Selasa, 17 April 2012

Konsep, Teori, Generalisasi Ilmu Sosiologi dan Ilmu Sejarah


ILMU SOSIOLOGI
A.  KONSEP DAN GENERALISASI SOSIOLOGI
1.   Masyarakat
Konsep :
Masyarakat adalah golongan besar atau kecil yang terdiri dari bebrapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan merupakan sistem sosial yang saling memengaruhi satu sama lain (Shadily, 1984:31).
Generalisasi :
Masyarakat itu dapat diibaratkan sebuah sistem, di mana di dalamnya terdiri atas beberapa unsur atau elemen (lembaga sosial) yang memiliki fungsi masing-masing dan saling memiliki keterkaitan antarunsur dalam berproses untuk mencapai suatu tujuan.
2.   Peran
Konsep :
Peran adalah satuan keteraturan perilaku yang diharapkan dari individu. Setiap hari, hampir semua orang harus berfungsi dalam banyak peran yang berbeda.
Generalisasi :
Peran negara dan bangsa dalam mengontrol informasi di era globalisasi ini sudah jauh berbeda. Berbagai rintangan baru yang beroperasi serentak dalam suatu waktu di tingkat planet, mengindikasikan semakin hilangnya batas-batas kedaulatan dan otonomi poitik, budaya dan ekonomiyang dapat mengikis otonomi suatu negara dan bangsa.
3.   Norma
Konsep :
Suatu norma adalah suatu standar atau kode yang memandu perilaku masyarakat.
Generalisasi :
Para pendukung aliran evolusi beranggapan bahwa norma-norma sosial pun ikut berubah atau berevolusi sebagai konsekuaensi adanya perubahan sosial.
4.   Sanksi
         Konsep :
         Sanksi adalah suatu rangsangan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu (Soekanto, 1993:446).
         Generalisasi :
         Sanksi merupakan kaidah hukum yang selalu ada pada setiap masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka untuk mencapai ketertiban sosial.
1.            Interaksi sosial
Konsep :
Interaksi sosial adalah proses sosial yang menyangkut hubungan timbal balik antarpribadi, kelompok, maupun pribadi dengan kelompok (Popenoe, 1983:104 ; Soekanto, 1993:247).
Generalisasi :
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berinteraksi baik secara individual maupun kelompok. Interaksi sosial itu dapat terjadi melalui proses sugesti, identifikasi, simpati dan imitasi.
-  Imitasi adalah meniru model tindakan-tindakan menyimpang sebagai sisi negatif, sedangkan sisi positif imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah atau norma.
-  Sugesti berlangsung apabila seseorang memberi pandangan tertentu yang diterima tanpa sikap kritis kerena adanya hambatan emosional yang kurang rasional.
-  Identifikasi merupakan kecenderungan keinginan-keinginan dalam dirinya untuk menjadi sama dengan orang lain.
-     Simpati adalah proses seseorang merasa tertarik kepada orang lain.
6.   Konflik sosial
                        Konsep :
      Konflik sosial adalah pertentangan sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan pihak lain. Konflik sosial pun dapat berupa kegiatan dari suatu kelompok yang menghalangi atau menghancurkan kelompok lain, walaupun hal itu tidak menjadi tujuan utama aktivitas kelompok tersebut (Soekanto, 1993:101).
      Generalisasi :
      Dalam interaksinya, manusia selalu terkandung benih-benih konflik sosial baik yang rasional maupun irasional. Konflik sosial yang rasional memiliki kecenderungan dapat dikelola secara positif dan dapat dikategorikan sebagai bagian integral dalam dinamika sosial, sedangkan konflik irasional merupakan tipe konflik yang bersifat disfungsional.
7.   Perubahan sosial
      Konsep :
      Perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu (Ritzer, 1987:560).
      Generalisasi :
      Perubahan sosial menunjuk pada perubahan fenomena sosial, baik individu maupun kelompok, pada struktur maupun proses sosial, baik tentang sebab-sebab terjadinya, bagaimana proses perubahan ini terjadi, pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh perubahan sosial.
8.   Permasalahan sosial
      Konsep :
     Istilah permasalahan sosial merujuk kepada suatu kondisi yang tidak diinginkan, tidak adil, berbahaya, ofensif dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat.
      Generalisasi :
   Dalam organisasi sosial jika salah satu komponennya tersumbat maka dapat menimbulkan disorganisasi sosial. Dalam pendekatannya, studi tentang permasalahan sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni pendekatan realis dan objektif serta konstruksionisme sosial (Pawluch, 2000:995).
9.   Penyimpangan
      Konsep :
      Istilah penyimpangan atau deviance sebenarnya dalam sosiologi telah lama ada sejak awal kelahiran ilmu tersebut. Para sosiolog dan kriminolog mengartikan sebagai perilaku yang terlarang, perlu dibatasi, disensor, diancam hukuman atau label lain yang dianggap buruk sehingga istilah tersebut sering dipadankan dengan pelanggaran aturan (Rock, 2000:227-228).
      Generalisasi :
     Munculnya penyimpangan sering dikaitkan dengan perilaku berbeda dan tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, dapat karena faktor ketidaktahuan atau kurang wawasan, pergeseran standar, ambivalensi moral, dinamika sosial, dan inkonsistensi.
10. Globalisasi
      Konsep :
    Globalisasi merujuk pada implikasi tidak berartinya lagi jarak nasional, regional. Maupun teritorial sehinnga apa pun yang terjadi dan berlangsung di satu tempat bukan jaminan bahwa kejadian atau peristiwa tersebut tidak membawa pengaruh di tempat lain (Ohmae, 2002:3-30).
      Generalisasi :
      Era globalisasi ditandai dengan menipisnya batas-batas negara secara politik, ekonomi dan budaya disebabkan khususnya pengaruh teknologi informasi yang cepat meluas dan mudahnya akses informasi-informasi.
11. Patronase
      Konsep :
      Istilah patronase dalam istilah ilmu-ilmu sosial lebih banyak dikaitkan dengan birokrasi patrimonial. Dalam birokrasi patrimonial ini serupa dengan lembaga perkawulan, dimana patron adalah gusti atau juragan dan klien adalah kawula. Hubungan antara gusti dan kawula tersebut bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar tali perhubungan (Kuntjoro-Jakti, 1980:6).
      Generalisasi :
      Patronase sering menimbulkan korupsi. Sumber-sumber publik dipakai sebagai sumber penyuapan. Individu-individu yang berutang karier dan posisi kepada patron mereka akan dipaksa untuk melaksanakan tindakan-tindakan ilegal.
12. Kelompok
      Konsep :
      Konsep kelompok atau secara umum dapat didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang disatukan oleh suatu prinsip dengan pola rekrutmen hak dan kewajiban tertentu (Holy, 2000:421).
      Generalisasi :
    Dalam sosiologi studi tentang kelompok sangat penting disebabkan karena melalui kajian tentang kelompaok dapat mempelajari hubungan yang bersifat kebiasaan, melembaga, atau yang bertahan lama, yang biasanya terjalin antarkelompok.
13. Patriarki
      Konsep :
     Secara harfiah berarti patriarki berarti aturan dari pihak ayah. Istilah ini memiliki kecenderungan untuk mendeskripsikan kondisi superioritas laki-laki atas perempuan (Cannel, 2000:734).
      Generalisasi :
      Sistem masyarakat patriarkat sering mendapat reaksi dari kaum feminis radikal karena berasumsi bahwa perbedaan-perbedaan biologis antara pria dan wanita tidak harus diperhitungkan yang meyebabkan banyaknya cara menguraikan berbagai hubungan antarjenis kelamin yang merugikan wanita.
14.  Hierarki
Konsep :
Konsep hierarki merujuk kepada suatu jenjang, tatanan, peringkat kekuatan, prestise atau otoritas. Secara umum konsep hierarki diserap oleh ilmu-ilmu sosial pada mulanya hanya mengacu kepada gereja, pemerintahan pendeta dan biasanya Gereja Katolik Roma (Halsey. 2000:433).
Generalisasi :
Bagi seorang anggota militer, semestinya ia memahami hierarki kepangkatan dan jenjang komando yang berlaku dalam kesatuannya. Hal ini akan berbeda dengan sistem masyarakat sipil yang menekankan prinsip egaliter dan keseteraan lainnya yang lebih demokratis.
           
B.  TEORI-TEORI SOSIOLOGI
1.     Teori tindakan sosial dan sistem sosial Parson
a.     Teori tindakan sosial
.    Parson menggunakan alat tujuan yang intiya:
·        Tindakan itu diarahkan pada tujuannya
·        Tindakan terjadi dalam suatu situasi, dimana beberapa elemenya sudah pasti.
·        Secara normative tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan.
b.      Teori sistem sosial
  Teori ini mengenai tindakan yang bersifat umum yang mempunyai empat syarat fungsional, diantaranya:
·        Adaptation
·        Goal Attainment
·        Integration
·        Latent Pattern Maintenache
Dari keempat syarat fungsional tersebut, dapat dikaji melalui anggapan dasar sebagai berikut:
a.       Masyarakat merupakan suatu sistem yang berhubungan satu sam lain.
b.      Pengaruh satu sama lain berpengaruh berpengaruh ganda dan timbal balik.
c.       Integrasi sosial belum tercapai sempurna, tetapi sudah bersifat dinamis.
d.      Sekalipun disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senantiasa terjadi.
e.       Perubahan tidak berlangsung secara revilusioner.

2.      Teori Evolusi Sosial Herbert Spencer
·         Suku primitif berkembang sesuai dengan jumlah anggotanya.
·     Pertumbuhan masyarakat bukan hanya tidak hanya perbanyakan, tetapi juga meningkatkan solidaritas.
·        Masyarakat yang belum beradab bersifat homogen.
·        Suku nomaden dipersatukan oleh kepala suku.
·        Jenis kelamin ditentukan oleh ciri-ciri fisik.
·        Kepemimpinan awalnya muncul dari keluarga.
·        Wewenang dan kekuasaan seseorang ditentukan oleh kekuatan dan kecerdikan seseorang.
·   Kapasitas dan organisasi sosial mengalami berbagai formula evolusi. Begitupun sistem pemerintahan bertambah kompleks, diferensi pun timbul dalam organisasi sosial.
3.      Teori Teknologi dan Ketinggalan Budaya
a.    Perilaku manusia merupakan produk warisan sosial atau budaya, bukan produk faktor-faktor biologis yang diturunkan lewat ketunan.
b.  Kenyataan sosial pada dasarnya terdiri atas pola-pola perilaku individu yang nyata dan konsekuensi-konsekuensinya.
c.   Perubahan-perubahan budaya materil mulai dari penemuan awal, seperti perkakas tangan, komputer yang beroprasi dengan cepat, sampai satelit komunikasi.
d.   Kebudayaan nonmateril yang tidak mampu mengejar karena kecepatan perubahan dalam kebudayaan materil terus maju.
4.      Teori Dramaturgi Erving Goffman
a.  Dalam suatu situasi sosial, seluruh kegiatan dari partisipan tertentu disebut sebagai suatu penampilan.
b.   Yang dimaksud tindakan rutin edisi goffman (1974:16) membatasi sebagai pola tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya.
c.   Seseorang dapat bertindak sangat meyakinkan atas tindakan yang diperlihatkannya, walaupun sesungguhnya perilaku sehari-harinya tidaklah mencerminkan tindakan yang demikian.
d.    Karena itulah dapat dibedakan antara panggung depan dengan panggung belakang.
e Dengan demikian ada kesenjangan peran maupun keterikatan peran ataupun role embracement (Goffman, 1961:314-315).
5.       Teori Struktur Anthony Giddens
a. Teori sosial memerlukan adanya rekonstruksi yang berbeda dari mazhab sosiologi interpreative .
b.      Diperlukan langkah rekonstruksi daripada sintesis.
c.       Praktik sosial harus dipahami sebagai kesesuaian dan tindakan.
d.      Praktik-praktik yang basis dalam perilaku dan masyarakat.
e.       Mengetahui bagaimana berpartisipasi atau baimana bertindak.
f.        Struktur memungkinkan adanya tindakan, saran bagi tindakan dll.
g.      Subjek untuk menciptakan dirinya sendiri melalui partisipasi.
6.      Teori Globalisasi “of Nothing” George Ritzer
      Sebagai contoh teori globalisasi Kellner Techno Capitalism. Anthony Giddens tentang Runaway Word Gobalization, Zygmuny Bauman tentang konsekuensi Globalisasi, Geogre Ritzer tentang Globalization of Nothing, Arjun Appadurai tentang teori Landape dan lain-lain.


ILMU SEJARAH
A.  KONSEP DAN GENERALISASI SEJARAH
1.      Perubahan
Konsep :
Generalisasi :
   Jika kita hanya mengakui gerak sejarah berdasarkan siklus maka tidak akan banyak terjadi perubahan-perubahan yang berarti dalam dinamika masyarakat lokal, nasional, maupun global. Padahal perubahan yang terjadi pada masyarakat sekarang ini demikian cepat, banyak lompatan, dan banyak hal yang tidak terduga.
2.      Peristiwa
Konsep :
Generalisasi :
Sebenarnya, jika mengakui validitas gerak sejarah yang di kemukakan Giambattista Vico, disamping beberapa peristiwa itu kecendrungannya akan terjadi pengulangan yang serupa, tetapi akan terjadi pula suatu proses bersifat siklus belaka (Al-Sharqawi, 1986: 147)
3.      Sebab dan Akibat
Konsep :
Generalisasi :
    Munculnya peradaban di lembah Sungai Nil (Mesir Kuno) yang bernilai tinggi sebagai khazanah budaya dunia,disebabkan adanya tantangan yang cukup keras bagi masyarakat Mesir dan perannya kaum elite minoritas yang kreatif, akibatnya mereka berupaya untuk merespons tantangan itu dalam bentuk peradaban yang bernilai agung (Laurer, 2003: 53).
4.      Nasionalisme
Konsep :
Generalisasi :
     Menurut Jan Romein, gerak kemajuan dan keberlanjutan perubahan sejarah (sosial budaya), tidak dapat disamakan dengan evolusi biologis melainkan kebalikannya. Mengingat manusia memiliki sejumlah kemampuan akal dan pikiran sebagai makhluk yang lebih sempurna. Oleh karena itu, dalam diakletika kemajuan perkembangan nasionalisme pun tidak berjalan secara evolutif, tetapi maju dengan lompatan-lompatan yang diadakan seperti revolusi (Wertheim,1967:95-96)
5.      Kemerdekaan
Konsep :
Generalisasi :
   Menurut Wittfogel, terdapat hubungan yang erat antara berkembangnya budaya hidrolik yang berukuran besar, khususnya sistem irigasi dengan munculnya struktur sosial yang sentralistik, otoktratik, dan birokraktik, sebagaimana sering disebut sebagai depotisme oriental. Dengan membangun budaya hidrolik, bendungan, dan irigasi besar, masing-masing penguasa akan merasa bebas atau merdeka dengan mengembangkan sistem budaya hidrolik tersebut (Wertheim 1976: 17;Kapplan dan Manners, 1999:95).
6.   Kolonialisme
      Konsep :
      Generalisasi :
  Merajalelanya kolonialisme Barat pada abad ke-19 terhadap Asia,Afrika, dan Amerika Latin,sebenarnya tidak dapat dilepaskan sebagai dampak penemuan-penemuan daerah baru ataupun hasil eksploritasnya terhadap daerah-daerah lain yang belum mereka kenal sebelumnya (Denon, 2000:134).
7.   Revolusi
      Konsep :
      Generalisasi :
      Revolusi Prancis yang terjadi tahun 1789 memiliki dampak besar bagi kemenangan kaum borjuis di Eropa Barat maupun bangkitnya nasionalisme serta perlawanan terhadap imperialisme, khususnya sesama bangsa eropa (Furet dan Richet, 1989: 480 ).
8.      Fasisme
Konsep :
Generalisasi :
Lahirnya fasisme di Italia maupun Jerman menjelang Perang Dunia II, tidak lepas dari pengaruh krisis ekonomi dunia akibat malapetaka Perang Dunia I yang menimbulkan krisis ekonomi (Malaise) yang sangat parah bagi dunia (Payne, 2000:347).
9.      Komunisme
Konsep :
Generalisasi :
Makin meluasnya bahaya komunisme di Asia Tenggara, mendorong para ahli strategi dan pemikir Amerika Serikat untuk menggagas suatu teori baru yang dikenal dengan Teori Domino (Supardan, 1983:21).
10.  Peradaban
Konsep :
Generalisasi :
Beberapa pusat peradaban tertentu, seperti Mesir Kuno, Mesopotamia, India Kuno, dan Cina Kuno, pada umumnya lahir ataupun muncul sebagai respons atas tantangan dan kesadaran minoritas kreatif yang terjadi di beberapa sungai-sungai besar (Toynbee,1961).
11.  Perbudakan
Konsep :
Generalisasi :
Ketika kolonialisme dan imperialisme merajalela, sistem perbudakan di beberapa wilayah (Afrika, Asia maupun Amerika Latin) pun berkembang dengan pesat (Ross, 2000:965).
12.  Waktu
Konsep :
Generalisasi :
Studi tentang waktu dapat berfungsi baik sebagai kerangka eksternal untuk mengukur peristiwa dan proses, menata kesemrawutan terjadinya peristiwa dan proses demi orientasi manusia atau mengkoordinasikan tindakan individu dan sosial secara kuantitatif yang dinyatakan oleh jam, hari, tanggal, bulan, tahun dan abad memungkinkan kita mengenal perbandingan kecepatan, interval, rentangan dan sebagainya maupun untuk menentukan kerangka internal secara kualitatif yang dinyatakan berlangsung lebih lama atau lebih sebentar, lebih lambat atau lebih cepat dan sebagainya (Adam, 1990:23).
13.  Feminisme
Konsep :
Generalisasi :
Pada awalnya, teori-teori feminisme bersifat interdisipliner yang merangkum beberapa diskriminasi dan ketimpangan sosial antara pria dan wanita di berbagai bidang sosial budaya, seperti sejarah, filsafat, antropologi, politik, ekonomi dan seni. Selanjutnya, berkembang dalam beberapa tema yang menonjol, seperti reproduksi, representasi dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Perkembangan selanjutnya yang mencolok adalah munculnya konsep-konsep baru, seperti seksisme dan esensialisme yang dimaksudkan untuk menggugat diskriminasi sosial terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang (Humm, 2000:354).
14.  Liberalisme
Konsep :
Generalisasi :
Secara metodologis, liberalisme meragukan penjelasan teori-teori holistik maupun kolektivisme. Mereka lebih mengasosiasikan dengan gerakan-gerakan laissezfaire dan menolak intervensi pemerintah serta implikasi-implikasi moral yang mengharuskan memerhatikan yang lemah. Selain itu, mesti tidak menyangkal legitimasi dan prosedur-prosedur demokratis, kaum liberal tidak bersedia mempertaruhkan makna hakiki individu dengan membuka pinyu selebar-lebarnya pada kekuatan mayoritas (Barry, 2000:571).
15.  Konservatisme
Konsep :
Generalisasi :
Pada umunya, pengikut konservatisme adalah para orang tua yang sudah memiliki pandangan dan sikap mapan mengenai apa yang harus diutamakan dalam hidup. Aliran ini menjunjung tinggi sopan santun, meskipun hal itu mungkin irasional karena hal-hal tersebut dianggap sebagai jangkar yang akan mencegah seseorang bertindak semaunya. Oleh karena itu, daya tarik konservatisme di Inggris sampai sekarang masih luas, khususnya bagi “golongan tua” tetap besar. Mereka beranggapan bahwa suatu masyarakat yang tidak memiliki elemen konservatisme, di satu sisi tidak akan bertahan lama, walaupun bagi banyak orang di sisi lain dapat dianggap stagnan (Minogue, 2000:167).  

B. TEORI-TEORI SEJARAH
1.      Teori Gerak Siklus Sejarah Ibnu Khaldun
a. Kebudayaan adalah manusia yang memiliki landasan yang menimbulkan mereka untuk memecahkan masalah serta mendapatkan kesenangan dan kecukupan dalam membangun industri, menyususun hukumn , dan menertibkan transaksi.
b.      Fase primitif adalah bentuk kehidupan manusia terdahulu yang pernah ada. 
c.     Fase urbanisasi, pembangun tetap berlangsung sehingga perkembangan kebudayaan makin maju.
d.      Kelompok yang terkalahkan selalu mengekar pada kelompok yang menang.
e.       Fase kemewahan, banyak kelompok yang tenggelam dalam kemewahan.    
2.      Teori Daur Kultural spiral Giambattista Vico
a.       Perjalanan sejarah bukan seperti roda yang berputar yang meramalkan masa depan.
b.    Sejarah berputar dalam spiral dan selalu memperbaharui diri, seperti gerakan pendaki gunung, dan setiap lingkaran yang lebih beasr daripada lingkaran sebelumnya, sehingga ufuknya semakin jauh dan luas.
c.       Masyarkat bergerak melalui perkembangan dan terjalin erat dengan kemanusiaan, yaitu tahapan fasenya:Teologis, Herois, dan humanitis.
d.      Ide kemajuan adalah subtansial, tidak selalu berjalan kedepan, tetapi dalam lingkaran yang saling mempengaruhi.
3.      Teori Tantangan dan tanggapan Arnold Toynbee
a.      Terdapat 21 pusat peradaban dunia.
b.      Peradaban muncul suatu tantangan.
c.       Mesir muncul sebagai peradaban sungai Nil.
d.      Berbagai jenis tantangan diperlukan dalam perkembangan peradaban.
e.  Ada 5 kawasan perangsang peradaban: ganas, baru, diperebutkan, ditinadas, dan tempat pembuangan.
f.        Kawasan ganas, lingkungan fisik sulit ditaklukan.
g.       Antara tantangan dan tanggapan berbentuk kurva linear.
h.       Untuk suatu tanggapan yang memadai, kriteria pertama adalah keras atau lunak.

Istilah-Istilah Perjanjian Internasional


·         Balance of Power
Konsep sistem perimbangan kekuasaan yang menggambarkan bagaimana negara dalam mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan keamanan nasional dalam konteks perubahan aliansi dan blok demi menjaga kelangsungan hidup negara-negara.
·         Imperialisme
Perluasan negara secara fisik dengan hubungan Superior-Inferior yang menggambarkan keadaan wilayah dan rakyat lain tunduk terhadap negara tersebut.
·         Hegemoni
Perluasan kekuasaan atau pengaruh suatu negara ke negara atau kawasan lain.
·         Perang Dingin
Merupakan ketegangan dan permusuhan yang sangat ekstrim antara blok barat dengan blok timur setelah perang dunia II. Ditandai oleh manuver-manuver politik, pertikaian diplomatik, perang psikologis, adu ideologi, perang ekonomi, perlombaan senjata, dan spionase.
·         Aliansi
Sebuah perjanjian untuk saling mendukung secara militer antara dua negara atau lebih.
·         Konsiliasi
Merupakan prosedur penyelesaian pertikaian secara damai dan memperkenankan perwakilan kelompok negara yang bertikai menyusun pakta pertikaian dan mempergunakannya sebagai basis untuk mencari solusi.
·         Mobilisasi
Tindakan yang dilakukan pemerintah suatu negara untuk menempatkan kekuatan-kekuatan negara dalam keadaan siap perang.
·         Diplomasi
Praktek pelaksanaan hubungan antar negara melalui perwakilan resmi, mencakup sarana dan mekanisme untuk mencapai kepentingan nasional di luar batas wilayah jurisdiksi suatu negara.
·         Negosiasi
Penyesuaian/kompromi dalam perundingan melalui kontak hubungan pribadi atau umum. Dalam usaha memajukan kepentingan nasional dan menyelesaikan perbedaan secara damai.
·         Extra-Territoriality
Penerapan jurisdiksi suatu negara di wilayah negara lain, dibentuk melalui perjanjian dan dengan tujuan melindungi warga negaranya dari negara lain tersebut yang tentu saja memiliki perbedaan sistem budaya dan hukum.
·         Consul
Wakil negara yang dikirim ke luar negeri untuk memajukan kepentingan nasional (komersial dan industri) negaranya, serta untuk memberikan perlindungan bagi warga negara nasional yang tinggal atau dalam perjalanan di negara lain tersebut.
·         Embargo
Maklumat pemerintah yang melarang warganya untuk berdagang dan menjalin hubungan tertentu dengan sebuah atau beberapa negara asing, digunakan sebagai senjata kebijaksanaan ekonomi nasional dalam mencapai tujuan strategis atau politis tertentu.
·         Non Governmental Organization
Suatu oranisasi privat yang berfungsi sebagai mekanisme yang menghasilkan hubungan kerjasama diantara kelompok-kelompok swasta (non-pemerintah) dalam ihwal internasional dan global.
·         Pacta Sunt Servanda
Aturan umum hukum internasional yang menyatakan bahwa perjanjian bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.
·         Sabotase
Penghancuran fasilitas militer, industri, komunikasi, dan transportasi di negara musuh atau wilayah musuh secara terselubung, biasanya dilakukan oleh agen profesional internasional.
·         Revolusi
Suatu perubahan mendasar dalam kelembagaan pada prinsip politik, ekonomi, sosial suatu negara secara cepat dan mendesak melalui penggulingan pemerintahan yang berkuasa.
·         Terrorisme
Aktivitas teror, kekerasan, menebar ancaman, dan ketakutan oleh salah satu aktor internasional dalam upaya mencapai tujuan tertentu.
·         Status Quo
Kebijaksanaan yang bersifat konservatif dan defensif dalam upaya mempertahankan apa yang telah diraih dan dicapainya selama ini, serta berupaya untuk menciptakan stabilitas dan menghindari perubahan.
·         Geopolitik
Sebuah gambaran mengenai politik suatu negara dengan menekankan upaya menganalisa, menerangkan dan meramalkan perilaku politik serta kapabilitas suatu negara dalam terminologi lingkungan fisik manusia.
·         Decision makers/ing
Orang orang yang memiliki pengaruh dalam menghasilkan sebuah kebijakan politik suatu negara terhadap negara lain melalui berbagai proses informasi, data dsb. serta pemikiran yang mendalam melalui berbagai aspek
Konvensi / Covenant
Istilah ini digunakan untuk perjanjian – perjanjian resmi yang bersifat multilateral, termasuk perjanjian perjanjian yang dibuat oleh lembaga dan organisasi internasional, baik yang berada si bawah PBB maupun yang independen (berdiri sendiri). 
Protokol
Bisa termasuk tambahan suatu kovensi yang berisi ketentuan – ketentuan tambahan yang tidak dimasukkan dalam kovensi, atau pembatasan – pembatasan oleh negara penandatangan. Protokol juga dapat berupa alat tambahan bagi kovensi, tetapi sifat dan pelaksanaannya bebas, dan tidak perlu diratifikasi. Ada juga protokol sebagai perjanjian yang sama sekali berdiri sendiri (independen). 
Persetujuan (agreement)
Persetujuan  (agreement) biasanya bersifat kurang resmi dibanding perjanjian atau kovensi. Umumnya persetujuan (agreement) digunakan untuk persetujuan – persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit atau yang sifatnya lebih tehnis dan administratif, dan pihak – pihak yang terlibat lebih sedikit dibandingkan kovensi biasa.
Persetujuan (agreement) cukup ditandatangani oleh wakil – wakil departemen pemerintahan dan tidak perlu ratifikasi.
 
Arrangement 
Hampir sama dengan persetujuan (agreement), umumnya digunakan untuk hal – hal yang sifatnya mengatur dan temporer. 
Statuta 
Bisa berupa himpunan peraturan – peraturan penting tentang pelaksanaan funsi lembaga Internasional. Statuta juga bisa berupa himpunan peraturan – peraturan yang di bentuk bedasarkan persetujuan internasional tentang pelaksanaan fungsi – fungsi suatu institusi (lembaga) khusus dibawah pengawasan lembaga / badan – badan internasional. Dapat juga statuta sebagai alat tambahan suatu kovensi yang menetapkan peraturan – peraturan yang akan di terapkan. 
Deklarasi 
Istilah ini dapat berarti :
a)      Perjanjian yang sebenarnya
b)      Dokumen tidak resmi, yang dilampirkan pada suatu perjanjian
c)      Persetujuan tidak resmi tentang hal yang kurang penting
d)     Resolusi oleh Konferensi Diplomatik 
Mutual Legal Assistance
Perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih dalam rangka memberikan bantuan yang bersifat untuk saling membantu.
·   

Senin, 16 April 2012

RESENSI BUKU


  1. Deskripsi Buku
Judul Buku      : “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”
Penulis             : DR. Mansour Fakih
Penerbit           : INSIST PRESS Bekerjasama dengan PUSTAKA PELAJAR
                          Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167
                          Telp. (0274) 381542. Fax. (0274) 383083
Cetakan           : Cetakan I, April 2001 Judul “Sesat Pikir Teori Pembangunan dan  
              Globalisasi”
  Cetakan I, Mei 2002 “Edisi Revisi”
  Cetakan IV, September 2006
  Cetakan V, Januari 2008
            Tebal Buku      : 15 x 21 cm, xv+232 Hlm


  1. Resensi Buku
Secara garis besar buku ini terbagi ke dalam enam bagian. Bagian pertama merupakan pendahuluan. Dalam bagian ini dikupas mengenai latar belakang dan tujuan penyusunan buku ini. Setelah itu juga dibahas mengenai posisi dan alasan penulis dalam menggunakan istilah teori pembangunan maupun teori perubahan sosial beserta implikasi dari penggunaan kedua istilah tersebut. Selanjutnya bagian kedua, memuat pembahasan mengenai bagaimana dan apa yang mempengaruhi sebuah teori. Dalam bagian ini pembahasan difokuskan pada pembentuk dan memahami teori perubahan sosial dan pembangunan, pengertian dari paradigma, paradigma ilmu sosial menurut Habermas, paradigma perspektif Freire beserta paradigma-paradigma sosiologi lainnya.
Bagian ketiga mengupas paradigma dan teori perubahan sosial dominan, yakni yang berlandaskan kapitalisme dan positivisme. Dalam bagian ini dibahas secara lebih rinci paradigma perubahan sosial model kapitalisme. Selanjutnya, masuk ke dalam bahasan teori perubahan sosial, mainstreem ini adalah teori modernisasi dan teori pembangunan pertumbuhan model Rostow dan para pengikutnya. Secara lebih rinci selanjutnya diuraikan berbagai teori pendukung modernisasi dan pertumbuhan lainnya serta kritik terhadap teori ini. Bagian keempat ini membahas teori kritik dalam perubahan sosial dan pembangunan. Termasuk dalam bagian teori kritik ini adalah pembahasan sekitar paradigma dan teori perubahan sosial Marxisme, serta teori perubahan sosial sosialisme. Selanjutnya dalam bagian ini juga dibahas teori ketergantungan atau dependensia yang merupakan teori kritik terhadap modernisasi dan pembangunan. Sengaja dalam bagian ini juga dimasukkan secara terpisah dari teori dependensia yakni teori sistem ekonomi kapitalis dunia.
Bagian kelima membahas refleksi penulis terhadap beberapa teori yang dapat dikategorikan sebagai teori-teori perubahan sosial alternatif. Pertama yang dibahas dalam teori perubahan sosial alternatif ini adalah teori feminimisme dalam perubahan sosial. Secara lebih rinci dibahas berbagai pandangan feminis tentang pembangunan, termasuk feminisme liberal, feminimisme yang lain seperti seperti Eko feminisme dan feminisme yang menggunakan analisis gender. Teori kedua yang dianggap sebagai teori perubahan sosial alternatif yang dibahas dalam bagian ini adalah paham sosial dari teologi pembebasan atau liberasi. Teori terakhir yang dimasukkan dalam bagian ini adalah paham anti pembangunan yakni analisis sosial dekonstruksi terhadap developmentalisme.
Bagian keenam membahas akhir sejarah perjalanan teori pembangunganyang mengambil bentuk dalam teori pertumbuhan cepat (rapid growth development). Dengan demikian, bab ini membahas krisis pembangunisme dan mulainya era globalisasi. Bab ini akan membahas lebih rinci refleksi penulis terhadap berbagai perdebatan mengenai globalisasi dan berbagai skenario teoritis mengenai formasi sosial globalisasi dan implikasinya terhadap praktik perubahan sosial dan ancaman-ancamannya bagi masyarakat.
Bagian terakhir dari buku ini merupakan refleksi dan kesimpulan. Pada bagian ini dibahas refleksi terhadap perjalanan teori perubahan sosial hingga berakhirnya era developmentalisme. Setelah itu dibahas beberapa kemungkinan lahirnya teori pasca pembangunan. Kemungkinan  pertama adalah lahirnya teori campuran atau konvergensi perubahan sosial, yakni perkawinan dan jalan keluar antara teori modernisasi dengan memperhitungkan kritik dari teori dependensi. Kemungkinan lain adalah lahirnya teori perubahan sosial yang lahir dari inspirasi paham posmodernisme sebagai sebuah jalan keluar dari pertikaian kedua aliran modernisasi dan dependensia. Buku ini dilengkapi dengan daftar bacaan sekitar teori perubahan sosial dan pembangunan.   

  1. Analisis Buku
Melihat realitas yang terjadi sudah lama dapat kita rasakan adanya jurang yang memisahkan antara dunia teoritis dan kalangan akademisi yang membicarakan teori perubahan sosial maupun paradigma pembangunan dan dunia para praktisi perubahan sosial untuk keadilan sosial (social justice) yang bekerja di dalam berbagai aksi maupun proyek perubahan sosial bersama kelompok-kelompok marjinal seperti kaum buruh, para petani dan nelayan, perempuan miskin di pedesaan maupun anak jalanan serta masyarakat adat di berbagai daerah. Terdorong oleh keinginan untuk menjembatani dialog antara teori dan praktik perubahan sosial di akar rumput, maka suatu refleksi kritis ini disistematikkan dan dinarasikan sebagai bahan yang memfasilitasi terjadinya perenungan dan pembangkitan kesadaran kritis para teoritisi maupun praktisi lapangan. Sebagai suatu refleksi, buku ini tidak hanya berpretensi menjadi acuan teoritik mengenai teori perubahan sosial. Buku ini ditulis karena didorong oleh keinginan untuk membuka ruang dialog kritik ideologi terhadap proses dan teori perubahan sosial, bukan ditulis dari hasil studi akademik dari kalangan universitas, melainkan lebih banyak reflekasi dan aksi dan dialog yang panjang dari bahan bacaan yang diperoleh secara tidak sistematik maupun hasil refleksi dari keterlibatan dengan berbagai program bersama rakyat di akar rumput di dunia selatan.
Meskipun demikian, buku ini memang tidak dimaksud untuk memberikan uraian teoritik tentang teori perubahan sosial dan pembangunan. Akan tetapi, lebih didasarkan pada refleksi terhadap pengalaman dan pengamatan penulis serta sejumlah aktivis ornop (Organisasi Non Pemerintah) di Indonesia, untuk merefleksikan kaitan teori-teori perubahan sosial dan praktik lapangan program-program pemberdayaan masyarakat serta dorongan untuk menghentikan kecenderungan ketimpangan dalam dunia teori sosial dalam pengertian semakin kuatnya monopoli informasi dan pengetahuan oleh kalangan akademisi elitis, yakni mereka yang mempunyai kesempatan luas untuk membaca, membahas dan mendiskusiakn paradigma dan berbagai teori pembangunan di dalam lingkungan universitas, sementara mereka yang bekerja di masyarakat, yakni aktivis ornop dan organisasi sosial kemasyarakatan yang terjun ke masyarakat untuk melakukan aksi sosial, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari berbagai teori tersebut di universitas. Dengan demikian, buku ini ditulis dengan keinginan ganda. Selain menyediakan bahan bacaan untuk khalayak umum dan aktivis lapangan tentang paradigma dan teori pembangunan juga didorong oleh suatu semangat untuk merobohkan anggapan bahwa urusan ideologi, paradigma dan teori perubahan sosial hanya patut dan khusus dibaca, dipahami, dan dikontrol oleh kalangan akademisi dan birokrasi dan tabu untuk dibaca oleh kalangan masyarakat biasa. Dengan kata lain, buku ini melakukan demistifikasi terhadap bahan kajian ilmiah untuk menjembatani jarak antara para aktivis lapangan dan berbagai paradigma dan teori ilmu sosial di universitas.
Selain itu, semangat penulisan buku ini juga didorong oleh adanya gejala timbulnya kerancuan teoritik dan paradigmatik dari banyak aktivis lapangan. Yang dimaksudkan dengan kerancuan teoritik ini adalah persoalan yang dihadapi oleh mereka yang bekerja untuk melakukan perubahan sosial di lapangan, yakni para pekerja sosial masyarakat baik kalangan aktivis lapangan ornop maupin tokoh keagamaan, yang tanpa disadari telah menggunakan dasar teoritik dan visi ideologis mengenai suatu perubahan sosial yang menjadi landasan dan aktivitas praktis sehari-hari, tetapi sesungguhnya hakekat teori yang sedang dipraktikkannya tersebut secara teoritik bertolak belakang dengan tujuan yang mereka cita-citakan. Dengan demikian, tuntutan akan perlunya pemahaman mengenai paradigma dan berbagai teori perubahan sosial yang mereka jadikan pijakan untuk mengidentifikasi, memahami dan menangani masalah-masalah kemasyarakatan semakin meningkat. Lemahnya visi ideologi dan teori mengenai perubahan sosial ini juga mempengaruhi metodologi yang diterapkan, seperti bagaimana banyak organisasi sosial menempatkan masyarakat sebagai objek, padahal sementara itu bercita-cita melakukan pemberdayaan masyarakat. Demikian halnya dalam merencanakan, menyusun dan menetapkan program pengembangan masyarakat, maupun dalam mengevaluasi kegiatan tersebut. Kegiatannya banyak mencerminkan anti-pemberdayaan masyarakat. Ketidakjelasan visi dan teori ini tidak saja telah melahirkan inkonsistensi anatar cita-cita dan teori yang digunakan, tetapi juga telah berakibat menghambat peran atau partisipasi masyarakat dalam perubahan sosial, yakni peranan masyarakat sipil (civil society) sebagai pelaku sejarah utama dalam upaya demokratisasi ekonomi, politik, budaya, gender serta aspek sosial lainnya.
Gejala keracuan teoritik ini terlihat dalam bagaimana para aktivis ornop di lapangan mendefinisikan masalah kemasyarakatan dan memandang teori “mainstree” perubahan sosial pembangunan dewasa ini. Namun demikian, sesuangguhnya di kalangan aktivis ornop telah timbul kesadaran akan perlunya secara kritis mempertanyakan kembali paradigma, teori, serta implikasinya terhadap metodologi dan teknik lapangan. Kegairahan di kalangan aktivis ornop untuk memahami berbagai teori politik ekonomi dan perubahan sosial dalam pendidikan politik dan advokasi mendorong penulis untuk segera merampungkan buku teori perubahan sosial ini.
Namun demikian, secara garis besar motivasi utama penyusunan buku ini didorong untuk memenuhi kebutuhan bacaan teoritis dan memfasilitasi perdebatan teoritik bagi mereka yang bekerja di lapangan. Secara umum buku ini merupakan pengkajian teoritis dan mendasar, membahas kerangka ideologi, paradigma dan teori tentang perubahan sosial, yang diharapkan mampu memacu pembaca untuk merefleksikan kegiatan lapangan mereka dengan berbagai ideologi dan aliran teori perubahan sosial. Selain itu, buku ini juga merupak refleksi kritik terhadap posisi teoritik berbagai teori yang dominan tentang perubahan sosial dan pembangunan. Kritik ini diharapkan akan memberikan bekal teoritik bagi pembaca, khususnya yang terlibat dalam proses perubahan sosial dan yang sedang memikirkan paradigma alternatif perubahan sosial. Terakhir, secara khusus buku ini disajikan bagi aktivis lapangan untuk mendorong mereka melakukan refleksi dan dialog tentang berbagai teori perubahan sosial sebagai bagian dari aktivitas lapangan sehari-hari.  
Seperti telah diuraikan pengkajian buku ini dalam manfaat dan kandungan isi buku, namun ada pula beberapa kelemahan dari buku ini yaitu dalam penutup buku tidak dijelaskan solusinya secara komperehensif, walaupun telah dijelaskan penerapan implikasinya di masyarakat namun belum secara menyeluruh mendeskripsikan kasus-kasus yang terjadi di Indonesia mayoritas dihubungkan dengan negara lain.

            Manfaat Refleksi Teoritik bagi Praktisi
Maksud terutama penyusunan buku ini adalah dalam rangka memfasilitasi para praktisi untuk melakukan refleksi terhadap aksi yang selama ini mereka lakukan di tingkat akar rumput. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seorang aktivis lapangan atau praktisi perubahan sosial dalam memperjuangkan “social justice”, politik dan ekonomi yang demokratis serta pengembangan masyarakat menuju masyarakat adil sejahtera sangat membutuhkan teori sebagai acuan, refleksi, maupun motivasi. Tugas utama suatu teori sosial pada dasarnya tidak sekedar memberi makna terhadap suatu realitas sosial sehingga memungkinkan lahirnya kesadaran dan pemahaman terhadap suatu realitas sosial. Akan tetapi, teori sosila juga bertugas untuk “mengubah realitas sosial” yang dianggapnya bermasalah dan tidak adil sehingga sampai sekarang masalah tersebut masih diperdebatkan. Namun, tanpa disadari setap pekerja dan aktivis sosial seperti guru, aktivis ornop, wartawan dan pemimpin agama terlibat dalam pertarungan teoritis secara nyata. Pertarungan tersebut berupa penerapan teori dalam kegiatan mereka sehari-hari dan tanpa disadari teori sosial juga memiliki dimensi penerapan. Dengan demikian, penulis berpendirian bahwa tugas ilmu sosial tidak sekedar mencoba memahami suatu realitas sosial, tetapi juga mengubahnya.
Berbagai teori sosial, ekonomi, politik dan budaya lahir tidak saja dalam rangka pertarungan memberi makna terhadap suatu realitas sosial, tetapi juga berimplikasi pada perubahan sosial karena pada dasarnya perubahan sosial dibangun diatas pemahaman teoritik dan suatu teori sangat berpengaruh dalam membentuk suatu program aksi lapangan. Meskipun pada realitas sosial yang sama, dua teori selalu memberi makna berbeda atau bahkan bertolak belakang dan akibatnya akan membawa perubahan sosial secara berbeda pula. Misalnya saja dalam melihat hubungan “buruh-majikan” satu teori melihatnya sebagai hubungan saling menguntungkan, tetapi teori lain justru menganggapnya sebagai hubungan eksploitasi. Atas asumsi teoritik ini, bagaimana suatu perubahan hubungan masa depan antara buruh dan majikan akan diproyeksikan. “Rekayasa sosial” yang oleh satu teori dianggap sebagai keharusan pendekatan, tetapi oleh satu teori lain justru dianggap sebagai suatu bentuk dominasi dan penindasan dari ilmuwan sosial terhadap masyarakat. Dengan demikian, teori sosial membantu aktivis lapangan ataupun pekerja sosial untuk menyadari apa yang mereka lakukan serta kemana dan model apa suatu perubahan sosial akan dituju. Tanpa pemahaman akan teori ilmu sosial, dalam menjalankan program sosial ekonomi di masyarakat, seorang aktivis tidak saja bekerja tanpa visi dan orientasi tetapi juga bisa melakukan kegiatan yang sesungguhnya bertentangan dengan keyakinannya. Seorang aktivis sosial akan selalu dihadapkan pilihan untuk memihak antara status quo dan perubahan; antara pertumbuhan dn keadilan; antara sosial dan partisipasi, antara tirani dan demokrasi dan seterusnya. Dalam kaitan itulah teori sosial sangat membantu memahami relasi sosial sevara kritis.
Dalam praktik lapangan, dewasa ini terdapat dua paham teori sosial yang kontradiktif yang melibatkan setiap pekerja sosial, yakni antara teori-teori sosial yang digolongkan pada “teori sosial regulasi” berhadapan dengan teori-teori sosial emansipasitori atau juga dikenal dengan kritis. Teori sosial regulasi yang bersemboyan bahwa ilmu sosial harus mengabsi pada stabilitas, pertumbuhan dan pembangunan, bersifat objektif serta secara politik netral dan bebas nilai. Dalam pandangan ini teori sosial dikontrol oleh teorisi sedangkan masyarakat dilihat hanya sebagai obyek pembangunan mereka. Pandangan teori sosial ini berhasil memunculkan kaidah “rekayasa sosial” yang menempatkan masyarakat sebagai obyek para ahli, direncanakan, diarahkan dan dibina untuk berpartisipasi menurut selera yang mengontrol. Teori sosial telah menciptakan birokrasinya: dimana teoretisi memiliki otoritas kebenaran untuk mengarahkan praktisi dan masyarakat hanya diletakkan sebagai pekerja sosial tanpa kesadaran ideologis dan teoritis secara kritis.
Sementara itu, bagi aliran kritis tugas ilmu sosial justru melakukan penyadaran kritis masyarakat terhadapa sistem dan struktur sosial “dehumanisasi” yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagai upaya “counter hegemony”. Proses dehumanisasi tersebut terselenggara melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan maupun melalui cara penjinakkan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya, kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni, yakni cara pandang, cara berfikir, ideologi, kebudayaan bahkan “selera” golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang didominasi. Dengan begitu kegiatan sosial bukanlah area netral dan apolitik. Kegiatan sosial tidaklah berada dalam ruang dan masa steril, tetapi merupakan kegiatan politik menghadapi sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.
Bagi paham kritis, dalam dunia yang secara struktural tidak adil, ilmu sosial yang bertindak tidak memihak, netral, objektif serta berjarak atau detachment adalah suatu bentuk sikap ketidakadilan tersendiri atau paling tidak ikut melanggengkan ketidakadilan. Paham ini menolak objektivitas dan netralitas ilmu sosial dengan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak mungkin pernah netral. Oleh karena itu, teori sosial haruslah subjektif, memihak dan penuh atau sarat dengan nilai-nilai demi kepentingan politik dan ekonomi golongan tertentu. Teori ilmu-ilmu sosial, termasuk juga paham kebudayaan dan pandangan keagamaan dalam paradigma kritis ini selalu memihak dan mengabdi semi kepentingan tertentu. Masalahnya, kepada golongan yang mana suatu teori sosial harus mengabdi. Itulah makanya dalam pandangan ini teori sosial dan praktik pengabdian masyarakat yang netral dan objektif, sementara masyarakat berada pada satu sistem dan struktural sosial yang tidak adil dan dalam proses “dehumanisasi”, ilmuwan dan pekerja sosial dianggap menjadi tak bermoral karena ikut melanggengkan ketidakadilan.
Sesungguhnya sudah cukup lama diperdebatkan mengenai masalah objektivitas, hakikat dan tugas ilmu sosial. Apakah teori sosial dan aktivis sosial harus netral, tidak memihak, ataukah harus mengabdi demi kepentingan tertentu seperti golongan lemah. Namun, dalam perspektif teori sosial kritis, golongan lemah dan tertindas, tetapi lebih mendasar daripada itu, teori sosial haruslah berperan dalam proses pembangkitan kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas, terhadap sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Teori sosial harus mengabdi pada proses transformasi sosial yakni terciptanya hubungan (struktur) yang baru san lebih baik. Dengan kata lain, dalam perspektif teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar memihak kepada yang tertindas dan yang termarjinalisasi belaka, tetapi lebih berusaha menciptakan ruang yang akan menumbuhkan kesadaran, baik bagi golongan penindas dan yang tertindas untuk menyadari bahwa mereka telah berada dalam sistem sosial yang tidak adil. Teori sosial harus membangkitkan kesadaran kritis baik bagi yang mendominasi maupun yang didominasi, untuk perubahan menuju terciptanya suatu hubungan (struktur) dan sistem sosial yang secara mendasar lebih baik, yakni suatu sistem masyarakat tanpa eksploitasi, tanpa penindasan, tanpa diskriminasi dan tanpa kekerasan. Dengan demikian, tugas teori sosial adalah memanusiakan kembali manusia yang telah lama mengalami dehumanisasi, baik yang tertindas maupun yang ditindas.