dalam melakukan apa saja di sekolah, contohnya saja minggu lalu aku dianugerahi piala lomba karya tulis ilmiah Tingkat SMA Se-Jawa Barat. Aku lebih memilih meluangkan waktuku dengan kegiatan yang akan memberikanku sebuah kepuasan tersendiri. Aku tak peduli atas pujian orang atau bahkan cemoohan orang akibat perbuatan kakak-kakakku. Publik menganggap aku tak becus mengajarkan pengalaman keberhasilanku kepada saudara-saudaraku. Tapi entahlah, aku lebih memilih bersosialisasi dengan teman-teman sebayaku serta guru-guruku. Mereka yang selalu ada untukku dan selalu meluangkan waktu untuk bisa sharing denganku.
****
Tahukah kamu, aku tak begitu banyak mengenal mama … aku tahu mama begitu tegar dan berhati baja. Aku tahu mama adalah seorang “wonder women” bagi keluargaku .. dan aku tahu mama selalu berjuang keras untuk kehidupan kami yang lebih baik. Tapi kenapa yang aku tahu mama tak pernah bisa dekat dengan aku … kecanggunganku dengan saudaraku itu bisa dikatakan wajar, tapi apakah harus ada kecanggunganku dengan seorang ibu kandung? Terkadang aku lebih memilih tak punya orang tua. Aku lebih menyukai teman-temanku di luar sana dan aku lebih comfort dengan guru-guruku. Setiap aku kesulitan, setiap aku berkeluh kesah dan setiap aku senang hanya mereka yang aku ingat. Walau terkadang aku bercerita dengan mama namun mama tak pernah memberikanku sebuah respon kasih sayang sehingga hal ini tak membuatku nyaman.
Rasanya melihat teman-teman yang lain di sekolah yang bisa curhat dengan mama-nya dan menganggap mama-nya seperti temannya, suatu hal yang sangat luar biasa bagiku. Bisa jadi pernah ada tumbuh kebencianku terhadap mama. Kamu tahu kenapa? Dulu aku adalah seorang anak yang terlantar … mama membawa ketiga saudaraku ketika mama dan papa memutuskan untuk berpisah. Aku bisa dikatakan menjadi tumbal perceraian mereka. Aku dibiarkan tinggal dengan orang lain yang tak kukenal. Hal ini mungkin dimaksudkan mama supaya keterlantaran aku menjadi pusat perhatian papa dan membuat papa iba ketika melihat aku. Tapi apa yang aku dapat? Hampir dua tahun aku ditinggal oleh mereka.. tak dapatkan secerca kasih sayang .. tak dapatkan kebahagiaan yang seutuhnya. Papa lebih memilih keluarganya yang baru ketimbang harus membawa aku dan memperhatikan aku dan mama pun lebih cenderung merawat saudara-saudaraku yang lainnya.
Entahlah, ketika itu aku begitu kalut.. aku yang masih kecil harus merasakan suka duka tinggal bersama orang lain yang tak aku kenal. Makan seadanya, jajan seadanya dan berpakaian seadanya .. sedikit terlintas dalam benakku untuk menginginkan sebuah hadiah boneka yang aku idamkan. Namun nihil, pada siapa aku meminta? Sedangkan kamu tahu keluarga yang mengasuhku tak cukup banyak uang untuk membelikan tektek bengek keperluanku. Mereka punya anak-anak juga yang teramat dini dan perlu biaya yang tak sedikit untuk memenuhi keperluannya.  Aku hanya diberikan uang bulanan yang minim oleh mamaku .. dan untuk bertemu dengan mama pun rasanya sulit. Aku tak pernah mengharapkan yang terlalu besar agar bisa bahagia bertemu dengan mama .. aku tak cukup mengharapkan bagaimana aku bisa bermain sepuasnya dengan mama, belajar dan memasak bersama .. aku tak cukup pantas mengharapkan itu. Karena setiap pengharapan itu akan mustahil aku gapai walau aku selalu berdoa dan berusaha tentunya.
Bersama keluarga yang tak aku kenal merupakan anugerah yang cukup berarti bagiku.. aku tak pernah mau menyalahkan keadaan ini. Tapi, apa anak sekecil itu akan kuat untuk tidak menangis. Aku tak cukup kuat untuk tidak menangis. Pada siapa aku menangis ketika aku dipukuli oleh keluarga itu? Pada siapa aku harus membela diri ketika aku bertengkar dengan anak keluarga itu? Dan pada siapa aku harus mengadu pada setiap kesedihanku? Aku hanya bisa mengurung diri dan menangis serta menjerit di dalam hati … sekeras-kerasnya aku menjerit pasti tak akan terdengar .. cukup dalam hati saja aku menjerit.
Di tengah keluarga yang cukup rukun aku dibesarkan. Walaupun aku dibesarkan tanpa kasih sayang namun perlahan aku mulai menyadari dan menerima setiap kasih sayang dari keluarga kecilku saat ini.   Aku ingat, saat itu muncul sebuah film yang aku tonton dan cukup mengiris hati. Film itu menggambarkan persis apa yang aku alami sekarang .. cukup lama sekali memang dan film itu selalu diulang. Picture dan layout film itu pun terlihat tua dan nampak blur. Bukan bentuk film atau back song yang ada di dalamnya yang membuat tetesan air mata di wajahku melainkan content dan amanat yang tertuang dalam film itu. Film itu menceritakan sebuah keluarga yang broken home. Anak-anaknya tinggal bersama ayah kandung dan tentunya ibu tiri yang sangat menakutkan. Aku sempat bertanya pada salah satu anggota keluarga ketika itu, siapa ibu tiri? Dan untuk apa ibu tiri merawat anak-anak itu? Aku begitu sangat takut akan sosok ibu tiri dengan gaya bicara dan bentuk pendidikan yang diajarkan pada anak-anaknya membuatku sangat membenci ibu tiri. Semua orang kembali menakuti aku dengan sosok ibu tiri sampai aku menangis dan tak inginkan hadirnya ibu tiri, Sampai saat itu, aku menjadi sangat pendiam dan begitu ketakutan sehingga siapa pun yang berusaha menghiburku tak pernah aku respon. Sampai pada akhirnya siapa yang merasa iba melihatku tak berdaya? Yang merasa keberadaan aku untuk dirawat bukan untuk diterlantarkan. Ya .. itulah nenekku yang mau mengambil dan merawatku di tengah pertikaian yang terjadi antara mama dan nenekku.
Saat itu, yang tumbuh dalam pikiranku adalah aku hanya ingin bertemu dengan mama hanya mama dan tidak ingin yang lain selain mama. Nenek atau ibu kandung dari papa tepatnya meruntuhkan semua pikiranku. Aku terdogma oleh nenek .. menurutnya ibuku tak layak dikatakan sebagai mama. Ibuku seenaknya menelantarkan aku tanpa bertemu dan memberikan kasih sayang padaku. Padahal yang seharusnya disalahkan adalah papaku lebih tepatnya anaknya. Karena beliaulah yang sebenarnya menelantarkan anak-anaknya demi wanita lain. Sejak saat itu aku tak ingin mengenali papa. Aku cukup kuat bila orang-orang mengatakan bahwa aku tak memiliki papa. Aku cukup tega bila aku sudah tak memerlukan seorang papa. Asalkan jangan mama, walaupun begitu, mama tetap selalu ada di hati dan aku tak mau mendengar doktrin-doktrin jelek mengenai ibuku. Aku lebih baik tak ikut dengan nenek kalau harus melepaskan bayangan dan ingatanku tentang ketulusan mama.
Lelah rasanya harus hidup seperti ini, dengan usiaku yang teramat dini ditumbuhi karakter kebencian dan pembiasaan untuk melupakan kedua orang tuaku. Selama aku tinggal bersama nenek, aku begitu senang karena aku bisa membeli apa yang aku mau. Boneka yang selama ini aku inginkan sangat mudah aku dapatkan. Barbie kecil yang cantik, baju-baju mewah, makanan yang lengkap … all of my dream come true. Thanks God for all wonderfull gift for me … !! I`m very very happy now .. tapi, masih ada yang kurang rasanya.. kemewahan ini, kesenangan ini, tak membuatku merasa lengkap. Aku hanya bisa bersyukur atas semua ini walau tak sesempurna hidup yang lain tapi aku yakin di luar sana masih banyak orang-orang yang kurang beruntung dan tak bisa sebahagia aku saat ini.
****